Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Tintin

Tintin… Tintin…

”Bentar Jay, ini gw lagi pake sepatu”, terdengar suara perempuan yang sudah lima bulan ini menjadi langgananku di pagi hari. Aku mengantar dia ke kantornya di daerah Senayan.

“Siap Boss”, jawabku segera. Tetap saja aku memanggilnya Boss, sebutan yang ku tahu ia tak senang mendengarnya, tapi tak mengapa karena Mbak yang satu ini baik sekali.

Terdengar suara pagar terbuka di belakangku. Mbak ku ternyata sudah datang dan segera menempati posisinya di jok belakang motor bututku ini. Dia melemparkan senyum lebarnya sampai-sampai tertarik itu mulutnya nyaris mencapai kupingnya dan menampakan giginya yang putih dan rapih.

“Jay, hari Sabtu pagi lo anterin gw ke melawai ya! Bisa?”, Tanya si Mbak dari belakang.

“Bisa Boss… Mau belanja?”, tanyaku mencari tahu.

“Gak. Mau ke Bandung naek Baraya. Mau pacaran euy. Hehehehe~”, jawab si Mbak.

Ku lirik ia dari spion ku. Memerah mukanya dan berantakan rambutnya tertiup angin.

“Siap Boss”, ledekku.

“Bisa gak sih lo gak panggil gw Boss? Panggil gw Ndoro! Gyahahaha~”, terdengar senang sekali dari suaranya. Maklum sajalah, lagi dimabuk cinta. Tahi kucing juga serasa coklat. Dunia serasa milik berdua sementara yang lainnya cuma ngontrak.

Sampai sudah kami di seberang gedung kantornya.

“Makasih Jay. Sampai besok pagi ya”, kembali ia tersenyum padaku. Sepertinya si Mbak belum merasakan pahitnya dunia sehingga senyumnya bisa seikhlas itu.

Pergi ia membelakangiku menuju ke jembatan penyebrangan.

Rambutnya dulu pirang sekarang hitam, tapi tetap tergerai berantakan. Kiranya si Mbak segera meluruskan rambutnya sebelum keluar maklumat haram atas bonding.

***

“Udah balik Jay?”, Tanya Dodi, kawan mainku sedari kecil.

“Iya nih, mau nyarap dulu sebelum jemput Icha di TK sebrang”.

“Eh, itu cewek yang tiap pagi lo anter jemput, namanya siapa?”, selidik Dodi.

“Ngapain lo nanya-nanya? Dia udah punya pacar. Lo mah gak bakalan dilirik”.

“Yey…sapa juga yang naksir. Gw penasaran aja. Emangnya lo gak liat waktu dia marah-marah ama sopir taksi sabtu kemaren? Wuih, pak RT nyaris jadi amukan”,terang Dodi.

“Gak mungkin. Dia mah gak mungkin marah-marah”, tak terima aku si Mbak dijelek-jelekan.

“Yey, dikasih tau juga. Orang sekampung juga tau”.

“Udah ih, gw mau makan ini. Ngomongin yang lain kek”, aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ntar gw nebeng ampe perempatan ya pas lo mau jemput Icha”.

“Siip. Nyarap yuk!”, ajakku.

“Makasih. Gw dah ngopi tadi”.

***

“Dod, jadi bareng gak?”

“Yuk”, jawab Dodi segera sembari duduk di belakangku tanpa helm karena perjalanannya dekat dan tak rawan polisi yang menjaga.

Tanpa sepengetahuan Jay, diam-diam Dodi menyelipkan KTPnya yang sudah nyaris habis masa berlakunya di jok bagian belakang. Ia berharap si Mbak yang kerap diantar Jay setiap pagi yang akan menemukannya. Peluang pun telah diciptakan, usaha telah dilakukan.

***

Tintin…tintin…

Keluar si Mbak sambil setengah berlari menghampiriku.

“Seneng bener Boss?”

“Kan mau ketemuan ama pacaarr”, jawab si Mbak sambil tersenyum.

Ia mengambil helm yang kuserahkan lalu duduk à la perempuan karena memakai terusan pendek putih.

“Eh, ada KTP!”, ujar si Mbak.

Sepanjang perjalanan menuju Melawai dibolak-baliknya itu KTP untuk mencari tahu siapa gerangan pemiliknya.

“Punya siapa nih? Wah, untung ada nomor telponnya”.

Dan si Mbak pun berencana menghubungi si pemilik KTP segera setelah ia sampai tujuan. Ia akan mengatakan pada si pemilik bahwa KTP sudah aman bersamanya dan dapat diambil kapan saja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar