Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Papap rindu Jakarta

Pelangi pagi
Ranting basah menari
Di kaki bukit

”PR puisi, De?”
”Haiku, Pap!”
« Haiku ? »
« Iya, puisi Jepang. »
« Apa itu ? »
« Puisi, tapi ada aturannya. Baris pertama harus lima suku kata, kedua tujuh, yang ketiga lima lagi. »
”Kok Papap gak pernah diajarin waktu sekolah?”
”Aku juga gak diajarin di sekolah, ini ada di buku Toto Chan, aku coba buat aja. Hehe..”
”Oalah.. Kirain papap lagi ngerjain PR, lagi iseng toh!”
”Ini tidak masuk kategori iseng, Papap. Tapi belajar mandiri.”
”Baiklah, hahaha..”
”Eh Pap! Jadi inget, ada isian biodata orang tua. Bentar yah.”
”Biodata apa sih, De?”
”Entah, untuk semua siswa dan orang tua. Buat administrasi negara tuh katanya.”

Papap menyalakan rokoknya, sambil menyelonjorkan kaki di sofa.
”Pap! Gak boleh merokok di depan anak-anak! Aku laporin komnas anak, loh!”
”Ih, itu aturan baru, rese!”
”Bleee!!”
”Ya udah cepet, biodata apa?”
Si Papap terpaksa menelan ludah guna menahan mulut asamnya.
”Nih, papap jawab aku yang tulis yah..”
”Sip!”
”Nama lengkap?”
”............”
”Nama lengkapnya siapa, Paaaapp?”
”Masa gak tahu nama Papapnya sendiri.”
“Ih, nyebelin. Tempat tanggal lahir?”
“Jakarta, 29 Februari 1983.”
“Hihihi.. Jaaa kaarr taaa..”
”Kenapa ketawa-ketawa gitu?”
”Nggak, geli aja. Masih ada tuh Jakarta?”
”Heh! Jangan sembarangan, dulu Jakarta itu pujaan, pusat mimpi semua orang!”
”Masa?”
”Iya! Makanya banyak baca!”
”Hihihi..”
”Kenapa ketawa geli?”
”Nggak, aku gak ngerti aja. Katanya pujaan orang-orang, tapi kok bisa tenggelam?”

Papa diam, matanya menerawang, menyelam dalam kubangan kenangan. Mari kita ikut Papap!

Masih terbayang dengan jelas masa kecil yang dihabiskan di Jakarta, ibukota negara. Meski lahir di Jakarta tapi Papap tak pernah bisa ingat proses kelahirannya. Dulu Jakarta belum ramai bingar, sudah ada jalan, sudah banyak kendaraan, gedung-gedung pun sudah mencakar. Waktu itu presiden Indonesia seorang petani dan TNI, Soeharto. Meski banyak yang membenci Pak Harto, tapi Papap punya kekaguman sendiri pada beliau. Papap seringkali berkoar kalau masa kecilnya yang indah adalah berkah kepemimpinan Pak Harto. Kalau masa kecil Papap tak sedamai itu, mungkin sekarang Papap sudah jadi orang yang beringas layaknya mereka di angkatan di bawah Papap. Benarkah itu? Entah, itu kan teori si Papap.

Tapi, tak Papap pungkiri bahwa Pak Harto memiliki andil dalam menenggelamkan Jakarta. Kok bisa? Iya, jawab Papap dengan yakin. Andai saja Pak Harto mewujudkan ide Pak Karno untuk memindahkan ibukota ke Palangkaraya, pasti tak mesti begini jadinya. Padahal argumen Pak Karno begitu masuk akal; Palangkaraya terletak di Kalimantan, cukup adil karena posisinya di tengah. Dari letaknya bisa diprediksi kalau Palangkaraya anti gempa, juga orang-orang sudah berbahasa Indonesia di sana. Jakarta, biarkanlah ia menjadi kota bisnis jasa, bukan industri, bukan juga pusat administrasi.

Pak Harto juga dengan konyolnya menyerap definisi pembangunan di Eropa, pembangunan artinya harus membangun dengan hasil yang kasat mata; gedung, jalan, rumah beton, infrastruktur membabi buta. Mentah lah itu aturan pintar Pak Karno, tak boleh membangun gedung terlalu tinggi, hindari penggunaan kaca yang berlebihan, mari bangun jalan lebar dengan kualitas andalan, tata kota harus dipikirkan untuk jangka panjang.

Jakarta oh Jakarta, sering Papap menggumamkan itu sambil menggelengkan kepala. Semua ada, itulah yang membuatmu menjadi neraka. Semua ingin menjadi orang kota, belum bisa dikatakan berhasil kalau belum bekerja di Jakarta, keluarga berbondong-bondong berurbanisasi demi mendapat pendidikan, fasilitas kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik. Chaos.

Kening Papap mulai berkerut tak karuan sekarang. Ternyata mengingat kemacetan yang dulu harus ditelan setiap hari. Naik bis berdesakkan, naik ojek ugal-ugalan, mau naik taksi tapi kemahalan. Hihihihi.. Kasihan juga ya si Papap dulu. Lega sebenarnya hati Papap saat Presiden JK akhirnya berani memindahkan ibukota ke Palangkaraya. Memang begitulah seharusnya, ujar Papap. Administrasi ya administrasi saja. Balikpapan pusat penambangan, ya itu saja. Surabaya pusat bisnis ya teruskan saja. Bali pusat pariwisata memang sudah dari dulu. Manado surga bagi divers, kembangkan terus. Aceh terkenal dengan hukum Islamnya, biarkan saja. Jogjakarta biarkan tenang untuk para mahasiswa, Bandung ramai oleh para seniman. Semua kota punya peran masing-masing. Jangan serakah, seperti Jakarta.

Oh, Jakartaku, kata Papap; yang sering membuat Mama senyum geli melihatnya. Maafkan aku, tak bisa berbuat apa-apa. Melihat kau berakhir tragis di ujung Jawa sana. Seandainya saja dulu walikota berkumis itu langsung menangani dengan serius banjir tahunan, jalan dan jembatan yang roboh satu persatu, tanah yang turun tiap tahunnya, pembangunan rumah dan pembentukan kota baru di daerah serapan. Seandainya saja. Tak bisa dimaafkan, memang; katanya ahli tata kota, tapi cuma sibuk pampang foto di mana-mana. Hiy, masih gemas Papap dibuatnya. Awas saja kalau dia berani mencalonkan diri jadi walikota di Palangkaraya! Akan Papap cabuti kumisnya! Hahahaha.. Papap, Papap..

”Pap! Pap! Ih, senyum senyum sendiri. Serem amat sih..”
”Hehehe.. Ngomong apa kamu, De?”
”Kenapa senyum-senyum sendiri gitu?”
”Ada, aja!”
”Papapku aneh.”
”Hahahaha.. Baru tahu yah? Makanya si Mama mau sama Papap! Apalagi?”
”Benaran aneh, kasihan deh mama.”
Dicubit pipi tembem anak keduanya itu.
”Ayo, lanjut!”
”Udah, bisa aku isi sisanya.”
”Yah, cuma segitu aja? Gak seru amat.”
”Bleee!”
”Buat apa sih, De?”
“Ih, dibilang buat administrasi. Kan data semua warga negara Indonesia dibawa tenggelam sama Jakarta. Lupa yaaaa??”
“Hahahahahhaaa…. Jakarta oh Jakarta, udah gak ada masih bikin susah aja!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar