Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Sabtu, 27 November 2010

Diponegoro

Aku sudah lelah. Lagi-lagi laporan kerusakan. “Apa lagi, de Jong?” tanyaku.
“Ini jenderal, kemarin di Pacitan ada penyergapan dua puluh perwira kita yang sedang patroli. Senapan kita dijarah semua, dan dua meriam.”
“Overdomseh! Kita terlatih, bagaimana itu bisa terjadi?”
“iya jenderal, seperti biasa, Dipo..”
“Jangan sebut nama itu lagi! Kupotong lidahmu sekali lagi.”
Kusuruh De Jong pergi, sambil kuhisap rokok dalam-dalam. Sialan, setan dari Goa Selarong itu lagi-lagi makan korban anak buahku. Bagaimana cara membunuhnya ya? Aku meremehkannya semula, tapi perang sabil yang ia deklarasikan bikin pasukannya jadi berani mati. Karena mereka membela Tuhannya, nekatnya bukan main. Anak selir sialan.
Bagus Singlon, anaknya yang sialan, haruskah kutangkap terlebih dahulu? Tidak-tidak, itu justru akan melipatgandakan amarah warga. Menyerah? Cuih. Lebih baik aku mati. Sialan, kemarin aku sudah sayembarakan 50.000 gulden untuk yang menangkapnya, tapi tak jua berhasil. Malah yang ada pasukanku tambah banyak yang mati.
Ah, kupanggil saja De Jong lagi, biarpun dia bodoh, tapi idenya kadang cemerlang.
“Ya Jenderal De Kock?”
“Bagaimana? Aku buntu. Kamu punya ide?”
“Ya, aku baru saja kepikiran, Jenderal. Bagaimana kalau Dipo..”
“Eitttsss!”
“Maksudnya, setan Goa Selarong itu, kita ajak berunding damai…”
“Maksudmu?!”
“Sebentar dulu Jenderal. Di tengah perundingan, kita tangkap ia!”
“Itu licik, bukan caraku.”
“Jenderal punya pilihan lain?”
Sialan, memang tidak. Memang cara-cara biasa sudah patah semua. Pasukanku tinggal sedikit, tak mungkin perang terbuka. Pasti kalah, pasti aku mesti menyerah. Tak ada jalan lain. Sialan kau De Jong, sialan. Idemu cemerlang, tapi membuatku malu.
“Kalau begitu, siapkan perundingan.”
“Kapan Jenderal?”
“28 Maret saja. Hari baik.”
“Siap Jenderal”
“28 Maret 1830. Hari terakhir Dipo..”
“Sssst Jenderal!”
“Ya ya. Setan Selarong itu. Hari itu adalah hari terakhir ia memberikan perlawanan pada kita! Deklarasikan itu! Siapkan taktik yang jitu De Jong. Kirimkan utusan secepatnya ke Tegalrejo.”
Kuisap rokok dalam-dalam. Aku melihat langit. Tak perlu malu ternyata, karena apa bedanya aku dan dia? Ia berseru pada pasukannya bahwa Tuhan bersama mereka. Sedangkan aku dengan jujur mengakui, jika Tuhan bersama mereka, jika demikian Tuhan tidak sedang bersamaku. Aku boleh licik dong?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar