Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Kejamnya Ibukota

“Kenapa celana-mu kau gulung begitu Bang?”, tanyanya.

Lantas ku jawab, “Banjir. Air menggenang dimana-mana”.

“Ya ndak heran lah. Wong tanahmu itu ketutupan aspal semua. Air hujannya mau lari kemana? Ayo sini, mengungsi ke tempatku!”

Tertawaku mendengarnya. Mengungsi? Gampang sekali terdengarnya. Andaikan mungkin.

“Anak-anakmu kemana toh? Kok ndak kelihatan akhir-akhir ini?”

“Dibawa sama ibunya anak-anak. Biar lebih terurus katanya”, pedih terasa di ulu hati.

“Oh begitu. Pantas saja rupamu berantakan. Kotor, lusuh, bau pula. Tak ada yang mengurusmu soalnya. Beda betul dengan sepuluh tahun lalu. Sekarang? Terlihat lebih renta. Tak ada harganya”.

Maki saja terus, ucapku dalam hati.

“Dulu, ketika masa jayamu. Dulu ya Bang. Anak-anakmu mengurusmu dengan telaten. Kau bersemu warna-warni. Banyak tamu yang tak pernah henti menyambangimu. Tapi kok ya sekarang nasibmu jadi begini?”

Tak tahan aku dengan sikapnya yang begitu tidak simpatik.

“Sudah diam lah kau! Semua salahmu memang sudah kumaafkan, tapi tidak berarti aku melupakannya ya!”

“Apa salahku padamu? Yang mana?”

Pintar sekali bocah ini menjadi kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

“Jangan bilang kau lupa bahwa kau pernah menikah siri dengan istriku ya! Lima tahun itu bukan waktu yang singkat!!!” makiku padanya .

“Lah wong kondisimu saat itu sedang tidak fit. Situasi tidak aman. Ya masuk akal dia mengungsi ke tempatku sampai situasinya membaik. Toh pada akhirnya dia kan tetap memilihmu daripada aku. Walaupun sekarang meninggalkanmu juga setelah ia eksploitasi begitu rupa dirimu. Kenapa dia meninggalkanmu (lagi) kalau boleh aku tahu?”, suaranya melembut kali ini.

Karena tak tahan dengan semua yang terjadi, berceritaku padanya.

“Seperti kau tahu, ambisi istriku begitu besar, tak cukup baginya suami seperti aku. Membuatnya tidak percaya diri kalau tengah berkumpul di arisan internasional. Emas aku tak punya, tambang minyak pun aku tak ada. Mulailah aku berusaha menjadi seperti suami yang didambakannya. Bekerja kerasku setiap hari, ku percantik rumah, ku dirikan bangunan-bangunan tinggi berlapis kaca-kaca. Tapi semakin tua umurku, semakin tak berdaya aku untuk terus berusaha. Hingga sampai pada batasku berusaha. Begitu banyak fasilitas yang ingin kubangun agar anak-anak nyaman, tapi tak ada yang terselesaikan dengan sempurna. Terbengkalai semua. Ditinggalkan, sama seperti aku” , walau malu
untuk mengakui namun memang begitu kenyataan yang terjadi.

“Kau tahu, Istriku itu menolak untuk pakai alat kontrasepsi. Ia penganut banyak anak banyak rejeki. Jadi bisa lah kau bayangkan banyak sekali anakku. Seberapa besar pun rumah ku bangun, tak nyaman bagi mereka untuk tinggal dan berkembang. Terlalu penat, tak cukup ada ruang untuk mereka beraktivitas sehingga akhirnya mereka sering bertengkar satu sama lain”, terdiam ku sejenak dan menggulung celanaku sedikit lagi karena banjir semakin naik.

“Pagi itu, mungkin ia sudah muak dengan kondisi yang ada, ia bilang tidak bisa lagi bersamaku. Katanya rumahku sudah tidak sanggup lagi melindungi anak-anak kami. Kalau hujan seharian, tak lama setelahnya banjir pun datang. Ia membutuhkan kenyamanan dan rasa aman yang tak mungkin bisa aku tawarkan”.

“Dengan siapa istrimu pergi?”.

Seakan belum puas mendengar curahan hatiku saja, tega-teganya ia mengorek-ngorek luka lamaku. Sakit.

“Heh Jogja! Kamu jangan kurang ajar ya!”

“Bukan begitu Bang, aku ini hanya penasaran. Kalau kamu tidak mau menceritakan, tidak apa aku tidak memaksa. Nanti aku googling saja”.
Punya otak juga rupanya dia, pantas saja banyak yang menuntut ilmu di rumahnya.

“Dengan Banjar”, jawabku samar.

“Hah? Siapa?”

Terlalu pelan rupanya suaraku. Kuucapkan sekali lagi. Pedih merayap ke rongga dada.

“Dengan Banjar. Banjarmasin, bujangan dari kampong sebelah. Ia sekarang tinggal di rumahnya, membawa semua anak-anak. Konon hartanya melimpah, ia bahkan juga memiliki banyak rumah yang mengapung di atas air yang pastinya bisa mengobati trauma banjir anak-anak”.

Luka lama ku terbuka kembali teringat bagaimana ia meninggalkanku begitu saja.

Alangkah kejamnya kau padaku, duhai Ibukota.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar