Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Selasa, 26 Oktober 2010

Ramadhan vs Lebaran

Bertemu ku dengan sosok ku di masa lalu yang sedang tersenyum gembira.
Bertanyaku kepadanya, “Kamu terlihat senang sekali. Boleh aku tahu mengapa?”.
“Siapa kamu? Aku tidak boleh berbicara dengan orang yang tidak aku kenal kata mama“, jawab bocah itu.
Tersenyumku jadinya mengingat petuah ibuku untuk tidak berbicara dengan orang asing, takut diculik katanya.
“Aku Anastasia. Namamu siapa?“, tanyaku.
“Wah, nama kita sama. Aku juga Anastasia. Walaupun aku ingin namaku Dewi, biar lebih gampang kalau tanda tangan. Susah sekali tanda tangan dengan huruf awal A”, celoteh bocah itu.
“Berarti sekarang kita sudah saling kenal. Boleh aku tahu mengapa kamu begitu gembira hari ini?”, tanyaku kembali.
”Oh, itu. Karena besok lebaran jadinya aku senang. Aku pakai baju baru, sepatu baru, bahkan jepitan rambuku baru. Terus biasanya om-om dan tante-tanteku akan memberi uang. Jadi aku punya banyak uang. Kamu berkerudung, berarti besok kamu lebaran juga kan? Tapi kok kamu sedih ya?”.
”Memang kesedihanku terpancar ya? Aku sedih karena bulan Ramadhan berakhir begitu lebaran tiba”, jawabku.
”Loh mengapa sedih? Kalau sudah lebaran, kita bisa makan siang-siang lagi. Tidak perlu bangun malam-malam buat sahur”, jawab anak itu.
”Ketika Ramadhan, aku bisa mengistirahatkan lambungku. Segala hal menjadi teratur. Orang tidak sembarang merokok di bus yang kutumpangi. Orang berbicara hati-hati menjaga hati lawan bicaranya. Berbohong lebih sedikit, berusaha berbuat baik lebih banyak. Beribadah lebih teratur. Meninggalkan aktivitas duniawi sedikit demi sedikit. Mendengarkan ceramah rohani lebih sering. Begitu gembira mendengar suara adzan, apalagi adzan maghrib. Hehehehe”, curahan hatiku pada bocah itu.
”Kamu bicara banyak sekali. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa. Orang dewasa sulit sekali untuk dimengerti. Kamu nggak bisa ngomong pakai bahasa anak-anak saja?”, bocah itu menanggapi.
Orang dewasa susah dimengerti, HAHAHAHA. Benar sekali ucapan bocah itu. Begitu sulit begitu nyata.
”Aku senang sekaligus sedih pada waktu bersamaan”, terangku singkat.
”Kalau senang ya senang, sedih ya sedih. Mana bisa berbarengan?”.
”Bisa sayang, ternyata memang bisa. Nanti kau akan tahu begitu sampai waktumu”, jawabku.

”De! Jangan bengong aja. Itu liatin ketupatnya udah mateng atau belum. Mama lagi masak rendangnya ini. Emangnya tangan mama ada empat apa?!”, seruan ibuku membuyarkan lamunanku...

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar....
Takbir terdengar merdu dari mesjid dekat rumah.
Menandakan Ramadhan berakhir dan menyambut datangnya Syawal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar