Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Pornografi

Alkisah, berkumpul mereka, sepuluh orangan. Di satu ruangan ber-AC, mewah dengan kursinya yang empuk. Bapak-bapak semua di situ, dengan selipan dua orang ibu-ibu. Mereka tengah berdebat, tentang penyusunan suatu undang-undang yang tengah akut: Soal pornografi. Mereka itu anggota DPR, komisi X. Saking tak rampungnya mereka membahas pornografi sejak setahun lalu, rakyat menjulukinya komisi XXX.

Ketua Komisi, Tuan Supardjo namanya, membuka sidang untuk keduapuluhlima kali: “Ya, hadirin, bapak-ibu yang terhormat. Kita akan memulai sidang ini kembali. Oke, yang terhormat Bapak Dadang, tolong bacakan rumusan terakhir undang-undang anti pornografi.”

Yang dipanggil Bapak Dadang beranjak dari duduknya. Berdiri dan membacakan apa yang diminta:
“Pasal satu. Pornografi adalah kegiatan yang menyertakan gambar dimana dalam gambar tersebut memuat bagian tubuh wanita, yang antara lain vagina dan payudara, serta manapun yang dapat membangkitkan hasrat pria. Atau, pornografi berarti menyertakan gambar dimana dalam gambar tersebut memuat adegan hubungan intim antara pria dan wanita, serta apapun yang membangkitkan hasrat pria.”

“Keberatan!” seorang wanita beranjak, Ibu Sugeng namanya, “Lah kok pornografi ini soal hasrat pria melulu. Wanita toh juga bisa terangsang. Kenapa gak dilengkapi dengan bagian tubuh pria, yang bisa membangkitkan hasrat wanita?”

Baiklah, kata Tuan Supardjo, tolong Bapak Dadang, tambahkan, dan kemudian bacakan. Nanti kita sama-sama ukur kadar kepatutan:

“Pasal satu. Pornografi adalah kegiatan yang menyertakan gambar dimana dalam gambar tersebut memuat bagian tubuh wanita dan pria, serta manapun yang dapat membangkitkan hasrat pria atau wanita…”

“Rancu! Rancu!” Pak Abdul sekarang bicara, wakil dari Partai Islam Nusantara. “Mosok gambar aja? Gimana kalau ada yang bugil di tengah jalan? Atau dangdut seronok? Mereka juga kena dong. Perusak moral bangsa. Bahaya kalau dibiarkan!”

Coba beri kami usul kata-kata, Pak Abdul. Kata Tuan Supardjo:

“Hmmm gimana ya, tambahkan: gambar dan aktivitas”

“Oke,” Bapak Dadang menambahkan dan kemudian membacakan, “Pasal satu. Pornografi adalah kegiatan yang menyertakan gambar dan kegiatan…”

Hahaha. Seorang tertawa di ujung sana. Ia bernama Pak Jusuf, seorang pakar bahasa. “Kata Kegiatan banyak amat. Gimana sih kalian? Coba dong, disederhanakan, bilang aja, pornografi adalah gambar dan kegiatan yang …”

“Oke,” Bapak Dadang mengiyakan, matanya kelelahan, tapi ia profesional. “Sebentar,” semua menengok, ke arah Pak Agung, seorang perwakilan dari Bali, “Di provinsi kami, kalian tahu. Bule-bule telanjang adalah daya tarik. Turis-turis kesini mana mau dilarang tonjolkan payudara!”

“Di saya juga,” Pak Toni sekarang angkat bicara, seorang Papua, “Masih banyak rakyat pakai koteka, mana mungkin mereka dibajuin!”

“Baik, baik,” Tuan Supardjo menengahi, “Bapak Dadang, kira-kira bagaimana sekarang bunyinya?”

“Saya bingung pak, jadi sekarang pornografi gak berlaku untuk semua provinsi?”

“Gimana, Pak Jusuf?”

Suasana jadi agak ricuh, apalagi ibu-ibu jadi angkat bicara, “Setelah dipikir-pikir, porno enggaknya kan gimana otak pria, betul ga?”

Tuan Supardjo sebagai Ketua Komisi berteriak lantang. Katanya, sidang kita tunda hingga bulan depan. Semua diam. Hening.

Pak Dadang bicara pelan, membelah kesunyian: “Pak, saya ngerti mana yang porno mana yang tidak. Tapi kok tambah ditulis tambah pusing ya?”

Tuan Supardjo tak menjawab. Ia masih ingat amanat rakyat. Agenda ini mesti selesai, karena sudah menghabiskan ratusan juta untuk konsumsinya saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar