Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Hari Baneharagiaka-Ku

Di sampingku mama, berkonde dan berkebaya. Tak henti tersenyum dan mengucap terima kasih sedari tadi. Raut bangga jelas tergurat. Syukurlah.

Hari ini, jariku tak kosong lagi, ada cincin emas melingkari. Cincin pertunangan dengan pria yang tentunya akan kunikahi. Menikah, sudah waktunya. Karena usia sudah tak lagi muda, aku setuju. Apalagi pria-pria tak sebanyak dulu, tak mengapa, pilihan terbatas tak boleh menghalangi kewajiban ini. Pilih saja dari mereka yang ada. Mama sudah menjatuhkan talak, harus menikah tahun depan katanya; tak ada sekolah lagi apalagi kerja di luar negeri. Masa usia segini masih cekakak cekikik, sudah bukan masanya lagi, kata mama. Hukum adalah mama, mama adalah hukum.

Tak henti dia membelai tanganku sedari tadi, sembunyi-sembunyi. Suami. Sekarang diriku sudah bersuami. Terlihat tampan dia dengan pakaian adat Jawa. Tak salah pilih sepertinya.

Itu dia, pria yang kupilih bukan karena terpaksa, tapi benar karena kusuka. Kukatakan sedari awal, aku ingin menikah; kalau setuju mari lanjut, kalau tidak bye bye good bye. Tidak cocok itu biasa, bukan? Pasti bukan diriku seorang yang tak benar-benar sreg dengan pasangan. Berselisih, cemburu apalagi, white lie juga bagian dari cerita cinta. Kadang memang terasa menyiksa, tapi bukan berarti harus disudahi. Mana ada dua orang bisa benar-benar bersinergi? Aku dan mama saja tak bisa dibilang benar-benar saling mengerti. Tak ada jalan ke belakang, cincin sudah terpasang.

Itu mereka, sahabat-sahabatku. Berseragam brokat, menawan hasil solek sedari pagi, berlenggok gaya mengabadikan hari ini di kamera. Hari bahagiaku.

Benar juga argumen mama; ini pernikahan terakhir, kamu anak paling kecil. Masa tidak ada pesta? Apa nanti kata saudara-saudara? Dan kuhabiskan sembilan bulan terakhir untuk mewujudkannya, tak ada lagi belanja, karaoke, sushi sahimi, lulur bersama teman-teman, apalagi liburan, tak perlu lagi. Prioritas hidupku terguling bergilir. Bersenang-senang tak akan ada habisnya, cerita bersama sahabat pun sudah terlalu banyak kurasa. Aku tak mau seperti mereka, go with the flow, seperti tak punya tujuan selanjutnya. Mau sampai kapan?

Bunga-bunga ungu tampak cantik membingkaiku, pelaminan nan indah, kebaya nan megah pun dengan bangga mebungkusku, tamu-tamu memukau di depan mata, alunan musik romantis syalala menggema, aku memang pantas mendapatkan ini semua. Mama terlihat bangga, suamiku bahagia luar biasa, saudara-saudara tersenyum tak ada hentinya, para sahabat pun turut berpesta, tentu saja. Ini hari pernikahanku, hari bahagiaku. Tapi, mengapa aku merasa seperti ada di neraka?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar