Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Pornografi

Alkisah, berkumpul mereka, sepuluh orangan. Di satu ruangan ber-AC, mewah dengan kursinya yang empuk. Bapak-bapak semua di situ, dengan selipan dua orang ibu-ibu. Mereka tengah berdebat, tentang penyusunan suatu undang-undang yang tengah akut: Soal pornografi. Mereka itu anggota DPR, komisi X. Saking tak rampungnya mereka membahas pornografi sejak setahun lalu, rakyat menjulukinya komisi XXX.

Ketua Komisi, Tuan Supardjo namanya, membuka sidang untuk keduapuluhlima kali: “Ya, hadirin, bapak-ibu yang terhormat. Kita akan memulai sidang ini kembali. Oke, yang terhormat Bapak Dadang, tolong bacakan rumusan terakhir undang-undang anti pornografi.”

Yang dipanggil Bapak Dadang beranjak dari duduknya. Berdiri dan membacakan apa yang diminta:
“Pasal satu. Pornografi adalah kegiatan yang menyertakan gambar dimana dalam gambar tersebut memuat bagian tubuh wanita, yang antara lain vagina dan payudara, serta manapun yang dapat membangkitkan hasrat pria. Atau, pornografi berarti menyertakan gambar dimana dalam gambar tersebut memuat adegan hubungan intim antara pria dan wanita, serta apapun yang membangkitkan hasrat pria.”

“Keberatan!” seorang wanita beranjak, Ibu Sugeng namanya, “Lah kok pornografi ini soal hasrat pria melulu. Wanita toh juga bisa terangsang. Kenapa gak dilengkapi dengan bagian tubuh pria, yang bisa membangkitkan hasrat wanita?”

Baiklah, kata Tuan Supardjo, tolong Bapak Dadang, tambahkan, dan kemudian bacakan. Nanti kita sama-sama ukur kadar kepatutan:

“Pasal satu. Pornografi adalah kegiatan yang menyertakan gambar dimana dalam gambar tersebut memuat bagian tubuh wanita dan pria, serta manapun yang dapat membangkitkan hasrat pria atau wanita…”

“Rancu! Rancu!” Pak Abdul sekarang bicara, wakil dari Partai Islam Nusantara. “Mosok gambar aja? Gimana kalau ada yang bugil di tengah jalan? Atau dangdut seronok? Mereka juga kena dong. Perusak moral bangsa. Bahaya kalau dibiarkan!”

Coba beri kami usul kata-kata, Pak Abdul. Kata Tuan Supardjo:

“Hmmm gimana ya, tambahkan: gambar dan aktivitas”

“Oke,” Bapak Dadang menambahkan dan kemudian membacakan, “Pasal satu. Pornografi adalah kegiatan yang menyertakan gambar dan kegiatan…”

Hahaha. Seorang tertawa di ujung sana. Ia bernama Pak Jusuf, seorang pakar bahasa. “Kata Kegiatan banyak amat. Gimana sih kalian? Coba dong, disederhanakan, bilang aja, pornografi adalah gambar dan kegiatan yang …”

“Oke,” Bapak Dadang mengiyakan, matanya kelelahan, tapi ia profesional. “Sebentar,” semua menengok, ke arah Pak Agung, seorang perwakilan dari Bali, “Di provinsi kami, kalian tahu. Bule-bule telanjang adalah daya tarik. Turis-turis kesini mana mau dilarang tonjolkan payudara!”

“Di saya juga,” Pak Toni sekarang angkat bicara, seorang Papua, “Masih banyak rakyat pakai koteka, mana mungkin mereka dibajuin!”

“Baik, baik,” Tuan Supardjo menengahi, “Bapak Dadang, kira-kira bagaimana sekarang bunyinya?”

“Saya bingung pak, jadi sekarang pornografi gak berlaku untuk semua provinsi?”

“Gimana, Pak Jusuf?”

Suasana jadi agak ricuh, apalagi ibu-ibu jadi angkat bicara, “Setelah dipikir-pikir, porno enggaknya kan gimana otak pria, betul ga?”

Tuan Supardjo sebagai Ketua Komisi berteriak lantang. Katanya, sidang kita tunda hingga bulan depan. Semua diam. Hening.

Pak Dadang bicara pelan, membelah kesunyian: “Pak, saya ngerti mana yang porno mana yang tidak. Tapi kok tambah ditulis tambah pusing ya?”

Tuan Supardjo tak menjawab. Ia masih ingat amanat rakyat. Agenda ini mesti selesai, karena sudah menghabiskan ratusan juta untuk konsumsinya saja.


Hari Baneharagiaka-Ku

Di sampingku mama, berkonde dan berkebaya. Tak henti tersenyum dan mengucap terima kasih sedari tadi. Raut bangga jelas tergurat. Syukurlah.

Hari ini, jariku tak kosong lagi, ada cincin emas melingkari. Cincin pertunangan dengan pria yang tentunya akan kunikahi. Menikah, sudah waktunya. Karena usia sudah tak lagi muda, aku setuju. Apalagi pria-pria tak sebanyak dulu, tak mengapa, pilihan terbatas tak boleh menghalangi kewajiban ini. Pilih saja dari mereka yang ada. Mama sudah menjatuhkan talak, harus menikah tahun depan katanya; tak ada sekolah lagi apalagi kerja di luar negeri. Masa usia segini masih cekakak cekikik, sudah bukan masanya lagi, kata mama. Hukum adalah mama, mama adalah hukum.

Tak henti dia membelai tanganku sedari tadi, sembunyi-sembunyi. Suami. Sekarang diriku sudah bersuami. Terlihat tampan dia dengan pakaian adat Jawa. Tak salah pilih sepertinya.

Itu dia, pria yang kupilih bukan karena terpaksa, tapi benar karena kusuka. Kukatakan sedari awal, aku ingin menikah; kalau setuju mari lanjut, kalau tidak bye bye good bye. Tidak cocok itu biasa, bukan? Pasti bukan diriku seorang yang tak benar-benar sreg dengan pasangan. Berselisih, cemburu apalagi, white lie juga bagian dari cerita cinta. Kadang memang terasa menyiksa, tapi bukan berarti harus disudahi. Mana ada dua orang bisa benar-benar bersinergi? Aku dan mama saja tak bisa dibilang benar-benar saling mengerti. Tak ada jalan ke belakang, cincin sudah terpasang.

Itu mereka, sahabat-sahabatku. Berseragam brokat, menawan hasil solek sedari pagi, berlenggok gaya mengabadikan hari ini di kamera. Hari bahagiaku.

Benar juga argumen mama; ini pernikahan terakhir, kamu anak paling kecil. Masa tidak ada pesta? Apa nanti kata saudara-saudara? Dan kuhabiskan sembilan bulan terakhir untuk mewujudkannya, tak ada lagi belanja, karaoke, sushi sahimi, lulur bersama teman-teman, apalagi liburan, tak perlu lagi. Prioritas hidupku terguling bergilir. Bersenang-senang tak akan ada habisnya, cerita bersama sahabat pun sudah terlalu banyak kurasa. Aku tak mau seperti mereka, go with the flow, seperti tak punya tujuan selanjutnya. Mau sampai kapan?

Bunga-bunga ungu tampak cantik membingkaiku, pelaminan nan indah, kebaya nan megah pun dengan bangga mebungkusku, tamu-tamu memukau di depan mata, alunan musik romantis syalala menggema, aku memang pantas mendapatkan ini semua. Mama terlihat bangga, suamiku bahagia luar biasa, saudara-saudara tersenyum tak ada hentinya, para sahabat pun turut berpesta, tentu saja. Ini hari pernikahanku, hari bahagiaku. Tapi, mengapa aku merasa seperti ada di neraka?


Nietzsche

"Manusia ingin berkomunikasi dengan sesama, namun terpenjara bahasa" (Nietzsche)

Jerman, 20 Desember 2010

Desember kali ini lebih dingin bila dibandingkan dengan tahun lalu. Dinginnya sampai menusuk ke tulang. Jalanan berwarna putih semua tertutup salju. Jalan raya tidak disarankan pemerintah untuk digunakan karena licin sekali, bisa membuat roda mobil selip, berbahaya. Itu sebabnya stasiun kini dipenuhi oleh orang-orang yang ingin merayakan natal di luar kota.

Para penumpang pergi berpasangan, entah dengan kekasihnya atau dengan anggota keluarganya tapi tidak dengan perempuan yang duduk sendiri di bangku dekat iklan minuman beralkohol itu. Ia sendirian tapi tidak terlihat kesepian. Wajahnya memerah, bisa disebabkan dingin bisa disebabkan pesan singkat yang baru saja ia baca di telepon genggamnya. Ia mengencangkan syal yang terlilit anggun dilehernya. Ia terlihat manis dengan penutup telinganya yang bergambar kelinci. Bermata sipit, pasti berasal dari benua Asia, sepertinya China.

Tunggu sebentar, sepertinya ada pengagum lain yang diam-diam mengamati tingkahnya. Ku coba membaca pikirannya. Oh, dia tertarik dengan perempuan itu. Ditelitinya dengan seksama lalu semakin ia terkesima dengan penemuannya, kecantikan oriental. Ia berjalan menghampirinya, duduk di bangku tepat di depannya. Sesekali ia mencuri pandang. Berharap menciptakan momentum untuk menyapanya.

Perempuan itu sama sekali tidak mengacuhkan keberadaannya. Ku coba menyusupi alam pikirannya. ”Filipo! Aku sudah tiba di tempat Ka Atu. Kangen kamu”, kata itu yang pertama terlintas di benaknya.
Sudah memiliki kekasih rupanya. Tak usah tahu sang pengagum dengan kenyataan itu. Aku ingin mengamati kembali dari jauh, agar lebih jelas melihatnya.

Sang pengagum ragu-ragu untuk menyapanya, dari lahir hingga sebesar ini hanya bahasa Jerman yang ia kuasai, bahasa Inggris pun tidak lancar kalau tidak mau dibilang tidak bisa. Ia beranggapan Mandarin adalah bahasa ibu perempuan itu. Bagaimana mungkin ia menyapanya. Sekedar menanyakan namanya saja, ia tak tahu cara mengungkapkannya.
Tegur tidak tegur tidak. Bimbang.

Teringat akan perkataan ibunda, “Cupid, hanya mengamati tidak berpartisipasi!”. Maka di sini, ku terdiam menunggu.


Jakarta

Aku selalu suka, masa itu, malam minggu. Ketika aku dan kakak duduk di tempat tidur yang sengaja lampunya dibuat gelap. Berteman cahaya lilin, kakek akan menceritakan kisah masa mudanya. Sekarang aku sudah bekerja, beristri, beranak. Tapi cerita kakek tak pernah lekang dari ingatan. Semuanya terekam dengan baik, dan selalu kuceritakan kembali pada kedua putriku.

Pendar cahaya lilin adalah sama berbinarnya dengan mata kakek kala bercerita. Aku dan kakak tak pernah mau terpejam kalau cerita belum usai. Ayah sesungguhnya juga tahu apa yang kakek ceritakan, tapi entah kenapa ayah tak pernah mau cerita. Sekarang aku tahu itu karena ayah tak pandai bercerita. Ia pun mengagumi gaya tutur kakek sehingga merasa tak cukup hebat untuk menirunya.

Kakek selalu bercerita tentang sebuah kota legenda bernama Jakarta. Ayah pun tak mengalaminya. Ayah lahir lima tahun setelah kakek meninggalkan Jakarta. Jakarta yang kini telah tiada. Konon hanya Atlantis yang pernah mengalami nasib serupa. Tenggelam ke dasar bumi tanpa asa. Waktu itu usiaku sepuluh tahun, atau empat puluh tahun setelah Jakarta karam. Memang, di youtube atau televisi, kenangan tentang Jakarta selalu diputar kembali. Disertai pujian atas presiden yang dengan keputusan tepat memindahkan ibukota kembali ke Yogyakarta, tepat dua puluh tahun sebelum Jakarta bernasib bak Atlantis.

Di televisi, gambaran Jakarta selalu semrawut dan sesak penduduk. Macet dan banjir, serta kejahatan. Kata televisi, Jakarta dimurkai Tuhan, sehingga ditenggelamkan. Sesungguhnya presiden tahu persis wangsit dari Tuhan, dan maka itu segera memindahkannya tanpa tedeng aling-aling. Kala tenggelam, beruntung tak banyak korban, cuma mereka yang berada di pesisir pantai. Sebagian besar telah dievakuasi dalam kurun waktu dua puluh tahun itu, kemana saja yang kira-kira mungkin.

Meski demikian, cerita kakek tentang Jakarta tidak sama dengan apa yang ditayangkan di televisi. Kakek sesungguhnya mencintai Jakarta. Ia suka keramaiannya di malam hari. Katanya, Jakarta benderang kala malam. Memang kejahatan keluar dari sarangnya di kala gelap. Tapi kakek tak pernah takut, sebagai satpam gedung bertingkat tiga puluh, ia selalu menyempatkan diri, setiap malamnya, untuk menyaksikan benderang Jakarta dari atap tertinggi. Ia melihat sekeliling, merasakan gebukan angin kencang menerpa wajahnya, serta melamun apa saja. Kegiatan itu tak pernah membuatnya bosan, meski cuma lima menit setiap harinya. Dari situ ia tak setuju dengan segala predikat buruk kota Jakarta yang tengah sekarat. Baginya, Jakarta adalah kota yang selalu berdenyut. Tak pernah istirahat sekejap pun untuk menampung warganya. Jakarta adalah seperti Ibu yang meregang nyawa di tengah kelahiran bayi pertamanya. Meski hendak tenggelam, ia tak mau berhenti melindungi.

Yang kakek ceritakan adalah, selalu, tentang kegiatan dari atas atap itu. Terasa bahwa setiap harinya, ia semakin bisa melihat air laut mendekat, dan sekaligus ketinggian gedung semakin rendah. Dari mulai ia bisa melihat keadaan seantero Jakarta dengan jelas, hingga lama kelamaan binatang laut bisa ditemukan di lobi. Setelah air laut bisa menggenangi lobi, kakek sudah tidak lagi bekerja sebagai satpam dan boleh mulai mencari tempat tinggal di luar Jakarta. Tapi ia tak kehilangan semangatnya untuk memanjat atap. Dengan tangga, kakek selalu bergegas setiap malamnya. Menyaksikan Jakarta yang masih indah, dengan gedung-gedung tingginya, meski dalam situasi sakaratul maut.

Dan kemudian, ketika kakek sudah memutuskan melanjutkan hidupnya di ibukota baru, Yogyakarta. Dalam suatu kesempatan selepas lebaran ia menyempatkan diri berkunjung ke Jakarta yang sekarang menjadi teluk. Dengan perahu sampan ia mencoba mengingat-ingat dimana letak gedung tempat ia sering menyaksikan kota dari puncaknya. Dan kemudian si kakek melihat hal yang menarik. Aha, itulah, aku masih ingat, penangkal petirnya menyembul dari permukaan laut. Gedung itu masih bisa dilihat di bawah permukaan laut. Kakek menyelam, dengan peralatan selamnya. Ia kemudian berlagak sebagai satpam muda yang berada di atap gedung. Bedanya, ia jejakkan kaki kataknya sekarang di dalam air. Ia masih melihat sekeliling, dan tanpa sadar air matanya berurai. Jakarta, dalam tenggelam pun kau masih memesona.

Demikian kakek sekarang mewariskan padaku, potongan dari penangkal petir yang ia sengaja gergaji sedikit saja. Daripada jadi puing, mending kuwariskan pada anak-anakku kemudian. Tentang sebuah legenda bernama Jakarta, yakni kota yang tak seindah Atlantis memang, tapi denyutnya terasa bahkan hingga kematiannya.


Kejamnya Ibukota

“Kenapa celana-mu kau gulung begitu Bang?”, tanyanya.

Lantas ku jawab, “Banjir. Air menggenang dimana-mana”.

“Ya ndak heran lah. Wong tanahmu itu ketutupan aspal semua. Air hujannya mau lari kemana? Ayo sini, mengungsi ke tempatku!”

Tertawaku mendengarnya. Mengungsi? Gampang sekali terdengarnya. Andaikan mungkin.

“Anak-anakmu kemana toh? Kok ndak kelihatan akhir-akhir ini?”

“Dibawa sama ibunya anak-anak. Biar lebih terurus katanya”, pedih terasa di ulu hati.

“Oh begitu. Pantas saja rupamu berantakan. Kotor, lusuh, bau pula. Tak ada yang mengurusmu soalnya. Beda betul dengan sepuluh tahun lalu. Sekarang? Terlihat lebih renta. Tak ada harganya”.

Maki saja terus, ucapku dalam hati.

“Dulu, ketika masa jayamu. Dulu ya Bang. Anak-anakmu mengurusmu dengan telaten. Kau bersemu warna-warni. Banyak tamu yang tak pernah henti menyambangimu. Tapi kok ya sekarang nasibmu jadi begini?”

Tak tahan aku dengan sikapnya yang begitu tidak simpatik.

“Sudah diam lah kau! Semua salahmu memang sudah kumaafkan, tapi tidak berarti aku melupakannya ya!”

“Apa salahku padamu? Yang mana?”

Pintar sekali bocah ini menjadi kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

“Jangan bilang kau lupa bahwa kau pernah menikah siri dengan istriku ya! Lima tahun itu bukan waktu yang singkat!!!” makiku padanya .

“Lah wong kondisimu saat itu sedang tidak fit. Situasi tidak aman. Ya masuk akal dia mengungsi ke tempatku sampai situasinya membaik. Toh pada akhirnya dia kan tetap memilihmu daripada aku. Walaupun sekarang meninggalkanmu juga setelah ia eksploitasi begitu rupa dirimu. Kenapa dia meninggalkanmu (lagi) kalau boleh aku tahu?”, suaranya melembut kali ini.

Karena tak tahan dengan semua yang terjadi, berceritaku padanya.

“Seperti kau tahu, ambisi istriku begitu besar, tak cukup baginya suami seperti aku. Membuatnya tidak percaya diri kalau tengah berkumpul di arisan internasional. Emas aku tak punya, tambang minyak pun aku tak ada. Mulailah aku berusaha menjadi seperti suami yang didambakannya. Bekerja kerasku setiap hari, ku percantik rumah, ku dirikan bangunan-bangunan tinggi berlapis kaca-kaca. Tapi semakin tua umurku, semakin tak berdaya aku untuk terus berusaha. Hingga sampai pada batasku berusaha. Begitu banyak fasilitas yang ingin kubangun agar anak-anak nyaman, tapi tak ada yang terselesaikan dengan sempurna. Terbengkalai semua. Ditinggalkan, sama seperti aku” , walau malu
untuk mengakui namun memang begitu kenyataan yang terjadi.

“Kau tahu, Istriku itu menolak untuk pakai alat kontrasepsi. Ia penganut banyak anak banyak rejeki. Jadi bisa lah kau bayangkan banyak sekali anakku. Seberapa besar pun rumah ku bangun, tak nyaman bagi mereka untuk tinggal dan berkembang. Terlalu penat, tak cukup ada ruang untuk mereka beraktivitas sehingga akhirnya mereka sering bertengkar satu sama lain”, terdiam ku sejenak dan menggulung celanaku sedikit lagi karena banjir semakin naik.

“Pagi itu, mungkin ia sudah muak dengan kondisi yang ada, ia bilang tidak bisa lagi bersamaku. Katanya rumahku sudah tidak sanggup lagi melindungi anak-anak kami. Kalau hujan seharian, tak lama setelahnya banjir pun datang. Ia membutuhkan kenyamanan dan rasa aman yang tak mungkin bisa aku tawarkan”.

“Dengan siapa istrimu pergi?”.

Seakan belum puas mendengar curahan hatiku saja, tega-teganya ia mengorek-ngorek luka lamaku. Sakit.

“Heh Jogja! Kamu jangan kurang ajar ya!”

“Bukan begitu Bang, aku ini hanya penasaran. Kalau kamu tidak mau menceritakan, tidak apa aku tidak memaksa. Nanti aku googling saja”.
Punya otak juga rupanya dia, pantas saja banyak yang menuntut ilmu di rumahnya.

“Dengan Banjar”, jawabku samar.

“Hah? Siapa?”

Terlalu pelan rupanya suaraku. Kuucapkan sekali lagi. Pedih merayap ke rongga dada.

“Dengan Banjar. Banjarmasin, bujangan dari kampong sebelah. Ia sekarang tinggal di rumahnya, membawa semua anak-anak. Konon hartanya melimpah, ia bahkan juga memiliki banyak rumah yang mengapung di atas air yang pastinya bisa mengobati trauma banjir anak-anak”.

Luka lama ku terbuka kembali teringat bagaimana ia meninggalkanku begitu saja.

Alangkah kejamnya kau padaku, duhai Ibukota.


Papap rindu Jakarta

Pelangi pagi
Ranting basah menari
Di kaki bukit

”PR puisi, De?”
”Haiku, Pap!”
« Haiku ? »
« Iya, puisi Jepang. »
« Apa itu ? »
« Puisi, tapi ada aturannya. Baris pertama harus lima suku kata, kedua tujuh, yang ketiga lima lagi. »
”Kok Papap gak pernah diajarin waktu sekolah?”
”Aku juga gak diajarin di sekolah, ini ada di buku Toto Chan, aku coba buat aja. Hehe..”
”Oalah.. Kirain papap lagi ngerjain PR, lagi iseng toh!”
”Ini tidak masuk kategori iseng, Papap. Tapi belajar mandiri.”
”Baiklah, hahaha..”
”Eh Pap! Jadi inget, ada isian biodata orang tua. Bentar yah.”
”Biodata apa sih, De?”
”Entah, untuk semua siswa dan orang tua. Buat administrasi negara tuh katanya.”

Papap menyalakan rokoknya, sambil menyelonjorkan kaki di sofa.
”Pap! Gak boleh merokok di depan anak-anak! Aku laporin komnas anak, loh!”
”Ih, itu aturan baru, rese!”
”Bleee!!”
”Ya udah cepet, biodata apa?”
Si Papap terpaksa menelan ludah guna menahan mulut asamnya.
”Nih, papap jawab aku yang tulis yah..”
”Sip!”
”Nama lengkap?”
”............”
”Nama lengkapnya siapa, Paaaapp?”
”Masa gak tahu nama Papapnya sendiri.”
“Ih, nyebelin. Tempat tanggal lahir?”
“Jakarta, 29 Februari 1983.”
“Hihihi.. Jaaa kaarr taaa..”
”Kenapa ketawa-ketawa gitu?”
”Nggak, geli aja. Masih ada tuh Jakarta?”
”Heh! Jangan sembarangan, dulu Jakarta itu pujaan, pusat mimpi semua orang!”
”Masa?”
”Iya! Makanya banyak baca!”
”Hihihi..”
”Kenapa ketawa geli?”
”Nggak, aku gak ngerti aja. Katanya pujaan orang-orang, tapi kok bisa tenggelam?”

Papa diam, matanya menerawang, menyelam dalam kubangan kenangan. Mari kita ikut Papap!

Masih terbayang dengan jelas masa kecil yang dihabiskan di Jakarta, ibukota negara. Meski lahir di Jakarta tapi Papap tak pernah bisa ingat proses kelahirannya. Dulu Jakarta belum ramai bingar, sudah ada jalan, sudah banyak kendaraan, gedung-gedung pun sudah mencakar. Waktu itu presiden Indonesia seorang petani dan TNI, Soeharto. Meski banyak yang membenci Pak Harto, tapi Papap punya kekaguman sendiri pada beliau. Papap seringkali berkoar kalau masa kecilnya yang indah adalah berkah kepemimpinan Pak Harto. Kalau masa kecil Papap tak sedamai itu, mungkin sekarang Papap sudah jadi orang yang beringas layaknya mereka di angkatan di bawah Papap. Benarkah itu? Entah, itu kan teori si Papap.

Tapi, tak Papap pungkiri bahwa Pak Harto memiliki andil dalam menenggelamkan Jakarta. Kok bisa? Iya, jawab Papap dengan yakin. Andai saja Pak Harto mewujudkan ide Pak Karno untuk memindahkan ibukota ke Palangkaraya, pasti tak mesti begini jadinya. Padahal argumen Pak Karno begitu masuk akal; Palangkaraya terletak di Kalimantan, cukup adil karena posisinya di tengah. Dari letaknya bisa diprediksi kalau Palangkaraya anti gempa, juga orang-orang sudah berbahasa Indonesia di sana. Jakarta, biarkanlah ia menjadi kota bisnis jasa, bukan industri, bukan juga pusat administrasi.

Pak Harto juga dengan konyolnya menyerap definisi pembangunan di Eropa, pembangunan artinya harus membangun dengan hasil yang kasat mata; gedung, jalan, rumah beton, infrastruktur membabi buta. Mentah lah itu aturan pintar Pak Karno, tak boleh membangun gedung terlalu tinggi, hindari penggunaan kaca yang berlebihan, mari bangun jalan lebar dengan kualitas andalan, tata kota harus dipikirkan untuk jangka panjang.

Jakarta oh Jakarta, sering Papap menggumamkan itu sambil menggelengkan kepala. Semua ada, itulah yang membuatmu menjadi neraka. Semua ingin menjadi orang kota, belum bisa dikatakan berhasil kalau belum bekerja di Jakarta, keluarga berbondong-bondong berurbanisasi demi mendapat pendidikan, fasilitas kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik. Chaos.

Kening Papap mulai berkerut tak karuan sekarang. Ternyata mengingat kemacetan yang dulu harus ditelan setiap hari. Naik bis berdesakkan, naik ojek ugal-ugalan, mau naik taksi tapi kemahalan. Hihihihi.. Kasihan juga ya si Papap dulu. Lega sebenarnya hati Papap saat Presiden JK akhirnya berani memindahkan ibukota ke Palangkaraya. Memang begitulah seharusnya, ujar Papap. Administrasi ya administrasi saja. Balikpapan pusat penambangan, ya itu saja. Surabaya pusat bisnis ya teruskan saja. Bali pusat pariwisata memang sudah dari dulu. Manado surga bagi divers, kembangkan terus. Aceh terkenal dengan hukum Islamnya, biarkan saja. Jogjakarta biarkan tenang untuk para mahasiswa, Bandung ramai oleh para seniman. Semua kota punya peran masing-masing. Jangan serakah, seperti Jakarta.

Oh, Jakartaku, kata Papap; yang sering membuat Mama senyum geli melihatnya. Maafkan aku, tak bisa berbuat apa-apa. Melihat kau berakhir tragis di ujung Jawa sana. Seandainya saja dulu walikota berkumis itu langsung menangani dengan serius banjir tahunan, jalan dan jembatan yang roboh satu persatu, tanah yang turun tiap tahunnya, pembangunan rumah dan pembentukan kota baru di daerah serapan. Seandainya saja. Tak bisa dimaafkan, memang; katanya ahli tata kota, tapi cuma sibuk pampang foto di mana-mana. Hiy, masih gemas Papap dibuatnya. Awas saja kalau dia berani mencalonkan diri jadi walikota di Palangkaraya! Akan Papap cabuti kumisnya! Hahahaha.. Papap, Papap..

”Pap! Pap! Ih, senyum senyum sendiri. Serem amat sih..”
”Hehehe.. Ngomong apa kamu, De?”
”Kenapa senyum-senyum sendiri gitu?”
”Ada, aja!”
”Papapku aneh.”
”Hahahaha.. Baru tahu yah? Makanya si Mama mau sama Papap! Apalagi?”
”Benaran aneh, kasihan deh mama.”
Dicubit pipi tembem anak keduanya itu.
”Ayo, lanjut!”
”Udah, bisa aku isi sisanya.”
”Yah, cuma segitu aja? Gak seru amat.”
”Bleee!”
”Buat apa sih, De?”
“Ih, dibilang buat administrasi. Kan data semua warga negara Indonesia dibawa tenggelam sama Jakarta. Lupa yaaaa??”
“Hahahahahhaaa…. Jakarta oh Jakarta, udah gak ada masih bikin susah aja!”


Diponegoro

Aku sudah lelah. Lagi-lagi laporan kerusakan. “Apa lagi, de Jong?” tanyaku.
“Ini jenderal, kemarin di Pacitan ada penyergapan dua puluh perwira kita yang sedang patroli. Senapan kita dijarah semua, dan dua meriam.”
“Overdomseh! Kita terlatih, bagaimana itu bisa terjadi?”
“iya jenderal, seperti biasa, Dipo..”
“Jangan sebut nama itu lagi! Kupotong lidahmu sekali lagi.”
Kusuruh De Jong pergi, sambil kuhisap rokok dalam-dalam. Sialan, setan dari Goa Selarong itu lagi-lagi makan korban anak buahku. Bagaimana cara membunuhnya ya? Aku meremehkannya semula, tapi perang sabil yang ia deklarasikan bikin pasukannya jadi berani mati. Karena mereka membela Tuhannya, nekatnya bukan main. Anak selir sialan.
Bagus Singlon, anaknya yang sialan, haruskah kutangkap terlebih dahulu? Tidak-tidak, itu justru akan melipatgandakan amarah warga. Menyerah? Cuih. Lebih baik aku mati. Sialan, kemarin aku sudah sayembarakan 50.000 gulden untuk yang menangkapnya, tapi tak jua berhasil. Malah yang ada pasukanku tambah banyak yang mati.
Ah, kupanggil saja De Jong lagi, biarpun dia bodoh, tapi idenya kadang cemerlang.
“Ya Jenderal De Kock?”
“Bagaimana? Aku buntu. Kamu punya ide?”
“Ya, aku baru saja kepikiran, Jenderal. Bagaimana kalau Dipo..”
“Eitttsss!”
“Maksudnya, setan Goa Selarong itu, kita ajak berunding damai…”
“Maksudmu?!”
“Sebentar dulu Jenderal. Di tengah perundingan, kita tangkap ia!”
“Itu licik, bukan caraku.”
“Jenderal punya pilihan lain?”
Sialan, memang tidak. Memang cara-cara biasa sudah patah semua. Pasukanku tinggal sedikit, tak mungkin perang terbuka. Pasti kalah, pasti aku mesti menyerah. Tak ada jalan lain. Sialan kau De Jong, sialan. Idemu cemerlang, tapi membuatku malu.
“Kalau begitu, siapkan perundingan.”
“Kapan Jenderal?”
“28 Maret saja. Hari baik.”
“Siap Jenderal”
“28 Maret 1830. Hari terakhir Dipo..”
“Sssst Jenderal!”
“Ya ya. Setan Selarong itu. Hari itu adalah hari terakhir ia memberikan perlawanan pada kita! Deklarasikan itu! Siapkan taktik yang jitu De Jong. Kirimkan utusan secepatnya ke Tegalrejo.”
Kuisap rokok dalam-dalam. Aku melihat langit. Tak perlu malu ternyata, karena apa bedanya aku dan dia? Ia berseru pada pasukannya bahwa Tuhan bersama mereka. Sedangkan aku dengan jujur mengakui, jika Tuhan bersama mereka, jika demikian Tuhan tidak sedang bersamaku. Aku boleh licik dong?