Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Rabu, 20 Juli 2011

SEMU

Aku melihatnya berjalan melintasiku setiap pagi. Biasanya aku masih setengah tertidur, mataku juga masih setengah terpejam. Aromanya membangunkanku, aroma bunga yang sangat feminin. Dengan sepatu hak tingginya, ia berjalan cepat-cepat agar tidak terlambat sampai di kantor. Seringkali aku melihatnya berjalan sembari menelepon dengan sesekali tertawa. Tawa yang renyah mengundangku untuk tersenyum ketika mendengarnya. Ia pergi ketika matahari masih malu-malu menampakkan dirinya dan pulang ketika matahari sudah pergi ke belahan dunia lain.

Hari ini ia melewati tempatku merebahkan diri sedikit lebih siang. Ia tidak perlu terburu-buru karena ini hari minggu. Kulihat rambutnya kini panjang hampir mencapai pinggang.
Aku terpana melihatnya karena sepertinya minggu lalu rambutnya hanya sebahu namun mengapa kini begitu panjang? Apakah itu kemarin aku melihatnya berambut sebahu? Atau sudah lama berlalu? Aku tidak tahu, karena aku tidak mengerti tentang waktu.

Lalu aku mengarahkan tatapanku ke arah perutnya. Di sana tadinya terdapat gundukan kecil, namun kini tak kudapati lagi. Betinaku pernah seperti itu, perut besarnya hilang berganti bayi-bayi mungil yang sewarna denganku. Otakku yang sangat terbatas untuk berpikir hal yang rumit-rumit mendorongku untuk mengikutinya.

Telepon genggamnya berdering. Ia mengambil telepon tersebut dari dalam tasnya dan langsung menjawab panggilan tersebut. Dari salah seorang temannya, mereka akan bertemu untuk membahas perawatan tubuh dengan metode terbaru. Ia menceritakan dengan bangga kepada temannya bahwa ia baru saja menjalani salah satu sesi dari sekian banyak sesi yang harus dijalani. Perut ratanya adalah hasil karya jerih payahnya mengikuti kehendak pasar dimana pakaian diciptakan satu ukuran saja. Begitu beruntungnya aku, tak perlu memakai baju ataupun celana, pikirku. Ia menjelaskan prosedur yang harus ia jalani, perut dulu kemudian beralih ke paha dan betis, lalu lengan. Pengintaianku berhenti di ujung gang karena ia sudah memberhentikan salah satu angkutan dan pergi bersamanya.

Kutunggu kepulangannya hari minggu itu. Ia tak kunjung datang. Sehari, seminggu, dua minggu telah berlalu dan aku masih menunggu, mendambakan aromanya untuk kuhirup kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar