Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Dodi Dambudi

”Thank you ya Jay!”

”Sip! Sip!”

Ya, kalian lihat itu dua pria yang sedang berbisik-bisik di rerimbunan beringin? Itu dia Dodi Dambudi, yang satunya lagi Jay, tetangga sekaligus teman nongkrongnya. Kenal pertama kali waktu si Dodi minta api sama Jay, api untuk rokoknya. Bukannya Dodi tak punya korek, hanya saja itu trik standar pria untuk berkenalan, terlibat dalam obrolan hingga terikat dalam suatu hubungan emosi, mereka. Hubungan yang katanya hanya para yang bisa paham, lewat obrolan sebatang rokok.

A Mild itu rokoknya, baru saja dibeli sore tadi di warung rokok depan kantor. Dulu Dodi suka sekali A Mild mentol, tapi sejak Ujang, teman satu kantornya bilang kalau mentol bisa bikin mandul, berhenti dia. Walau belum kepikiran menikah, tapi mana mau dia tak bisa punya anak? Enak saja, batinnya. Nanti tidak ada lagi penerusku, Dodi ”tampan” Dambudi. Ya, dia memang menyadari sejak lama asetnya yang satu itu, wajah tampan pria kebanyakan. Bukan tanpa alasan, sudah sedari kecil ibu-ibu seringkali gemas pada wajahnya, tak jarang dia dicubiti kala mengantar ibunya ke pasar Pasuruan, berbelanja sayur mayur sebelum menjadi lauk matang yang dikerubungi lalat di warteg Bahagia, usaha turun temurun keluarganya.

Belum lagi teman wanita di sekolah yang sering mengirimkan salam, pernah malah dua orang mengirimkan surat cinta yang ditulis di atas kertas merah jambu beraroma minyak wangi yang membuat mual. Tak sulit baginya mendapatkan kekasih, sudah lima kali dia menjalin kasih. Dua pacar pertama didapatnya di Pasuruan, teman SMP dan tetangganya. Tiga pacar di Surabaya, teman SMA dan teman dari teman SMAnya. Empat tahun Dodi tinggal di sana, menumpang Pak Le’nya. Sungguh masa-masa yang tak terlupakan, SMA dan satu tahun setelahnya kala dia masih bekerja di sebuah toko buku terbesar di Indonesia.

Sesungguhnya Dodi tak suka buku, itu yang membuatnya tak tahan untuk bekerja lebih lama di sana. Sejauh mata memandang, hanya buku yang bisa dilihatnya. Mana dia harus menguasai jenis dan letak buku-buku itu, lagi! Betapa menyiksa, keluhnya. Tapi selama itu juga dia harus berpura-pura kerasan, daripada dikirim kembali dia ke Pasuruan, meneruskan usaha keluarganya yang tak dia suka. Bangun lebih pagi dari ayam jago, berbelanja di keremangan sambil berbecek-becekan, mengangkut belanjaan untuk kemudian dibersihkan dan disiangkan, lalu menghabiskan berjam-jam untuk menjadikannya siap makan, menyusun piring-piring di lemari kaca juga di bawah meja, lalu sigap tiap saat melayani para pelanggan yang kelaparan, menghitung dengan cepat kala mereka membayar, membersihkan warung dan piring-piring di malam hari setelah semua terjual habis, menutup warung jam sebelas malam, lalu tidur dan bangun sebelum sang ayam, begitu seterusnya. Huh, membosankan!

Pucuk dicinta ulam pun tiba! Di ujung kesabaran berkutat dengan buku-buku, datang itu tawaran dari Parjo, temannya yang akan bekerja di Jakarta.

”Dod, kowe gelem ra kerjo ning Jakarta? Masku ono gawean.”

”Tenane? Gelem! Gelem!”

”Kowe siap-siap disik wae, Minggu ngarep bareng aku ning Jakarta. Numpak kereto.”

Dan tibalah mereka di Jakarta. Stasiun Gambir, saksinya. Lanjut naik bis kota dan dijemput di terminal Blok M. Ramai sekali, Jakarta! Semua orang sibuk, banyak yang berpakaian bagus, persis seperti di tv. Aku bakal betah, sepertinya.

Empat ratus ribu sebulan, uang sewa petakan kontrakan itu, tempat kakaknya Parjo tinggal. Yang kemudian jadi tempat tinggal Dodi dan Parjo juga. Benar, langsung bekerja mereka esoknya. Berkat kakaknya Parjo. Parjo bekerja di salah satu supermarket terbesar di Indonesia, berseragam dia. Bekerja dari jam tujuh pagi sampai sepuluh malam. Dodi, di toko buah lantai dasar sebuah apartemen. Toko buah kecil, tapi dipenuhi dengan buah-buahan impor, kesukaan para penghuni apartemen. Saat buah baru sampai, masih di dalam peti dan diturunkan dari truk, untuk kemudian dibuka dan disusun di toko, boleh itu Dodi mencicipi sedikit, ”asal tidak ketahuan Pak Manajer”, bisik temannya.

Plum, itu buah kesukaannya yang baru. Ungu nyaris hitam, seperti terong kecil yang biasa dilalap, tapi lembek. Rasanya tidak manis tak juga asam. Ya, pas dengan seleranya. Betah Dodi di sana, tak lagi dikelilingi buku, tapi buah dan bukan buah-buahan biasa. Delapan bulan Dodi di sana, kerasan, hingga satu hari di Musholla bercakap-cakap dia dengan Iman. Iman tak bisa dikatakan teman, tidak juga lawan. Sering bertemu mereka di Musholla, basement apartemen, setiap waktu sholat; zuhur, ashar, magrib, isya.

”Mas, sudah berapa lama kerja di sini?”

”Delapan bulan,” jawab Dodi.

”Oh, baru ya.”

”Lumayan. Kenapa Mas?”

”Oh, nggak. Ini ada lowongan di tempatku. Mau gak?”

”Eh? Serius?”

”Iya, serius. Ada yang keluar, pengumumannya belum ditempel sih, paling besok. Kalau kamu mau, aku bilang ke bosku.”

”Mau! Mau! Kerjanya apa, Mas?”

”Gampang kok! Marketing. Cari-cari member aja.”

”Cari orang yang mau fitnes, maksudnya?”

”Iya. Gampang kok. Kita sudah disediain databasenya. Tinggal telpon aja, bikin janji ketemuan, kita jelasin paket-paketnya, promosi, gitu.”

”Oh, terus-terus?”

”Ya nanti setiap kita dapet member, kita dapet bonus, Mas. Di luar gaji bulanan kita.”

”Wah, asik donk. Berapa Mas bulanannya?”

”Waduh! Kalo itu Mas tanya langsung aja sama bosku. Kalo mas mau, nanti saya bilang ke bosku, nanti saya kabarin lagi ya!”

”Iya, saya mau. Makasih ya, Mas!”

”Ok! Besok paling kita ketemu lagi kan? Besok saya kabarin yah!”

”Iya! Iya! Makasih banyak ya, Mas. Makasih.”

Wah, keren sekali! Seragamnya saja keren begitu. Yang fitnes banyak orang-orang kaya, muda-muda. Aku pasti bisa bergaul dengan mereka, jadi anak Jakarta! Akhirnya, aku bisa mewujudkan impianku, jadi orang sukses di Jakarta! Emak pasti bangga. Kerja di mana si Dodi? Di tempat fitnes di apartemen. Widih! Gak sabar besok.

Tak sulit jalan Dodi untuk berpindah kerja. Setelah meminta Parjo menggantikannya, Parjo yang tersiksa bekerja di supermarket besar setuju dengan serta merta. Itu dia, Dodi berbalut seragam ungu, kemeja pas di badan dan celana panjang pas di bokong. Harus begitu, ukurannya, sudah standar tempat kerja mereka.

Dengan mudahnya Dodi beradaptasi dengan ritme dan suasana di tempat baru ini. Sudah terbiasa juga dia melihat wanita berpakaian seksi lalu lalang, juga pria kekar mengejan memanggil ototnya keluar. Rambut Dodi kini dipangkas rapi, cepak, tapi tetap di beri jel setiap hari. Gaji pertama dibelikannya jam tangan besar, yang sedang model, kata teman-temannya. Gaji kedua dibelikannya sepatu kets warna ungu, senada dengan seragamnya.

”Dod! Kenapa belakangan ini loe pulang malem terus, sih? Betah amat di kantor!”

”Haha! Iya nih, abis bingung di kontrakan mau ngapain.”

Kini Dodi sudah tinggal bersama Parjo, pindah dari kontrakan kakak Parjo. Mengontrak mereka berdua di dekat apartemen, tempat kerja mereka.

”Memangnya belum punya temen loe di sana?”

”Belum.”
”Gaul donk makanya! Hahahaha...”

Itu Iman, yang tidak tahu alasan utama Dodi. Dodi Dambudi, teman kita yang satu ini, sedang jatuh cinta, kawan-kawan. Pada seorang wanita cantik jelita, member fitnes tempat dia bekerja. Dodi seharusnya selesai bekerja jam tujuh malam, tapi sejak dia melihat Linda di sebuah malam, jam delapan tepatnya, yang sedang berkucuran keringat, terkesima dia.

Tak biasa. Ini bukan gadis biasa, batinnya. Aku harus kenal dia, Linda. Jadilah semenjak saat itu hari-hari Dodi dibayang-bayangi sosok Linda; tinggi, semampai, langsing, tubuh padat, kencang dan berotot, putih, rambut ikal panjang kemerahan, bibir lebar menawan, serta alis indah bak ulat bulu. Oh Tuhan!

Linda, ternyata anak kost. Satu daerah mereka. Pernah satu pagi Dodi melihat Linda dijemput di depan kostnya. Dijemput oleh sepeda motor, maksudnya oleh seorang pria yang mengendarai sepeda motor. Aku tahu pria itu! Yang suka nongkrong di dekat kontrakan, tukang ojek. Oh, dia langganan si Linda, pujaan hatiku.

Maka malam itu, keluarlah Dodi dari kontrakan, nongkrong dia bersama tetangganya. Ada Jay juga, tentu saja. Semua tetangga ramah, ternyata, terutama Jay, tentu saja. Asik diajak ngobrol juga, apalagi Jay, tentu saja.

Jadi, Linda memang sudah cukup lama berlangganan dengannya. Bekerja di daerah Sudirman, katanya. Linda memang suka berolahraga, selain fitnes, sering juga diantar ke kolam renang. Alih-alih mendekatinya di kantor, Dodi lebih memilih Jay sebagai jembatan penghubungnya. Karena di kantor, terlalu banyak yang berbicara, bahkan tembok pun ikut serta. Dodi tak mau itu semua merusak karirnya, juga kegiatan Linda di sana.

Dan, tersusunlah skenario besar. Ini ide keren sekali! Terlalu alami, pasti tak mencurigakan.

”Gini Jay, pas loe jemput Linda, loe taro ini KTP gw di jok loe, ya!”

”Buat apa?”

”Loe dengerin dulu.”

”Tar kan dia yang nemuin. Kalo dia tanya, bilang aja, oh iya tadi ada anak yang kerja di tempat fitnes yang naek, ketinggalan kali nih.”

”Terus?”

”Terus kalo dia kasih tuh KTP sama loe, jangan terima. Bilang gini, Mbak Linda kan suka fitnes di sana, tolong kasihin aja, ya! Saya takut gak ketemu lagi.”
”Wahahaha... iya.. iya..”

”Gitu! Oke, Jay!”

”Oke! Sip, sip. Terus kalo Mbak Linda ternyata gak ngembaliin KTP loe gimana?”

”Tenang! Jangan panggil gw Dodi kalo gitu aja pusing!”

”Ini KTP baru aja angus! Kebakar! Gw udah ada yang baru, nih dia!”

”Hahahaha.. Iya! Keren banget lo, Dod! Sip lah! Kata gw sih pasti berhasil nih!”

”Hahaha.. Amin.. Amin...” Amin Ya Allah.

”Ya udah, gw jalan dulu ya!”

”Thank you ya Jay!”

”Sip! Sip!”

Dan berangkat lah si Jay menjemput Linda, dilepas lambaian tangan Dodi, sahabat barunya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar