Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Jakarta

Aku selalu suka, masa itu, malam minggu. Ketika aku dan kakak duduk di tempat tidur yang sengaja lampunya dibuat gelap. Berteman cahaya lilin, kakek akan menceritakan kisah masa mudanya. Sekarang aku sudah bekerja, beristri, beranak. Tapi cerita kakek tak pernah lekang dari ingatan. Semuanya terekam dengan baik, dan selalu kuceritakan kembali pada kedua putriku.

Pendar cahaya lilin adalah sama berbinarnya dengan mata kakek kala bercerita. Aku dan kakak tak pernah mau terpejam kalau cerita belum usai. Ayah sesungguhnya juga tahu apa yang kakek ceritakan, tapi entah kenapa ayah tak pernah mau cerita. Sekarang aku tahu itu karena ayah tak pandai bercerita. Ia pun mengagumi gaya tutur kakek sehingga merasa tak cukup hebat untuk menirunya.

Kakek selalu bercerita tentang sebuah kota legenda bernama Jakarta. Ayah pun tak mengalaminya. Ayah lahir lima tahun setelah kakek meninggalkan Jakarta. Jakarta yang kini telah tiada. Konon hanya Atlantis yang pernah mengalami nasib serupa. Tenggelam ke dasar bumi tanpa asa. Waktu itu usiaku sepuluh tahun, atau empat puluh tahun setelah Jakarta karam. Memang, di youtube atau televisi, kenangan tentang Jakarta selalu diputar kembali. Disertai pujian atas presiden yang dengan keputusan tepat memindahkan ibukota kembali ke Yogyakarta, tepat dua puluh tahun sebelum Jakarta bernasib bak Atlantis.

Di televisi, gambaran Jakarta selalu semrawut dan sesak penduduk. Macet dan banjir, serta kejahatan. Kata televisi, Jakarta dimurkai Tuhan, sehingga ditenggelamkan. Sesungguhnya presiden tahu persis wangsit dari Tuhan, dan maka itu segera memindahkannya tanpa tedeng aling-aling. Kala tenggelam, beruntung tak banyak korban, cuma mereka yang berada di pesisir pantai. Sebagian besar telah dievakuasi dalam kurun waktu dua puluh tahun itu, kemana saja yang kira-kira mungkin.

Meski demikian, cerita kakek tentang Jakarta tidak sama dengan apa yang ditayangkan di televisi. Kakek sesungguhnya mencintai Jakarta. Ia suka keramaiannya di malam hari. Katanya, Jakarta benderang kala malam. Memang kejahatan keluar dari sarangnya di kala gelap. Tapi kakek tak pernah takut, sebagai satpam gedung bertingkat tiga puluh, ia selalu menyempatkan diri, setiap malamnya, untuk menyaksikan benderang Jakarta dari atap tertinggi. Ia melihat sekeliling, merasakan gebukan angin kencang menerpa wajahnya, serta melamun apa saja. Kegiatan itu tak pernah membuatnya bosan, meski cuma lima menit setiap harinya. Dari situ ia tak setuju dengan segala predikat buruk kota Jakarta yang tengah sekarat. Baginya, Jakarta adalah kota yang selalu berdenyut. Tak pernah istirahat sekejap pun untuk menampung warganya. Jakarta adalah seperti Ibu yang meregang nyawa di tengah kelahiran bayi pertamanya. Meski hendak tenggelam, ia tak mau berhenti melindungi.

Yang kakek ceritakan adalah, selalu, tentang kegiatan dari atas atap itu. Terasa bahwa setiap harinya, ia semakin bisa melihat air laut mendekat, dan sekaligus ketinggian gedung semakin rendah. Dari mulai ia bisa melihat keadaan seantero Jakarta dengan jelas, hingga lama kelamaan binatang laut bisa ditemukan di lobi. Setelah air laut bisa menggenangi lobi, kakek sudah tidak lagi bekerja sebagai satpam dan boleh mulai mencari tempat tinggal di luar Jakarta. Tapi ia tak kehilangan semangatnya untuk memanjat atap. Dengan tangga, kakek selalu bergegas setiap malamnya. Menyaksikan Jakarta yang masih indah, dengan gedung-gedung tingginya, meski dalam situasi sakaratul maut.

Dan kemudian, ketika kakek sudah memutuskan melanjutkan hidupnya di ibukota baru, Yogyakarta. Dalam suatu kesempatan selepas lebaran ia menyempatkan diri berkunjung ke Jakarta yang sekarang menjadi teluk. Dengan perahu sampan ia mencoba mengingat-ingat dimana letak gedung tempat ia sering menyaksikan kota dari puncaknya. Dan kemudian si kakek melihat hal yang menarik. Aha, itulah, aku masih ingat, penangkal petirnya menyembul dari permukaan laut. Gedung itu masih bisa dilihat di bawah permukaan laut. Kakek menyelam, dengan peralatan selamnya. Ia kemudian berlagak sebagai satpam muda yang berada di atap gedung. Bedanya, ia jejakkan kaki kataknya sekarang di dalam air. Ia masih melihat sekeliling, dan tanpa sadar air matanya berurai. Jakarta, dalam tenggelam pun kau masih memesona.

Demikian kakek sekarang mewariskan padaku, potongan dari penangkal petir yang ia sengaja gergaji sedikit saja. Daripada jadi puing, mending kuwariskan pada anak-anakku kemudian. Tentang sebuah legenda bernama Jakarta, yakni kota yang tak seindah Atlantis memang, tapi denyutnya terasa bahkan hingga kematiannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar