Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Nietzsche

"Manusia ingin berkomunikasi dengan sesama, namun terpenjara bahasa" (Nietzsche)

Jerman, 20 Desember 2010

Desember kali ini lebih dingin bila dibandingkan dengan tahun lalu. Dinginnya sampai menusuk ke tulang. Jalanan berwarna putih semua tertutup salju. Jalan raya tidak disarankan pemerintah untuk digunakan karena licin sekali, bisa membuat roda mobil selip, berbahaya. Itu sebabnya stasiun kini dipenuhi oleh orang-orang yang ingin merayakan natal di luar kota.

Para penumpang pergi berpasangan, entah dengan kekasihnya atau dengan anggota keluarganya tapi tidak dengan perempuan yang duduk sendiri di bangku dekat iklan minuman beralkohol itu. Ia sendirian tapi tidak terlihat kesepian. Wajahnya memerah, bisa disebabkan dingin bisa disebabkan pesan singkat yang baru saja ia baca di telepon genggamnya. Ia mengencangkan syal yang terlilit anggun dilehernya. Ia terlihat manis dengan penutup telinganya yang bergambar kelinci. Bermata sipit, pasti berasal dari benua Asia, sepertinya China.

Tunggu sebentar, sepertinya ada pengagum lain yang diam-diam mengamati tingkahnya. Ku coba membaca pikirannya. Oh, dia tertarik dengan perempuan itu. Ditelitinya dengan seksama lalu semakin ia terkesima dengan penemuannya, kecantikan oriental. Ia berjalan menghampirinya, duduk di bangku tepat di depannya. Sesekali ia mencuri pandang. Berharap menciptakan momentum untuk menyapanya.

Perempuan itu sama sekali tidak mengacuhkan keberadaannya. Ku coba menyusupi alam pikirannya. ”Filipo! Aku sudah tiba di tempat Ka Atu. Kangen kamu”, kata itu yang pertama terlintas di benaknya.
Sudah memiliki kekasih rupanya. Tak usah tahu sang pengagum dengan kenyataan itu. Aku ingin mengamati kembali dari jauh, agar lebih jelas melihatnya.

Sang pengagum ragu-ragu untuk menyapanya, dari lahir hingga sebesar ini hanya bahasa Jerman yang ia kuasai, bahasa Inggris pun tidak lancar kalau tidak mau dibilang tidak bisa. Ia beranggapan Mandarin adalah bahasa ibu perempuan itu. Bagaimana mungkin ia menyapanya. Sekedar menanyakan namanya saja, ia tak tahu cara mengungkapkannya.
Tegur tidak tegur tidak. Bimbang.

Teringat akan perkataan ibunda, “Cupid, hanya mengamati tidak berpartisipasi!”. Maka di sini, ku terdiam menunggu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar