Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Selasa, 26 Oktober 2010

HR Rasuna Said

“Yah, jauh donk kita muternya, Pak? Mesti ke Menteng dulu. Ribet yah kalo kelewatan di sini?”
“Ya gitu deh, Neng. Paling kalau mau muter juga di kolong Casablanca.”
“Yah, lebih parah macetnya.”
“Ya gitu deh, Neng.”
Pasrah amat ini Bapak.
”Eh, kok banyak polisi tuh?”
”Biasa di sini mah, Neng.”
”Kenapa?”
”Ya itu, semenjak pemboman di kedutaan Australia itu. Penjagaan tambah ketat aja.”
”Ooohh... Mana kantor kedutaan pada ngumpul di sini lagi yah?”
”Iya. Eh, jangan-jangan bakal ada pemboman lagi, Neng?”
”Ih, jangan nakut-nakutin donk, Pak!”
”Hehehhe.. Gimana, kita jadi puter balik di Menteng?”
”Ya iya lah, kalo nggak ntar saya muter-muter, lagi!”
”Jalan Kuningan ini udah saatnya dilebarin ya, Neng? Macet terus.”
”Iya, memang. Namanya bukan jalan Kuningan, Pak.”
”Eh? Jalan apa, Neng?”
”H.R. Rasuna Said, kecamatannya Kuningan.”
”Ooohhh.. abis lebih ngetopan Kuningan, Neng. Rasuna Said malah saya baru tahu.”
”Iya, emang kalah ngetop dibanding R.A. Kartini, Pak.”
”Heh?”

Ranah Minang, tahun 1930an.

Pologami terus menjadi polemik, kawin cerai, kawin cerai, terus saja begitu. Akan dibawa kemana nasib para wanita nanti? Ini pelecehan namanya. Tak bisa dibiarkan.

Galau menyambangi hati gadis muda ini. Di usianya yang ke dua puluh bukan keluarga mungil atau anak-anak kecil yang ada di citanya, tapi nasib para wanita. Diajaknya mereka untuk lebih pintar dalam menjaga diri juga harkat martabatnya. Bahwa iya, semua wanita punya hak yang sama seperti pria dalam menentukan nasib mereka; bersekolah, bekerja, menikah, berkeluarga, semua sama. Di mata Tuhan, semestinya pula dalam masyarakat.

Wanita oh wanita; sungguh malang nasib yang kau derita. Sekolah tak bisa, apalagi bersuara di luar sana. Tak bisa kubiarkan ini terus melanda, tak bisa. Pendidikan, para gadis harus mulai masuk sekolah, secepatnya.

Sang gadis muda tak semalang gadis lain seusianya. Selepas mengecap sekolah dasar, berlanjut ia menggoreskan tinta di sebuah Pesantren, di mana hanya dia murid wanita ada. Ia pun lalu mengajak gadis minang lainnya untuk bersekolah, dan kini gilirannya untuk mengajar. Diniyah School Putri menjadi saksi bisu perjuangan seorang belia yang berpeluh menyebar benih ilmunya, mengundang hawa-hawa lainnya untuk berkeras melawan costruct social dan untuk terus berusaha bersuara dan menyampaikan pendapat mereka mulai dari keluarga.

Tak hanya bangsaku saja yang menghambat perkembangan kami, para wanita. Para pendatang itu juga, malah terlalu membabi buta. Belanda. Belum cukup pendidikan kujadikan peluru, harus lah ku turun ke panggung itu; politik.

Kelakuan Belanda yang semakin menjadi dihadapi oleh gadis ini dengan gagah berani. Sebuah pidato dengan lantang disampaikan, ”Kita harus menentang Belanda!”. Pidato yang dengan mudah membuatnya menjadi wanita pertama yang mendapat hukum Speec Delict; hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda. Dan diboyong lah ia, dari Padang ke Semarang, untuk kemudian mendekam di bui bersama seorang teman seperjuangan.

Mereka pikir jeruji besi bisa mengebiriku, cuih!

Kelar menjadi tahanan tak menyurutkan semangat perjuangan, ditempuhnya cara baru; media massa. Bergabung dengan sebuah jurnal di Medan, kota tetangga. Kini suara perubahan dan perjuangan lebih lantang diteriakkan. ”Lawan penjajahan! Lawan diskrimansi perempuan!” Sebuah perjuangan yang ternyata masih harus terus dilakukan meski Belanda telah berganti Jepang. Tak henti dia berontak, tak kering asa teriak. ”Wanita hai wanita, hanya dengan kaki tangan kita baru bisa merdeka!” Tak lama setelahnya, terwujud itu satu kata, merdeka.

Negaraku damai, merdeka! Tak boleh semua jadi sia-sia, kini semua harus berlandaskan hukum, tata negara.

Maka, duduklah kini si gadis yang kini telah matang menjadi wanita di Dewan Perwakilan. Bersuara, mengangkat fakta, bahwa sesungguhnya wanita di mana saja mampu mengangkat derajat bangsa dengan tangan mereka. Bahwa sesungguhnya keksatriaan sebuah keluarga juga ada di kakinya. Bahwa sesungguhnya perdamaian dunia selalu berangkat dari bisikan mereka, para wanita.

Jakarta, tahun 1960an.

Alhamdulillah. Bahagiaku melihat anak-anak bersekolah dengan damai. Banggaku melihat para wanita bekerja dengan semangat. Haruku melihat para ibu berteriak, ”Nak! Ayo cepat! Nanti terlambat sekolah!”

Dan pergilah ia, Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Tersenyum damai, sedamai warisan yang ditinggalkannya untuk para wanita Indonesia.

”Oooohhh, jadi gitu, Neng! Saya baru tahu.”
”Iya, Pak!”
”Jadi sekarang si Ibu pasti seneng ya, Neng!”
”Hmmm??”
”Iya, kan beliau ada di tengah kota. DI tengan gedung-gedung kantoran. Bisa lihat setiap hari ibu-ibu, mbak-mbak, ya kaya si mbaknya gini, sibuk bekerja.”
”Iya ya, Pak.”

Tersenyum mereka, dengan pikiran sendiri-sendiri.
Si Dewi harus sekolah yang tinggi, biar bisa kerja di sini.
Alhamdulillah, terima kasih Ibu. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar