Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Selasa, 26 Oktober 2010

Wang Lian Xiang

Huh! Pegal sekali rasanya kaki ku ini. Latihan dari jam tiga sore tadi baru selesai jam tujuh malam ini, itu belum termasuk latihan tadi pagi dari jam tujuh sampai jam sebelas. Belum lagi karena jarak rumah yang hanya 500 meter dari rumah, membuatku harus pulang pergi rumah-hall setiap hari dari senin sampai sabtu dengan berjalan kaki. Jangan manja, kata Papa. Sakit benar kakiku ini. Kerasnya betisku rasanya bisa menyamai kerasnya bonggol talas bogor.
Panjang umurnya juga si Papa, baru dilamunkan sudah siap menyambutku di muka pintu.

“A Lian! Papa ada berita bagus. Kamu dapat beasiswa di Ragunan. Kita sekeluarga akan pindah ke Jakarta. Kerja keras mu selama ini membuahkan hasil, Nak”, senyum Papa bangga kepadaku.
“Hayo masuk! Jangan diam di luar begitu. Nanti kamu masuk angin. A Xiao, ini cici-mu sudah sampai. Siapkan air hangat biar cici-mu mandi”, perintah Papa ke adikku.
“Jadi kita semua akan pindah ke Jakarta?”, tanyaku selepas kebingunganku lenyap.
“Iya, di sana fasilitasnya jauh lebih bagus dan memadai. Kamu akan bisa bertanding di tingkat nasional, lalu kemudian internasional”, jawab Papa menjabarkan rencana masa depannya untukku.
“Jadi kapan kita pindah?”
“Besok sore”.

***

“A Xiao, kamu mau pergi kemana lagi?”, selidikku melihat A Xiao telah berdandan dan mengenakan sepatu berhak tinggi.
“Cici, aku mau pergi main dulu dengan teman-teman sekolah. Mau nonton film di bioskop”, jawab adikku sopan.
“Kapan-kapan, aku pinjam sepatumu itu ya?”, mohonku harap-harap cemas.
“Jangan. Nanti papa marah. Papa kan larang Cici pake sepatu tinggi. Nanti kalau Cici keseleo bisa repot jadinya. Gak bisa ikut turnamen”, tolak adikku yang takut akan kemurkaan papa kami.
“Aku jalan dulu ya. Sudah dijemput temanku”, pamit adikku.
Punggungnya perlahan menjauhiku yang terduduk lesu di ranjangnya. Iri karena adikku bisa berkumpul dengan teman-teman sekolahnya yang biasa, bukan atlet. Iri karena adikku dibolehkan memakai sepatu berhak tinggi. Aku? Dari pagi sampai sore ya bertemunya dengan sesama atlet. Biarpun kata orang mereka berbadan bagus, tapi karena tiap hari dilihat jadi tidak menarik. Iri karena walaupun bentuk kakiku bagus tapi tetap tidak bisa memakai sepatu berhak tinggi. Iri karena tidak bisa bebas bersenang-senang, harus latihan sepanjang waktu. Ikut turnamen ini, turnamen itu tanpa ada waktu buat diriku.

***

“Turnamen bulan depan sangat penting untuk kemajuan karir Lian. Jadi Lian harus menjaga kesehatan agar tetap prima”, manajerku berkata pada Papa, ketika ia mangantarkanku pulang ke rumah.
“Menyambung pembicaraan kemarin. Jadi benar Lian tidak bisa pakai nama Mandarinnya?”, tanya Papa penuh harap.
“Saya sarankan, lebih baik tidak. Untuk mengambil simpati penduduk Indonesia. Mereka bisa mempertanyakan rasa nasionalis Lian jika ia tidak memakai nama Indonesia”, papar manajerku.
“Bagaimana perlu dipertanyakan lagi? Nenek moyang saya ini sudah lama tinggal di Indonesia. Bahkan ikut membantu di perang kemerdekaan”, murka Papa ketika rasa nasionalismenya diragukan.
“Begini Koh Wang, Lian tetaplah Wang Lian Xiang. Namun untuk nama atletnya, kita pakai nama Indonesianya. Ini demi karir atlet Lian juga Koh. Mohon maklum”, rayu manajerku.

***
Di tengah hingar bingar bandara, aku duduk menunggu suamiku yang tengah check-in di perusahaan penerbangan yang akan kami tumpangi.
Masih teringat jelas ketika aku mempersembahkan medali emas pertama untuk Indonesia, tanah airku. Tanah air yang mungkin tidak semua penduduk dunia tahu bahwa Negara tersebut benar-benar ada. Tempat dimana matahari bersinar sepanjang hari tapi tidak dalam minggu terakhir ini. Kerusuhan terjadi dimana-mana, asap membumbung tinggi menutupi langit Jakarta. Sebagian kecil saudara setanah airku, meneriaki etnis kami dengan sebutan Cina. Menyalahi kami atas nasib ketidakberuntungan mereka. Mengintai rumah kami, membakar tempat usaha kami seakan-akan mereka mempunyai hak lebih dengan mendeklarasikan diri mereka sebagai pribumi.

“Lian, pesawat kita sudah mau berangkat. Kita harus segera masuk. Papa akan jemput kita di Pudong”, ajak suamiku lembut, mengembalikanku dari kondisi auto pilot.
“Itu bukannya Susi Susanti?”, bisik pelan perempuan yang duduk di depanku kepada orang di sebelahnya.
Aku melihat ke pasangan di depanku dan tersenyum canggung sambil memakai kaca mata hitamku dan berjalan menghampiri suamiku.
Jadilah kami, pasangan yang sudah memberikan dua medali emas Olimpiade dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Barcelona, tunggang langgang menyelamatkan diri mencari tempat perlindungan sementara.
Ternyata dua medali tersebut tidaklah cukup menjadikan jaminan untuk kami hidup tentram di tanah air kami sendiri.
Is blood is thicker than water? Well I don’t think so.
Saya bukan Cina, Saya Indonesia keturunan Cina.


HR Rasuna Said

“Yah, jauh donk kita muternya, Pak? Mesti ke Menteng dulu. Ribet yah kalo kelewatan di sini?”
“Ya gitu deh, Neng. Paling kalau mau muter juga di kolong Casablanca.”
“Yah, lebih parah macetnya.”
“Ya gitu deh, Neng.”
Pasrah amat ini Bapak.
”Eh, kok banyak polisi tuh?”
”Biasa di sini mah, Neng.”
”Kenapa?”
”Ya itu, semenjak pemboman di kedutaan Australia itu. Penjagaan tambah ketat aja.”
”Ooohh... Mana kantor kedutaan pada ngumpul di sini lagi yah?”
”Iya. Eh, jangan-jangan bakal ada pemboman lagi, Neng?”
”Ih, jangan nakut-nakutin donk, Pak!”
”Hehehhe.. Gimana, kita jadi puter balik di Menteng?”
”Ya iya lah, kalo nggak ntar saya muter-muter, lagi!”
”Jalan Kuningan ini udah saatnya dilebarin ya, Neng? Macet terus.”
”Iya, memang. Namanya bukan jalan Kuningan, Pak.”
”Eh? Jalan apa, Neng?”
”H.R. Rasuna Said, kecamatannya Kuningan.”
”Ooohhh.. abis lebih ngetopan Kuningan, Neng. Rasuna Said malah saya baru tahu.”
”Iya, emang kalah ngetop dibanding R.A. Kartini, Pak.”
”Heh?”

Ranah Minang, tahun 1930an.

Pologami terus menjadi polemik, kawin cerai, kawin cerai, terus saja begitu. Akan dibawa kemana nasib para wanita nanti? Ini pelecehan namanya. Tak bisa dibiarkan.

Galau menyambangi hati gadis muda ini. Di usianya yang ke dua puluh bukan keluarga mungil atau anak-anak kecil yang ada di citanya, tapi nasib para wanita. Diajaknya mereka untuk lebih pintar dalam menjaga diri juga harkat martabatnya. Bahwa iya, semua wanita punya hak yang sama seperti pria dalam menentukan nasib mereka; bersekolah, bekerja, menikah, berkeluarga, semua sama. Di mata Tuhan, semestinya pula dalam masyarakat.

Wanita oh wanita; sungguh malang nasib yang kau derita. Sekolah tak bisa, apalagi bersuara di luar sana. Tak bisa kubiarkan ini terus melanda, tak bisa. Pendidikan, para gadis harus mulai masuk sekolah, secepatnya.

Sang gadis muda tak semalang gadis lain seusianya. Selepas mengecap sekolah dasar, berlanjut ia menggoreskan tinta di sebuah Pesantren, di mana hanya dia murid wanita ada. Ia pun lalu mengajak gadis minang lainnya untuk bersekolah, dan kini gilirannya untuk mengajar. Diniyah School Putri menjadi saksi bisu perjuangan seorang belia yang berpeluh menyebar benih ilmunya, mengundang hawa-hawa lainnya untuk berkeras melawan costruct social dan untuk terus berusaha bersuara dan menyampaikan pendapat mereka mulai dari keluarga.

Tak hanya bangsaku saja yang menghambat perkembangan kami, para wanita. Para pendatang itu juga, malah terlalu membabi buta. Belanda. Belum cukup pendidikan kujadikan peluru, harus lah ku turun ke panggung itu; politik.

Kelakuan Belanda yang semakin menjadi dihadapi oleh gadis ini dengan gagah berani. Sebuah pidato dengan lantang disampaikan, ”Kita harus menentang Belanda!”. Pidato yang dengan mudah membuatnya menjadi wanita pertama yang mendapat hukum Speec Delict; hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda. Dan diboyong lah ia, dari Padang ke Semarang, untuk kemudian mendekam di bui bersama seorang teman seperjuangan.

Mereka pikir jeruji besi bisa mengebiriku, cuih!

Kelar menjadi tahanan tak menyurutkan semangat perjuangan, ditempuhnya cara baru; media massa. Bergabung dengan sebuah jurnal di Medan, kota tetangga. Kini suara perubahan dan perjuangan lebih lantang diteriakkan. ”Lawan penjajahan! Lawan diskrimansi perempuan!” Sebuah perjuangan yang ternyata masih harus terus dilakukan meski Belanda telah berganti Jepang. Tak henti dia berontak, tak kering asa teriak. ”Wanita hai wanita, hanya dengan kaki tangan kita baru bisa merdeka!” Tak lama setelahnya, terwujud itu satu kata, merdeka.

Negaraku damai, merdeka! Tak boleh semua jadi sia-sia, kini semua harus berlandaskan hukum, tata negara.

Maka, duduklah kini si gadis yang kini telah matang menjadi wanita di Dewan Perwakilan. Bersuara, mengangkat fakta, bahwa sesungguhnya wanita di mana saja mampu mengangkat derajat bangsa dengan tangan mereka. Bahwa sesungguhnya keksatriaan sebuah keluarga juga ada di kakinya. Bahwa sesungguhnya perdamaian dunia selalu berangkat dari bisikan mereka, para wanita.

Jakarta, tahun 1960an.

Alhamdulillah. Bahagiaku melihat anak-anak bersekolah dengan damai. Banggaku melihat para wanita bekerja dengan semangat. Haruku melihat para ibu berteriak, ”Nak! Ayo cepat! Nanti terlambat sekolah!”

Dan pergilah ia, Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Tersenyum damai, sedamai warisan yang ditinggalkannya untuk para wanita Indonesia.

”Oooohhh, jadi gitu, Neng! Saya baru tahu.”
”Iya, Pak!”
”Jadi sekarang si Ibu pasti seneng ya, Neng!”
”Hmmm??”
”Iya, kan beliau ada di tengah kota. DI tengan gedung-gedung kantoran. Bisa lihat setiap hari ibu-ibu, mbak-mbak, ya kaya si mbaknya gini, sibuk bekerja.”
”Iya ya, Pak.”

Tersenyum mereka, dengan pikiran sendiri-sendiri.
Si Dewi harus sekolah yang tinggi, biar bisa kerja di sini.
Alhamdulillah, terima kasih Ibu. Terima kasih.

Tuhan dan Setan

Mari kemari, teman-temanku sekalian. Ramadhan telah usai. Ia siap tidur nyenyak, dininabobokan oleh bunyi takbir bersahut-sahutan. Maka itu datanglah lebaran. Dan inilah awal mula ketika Tuhan berbicara pada setan dibalik kerangkeng, “Hari ini kulepaskan belenggumu, kubuka kunci penjaramu. Silakan lepas kembali ke dunia. Goda kembali anak cucu Adam, yang mana dengan demikian ketahuan mana yang Ramadhan cuma gaya-gayaan dan mana yang sungguh-sungguh beriman.” Demikian Tuhan berkata dengan suaranya yang menggelegar sambil tanggannya meraih pintu penjara. Sebelum setan lepas pergi, ia pun berbicara dengan lidah apinya yang merah, “Sesungguhnya, wahai Tuhanku. Menggoda manusia selepas Ramadhan adalah semudah-mudahnya godaan. Semasa Ramadhan, kendati di balik jeruji, telah kami intai siapa-siapa yang sekiranya akan terjerumus dengan mudah kala Syawal menjelang.”

Tuhan meski Maha Tahu, ia penasaran dengan alasan setan, “Mengapa gerangan demikian? Karena sesungguhnya telah kuciptakan Ramadhan agar manusia menjadi bertaqwa, lepas dari ajakanmu untuk bergabung di neraka.” Setan menjawab, matanya melotot dan warnanya juga merah, “Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan suci, dan tentang itu tak sedikitpun kuingkari. Tapi demikian manusia adalah makhlukmu yang punya kelemahan dalam soal kesombongan. Mereka tak cuma menaikkan dagunya kala punya harta, jabatan, dan ilmu pengetahuan. Tapi juga kala mereka bersimbah pahala. Coba tengok betapa kemurahan-Mu telah membanjiri mereka dengan kemuliaan Ramadhan. Dan ketika itulah kesombongan melanda. Janji suci-Mu tentang fitrah manusia adalah sasaran empuk bagi para setan yang jahil. Ketika manusia telah merasa kembali pada saat ketika ia lahir sebagai bayi tanpa dosa, maka itulah saat setan menitikkan tinta pertamanya di atas kertas putih hati manusia.”

“Ah, setan, bahasamu terlalu berbelit-belit. Berikan aku poinnya saja,” Tuhan menyela dan sedikit geram, membuat kawasan Alaska mengalami gempa kecil. “Aku akan menghardik mereka tanpa usaha yang besar. Cukup membawa ketupat, cukup membawa opor,” jawab setan.

“Haha itu saja?”

“Tidak. Aku akan membuat warna-warni dunia semakin tajam dan nyata. Sehingga mata manusia menjadi mudah tertarik akan etalase dan reklame iklan. Mereka akan mengalami jual beli dimana aku berada di tengah neraca timbangan. Lalu kubuat juga ajang silaturahmi yang mulia menjadi tempat dimana manusia dengan kesombongannya mengadu pandang satu sama lain. Dan dalam adu pandang itu, sesungguhnya ketaqwaan yang kau gemborkan tak jadi penilaian manusia karena semua menjadi tergantung harta dan tahta. Lalu aku tiupkan juga sedikit nafsu di daerah sekitar hati, agar yang ada hanyalah dendam. Dendam yang harus dituntaskan karena selama ini lebaran telah membelenggu sisi buruk manusia. Mereka yang tadinya menahan yang halal, sekarang menggapainya dengan kaki maupun tangan seperti monyet makan kacang. Sehingga dengan itu, yang halal menjadi berlebihan, dan menjadi haram.”

“Aku mengerti setan, sekarang pergilah, goda manusia dengan rencanamu. Sesungguhnya kau juga ciptaanku yang mulia. Dan hanya lewatmu, aku tahu mana ciptaanku yang betul-betul mulia.”

Setan pun pergi sambil berjingkrak. Tuhan hanya tersenyum.


Ramadhan vs Lebaran

Bertemu ku dengan sosok ku di masa lalu yang sedang tersenyum gembira.
Bertanyaku kepadanya, “Kamu terlihat senang sekali. Boleh aku tahu mengapa?”.
“Siapa kamu? Aku tidak boleh berbicara dengan orang yang tidak aku kenal kata mama“, jawab bocah itu.
Tersenyumku jadinya mengingat petuah ibuku untuk tidak berbicara dengan orang asing, takut diculik katanya.
“Aku Anastasia. Namamu siapa?“, tanyaku.
“Wah, nama kita sama. Aku juga Anastasia. Walaupun aku ingin namaku Dewi, biar lebih gampang kalau tanda tangan. Susah sekali tanda tangan dengan huruf awal A”, celoteh bocah itu.
“Berarti sekarang kita sudah saling kenal. Boleh aku tahu mengapa kamu begitu gembira hari ini?”, tanyaku kembali.
”Oh, itu. Karena besok lebaran jadinya aku senang. Aku pakai baju baru, sepatu baru, bahkan jepitan rambuku baru. Terus biasanya om-om dan tante-tanteku akan memberi uang. Jadi aku punya banyak uang. Kamu berkerudung, berarti besok kamu lebaran juga kan? Tapi kok kamu sedih ya?”.
”Memang kesedihanku terpancar ya? Aku sedih karena bulan Ramadhan berakhir begitu lebaran tiba”, jawabku.
”Loh mengapa sedih? Kalau sudah lebaran, kita bisa makan siang-siang lagi. Tidak perlu bangun malam-malam buat sahur”, jawab anak itu.
”Ketika Ramadhan, aku bisa mengistirahatkan lambungku. Segala hal menjadi teratur. Orang tidak sembarang merokok di bus yang kutumpangi. Orang berbicara hati-hati menjaga hati lawan bicaranya. Berbohong lebih sedikit, berusaha berbuat baik lebih banyak. Beribadah lebih teratur. Meninggalkan aktivitas duniawi sedikit demi sedikit. Mendengarkan ceramah rohani lebih sering. Begitu gembira mendengar suara adzan, apalagi adzan maghrib. Hehehehe”, curahan hatiku pada bocah itu.
”Kamu bicara banyak sekali. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa. Orang dewasa sulit sekali untuk dimengerti. Kamu nggak bisa ngomong pakai bahasa anak-anak saja?”, bocah itu menanggapi.
Orang dewasa susah dimengerti, HAHAHAHA. Benar sekali ucapan bocah itu. Begitu sulit begitu nyata.
”Aku senang sekaligus sedih pada waktu bersamaan”, terangku singkat.
”Kalau senang ya senang, sedih ya sedih. Mana bisa berbarengan?”.
”Bisa sayang, ternyata memang bisa. Nanti kau akan tahu begitu sampai waktumu”, jawabku.

”De! Jangan bengong aja. Itu liatin ketupatnya udah mateng atau belum. Mama lagi masak rendangnya ini. Emangnya tangan mama ada empat apa?!”, seruan ibuku membuyarkan lamunanku...

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar....
Takbir terdengar merdu dari mesjid dekat rumah.
Menandakan Ramadhan berakhir dan menyambut datangnya Syawal.


Antara Aku dan Ramadhanku

“Iya, memang sedih rasanya. I’ve been there. Semua orang juga pasti sedih, bos. Tapi coba kita alihkan sedihnya ke syukur. Alhamdulillah Allah masih mengizinkan kita bertemu Ramadhan tahun ini.”

Ya Rabb maha pembisik kasih, ampunilah hamba yang tak bersedih atas perginya selimut rahmatmu kali ini. Dan jangan golongkan hamba atas mereka yang sombong dan buta akan siraman berkahMu di bulan nan suci ini, hamba mohon, ya Allah. Karena sesungguhnya hamba ingin berusaha mensyukuri sekuat tenaga hamba, atas izinmu untuk mempertemukanku kembali dengannya, Ramadhanku.

”Bos, Astaghfirullah, betapa gw menyibukkan diri untuk membenci orang hari-hari kemarin. Mau jadi apa yah gw? Sombong sekali. Malu gw bos, malu. Padahal, bisa jadi apa sih gw tanpa mereka? Masya Allah bos, gw yang dulu mah, Astaghfirullah. Keterlaluan sekali ya gw? Maaf ya bos, sudah menjadi partner yang tidak baik selama ini. Maafin gw ya. Astaghfirullah, gw benar-benar minta maaf, bos. Izinkan gw memperbaiki diri ya, sayang. Insya Allah gw mau berusaha sekuat tenaga untuk menjadi partner yang baik, anak yang bisa membawa orang tua ke surgaNya, bagian dari keluarga yang turut menentramkan dan menjadi hambaNya yang tak melulu melukai hatiNya. Insya Allah. Bismillah ya, sayang. Bismillah.”

Wahai maha peniup cinta, Subhanallah, Allahuakbar. Sungguh kurasakan selimut kasihMu yang luar biasa tahun ini. Subhanallah. Tak habis syukurku atas genggam hangatMu di kalbuku. Terima kasih, ya Allah. Terima kasih; tak Kau lepas tangan kotorku dari ridhoMu, tak Kau sumbat telinga telinga busukku dari asmaMu, masih kau izinkan hati gelapku mengintip cahayaMu. Terima kasih, wahai maha pembalik hati.

”Memang jadi gelap mata, alih-alih mendapat pencerahan. Tapi menurut gw ini semua murni budaya, bos. Budaya yang saat menampilkan sisi negatifnya juga ada positifnya. Coba bos, kalau gak lebaran mungkin waktu kecil gw gak punya baju baru tiap tahun. Hahahaha... Kalau orang kita gak heboh, mungkin keluarga kita nyaris tidak pernah bertemu keluarga jauh, iya kan? Keluarga yang kalau tidak ada momentum seperti ini tak berasa seperti keluarga. Yah, kalau kue mah gak berlu lebaran juga pasti ada tiap momen berkumpul. Arisan, reuni, pasti banyak kue, kan? Sama aja, atuh. Kalau heboh mah biasanya ibu-ibu; kalau ibunya cool pasti keluarganya juga cool berlebaran. Tul, gak? Dan satu lagi bos, bukan tidak mungkin banyak saudara kita yang tidak punya kesempatan berbahagia kalau tidak pas lebaran gini, bos. Ya, thanks to our hedon culture juga. Hahahha...”

Sungguh luar biasa besar rizki yang Engkau limpahkan padaKu. Alhamdulillah. Bahagia hati ini menyadari percayaMu atas rizki mereka, yang dititipkan padaku. Insya Allah, tak mau ku lupa akannya. Insya Allah. Betapa selama ini bodohnya aku hanya bersenang-senang atas segala rizkiMu, dan khilaf atas kewajiban di atas segala hutang. Bismillah, tuntunlah aku wahai maha pemberi rezeki, untuk selalu membersihkan segala yang ada.

Hanya kepadaMu aku meminta, hanya kepadaMu aku memohon, dan hanya kepadaMu lah aku mengadu, wahai Tuhan pemilik segala kasih. Hanya dengan kehendakMu lah semua hal dapat terlaksana, wahai maha pembuat keajaiban. Hanya Engkaulah sang penguasa, maha pendengar doa dan pengabulnya. Malu hati ini memohon padaMu sekali lagi, ampunilah segala dosa-dosaku, dosa-dosa kami; orang tua, keluarga, sahabat serta muslimin dan muslimat. Sampaikanlah doa kami untuk Rasul sang kekasih hati, izinkanlah kami untuk berjumpa denganNya, suatu hari nanti. Amin ya Allah. Dan bantulah kami berjalan dijalanMu selalu, hingga tak lagi kami membuat Rasul kami sedih hati. Amin ya Allah, Amin ya Rabbal Alamin.