Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Konspirasi KTP

Pak Parjo duduk di meja. Di depannya asbak berisi tumpukan puntung rokok dan kopi hitam yang tinggal setengah. Sementara ia sendiri sedang mengisap sebatang rokok dalam-dalam. Nyala rokok bergantian dengan asap yang dikepulkan. Pak Parjo menengadah. Ia memang begitu daritadi, berselang-seling sambil melihat map berisi dokumen di depannya. Dokumen itu berisi data-data dan permohonan pembuatan KTP.

“Jadi, gimana, Pak? Pak Dedi ini mau disuruh balik lagi ga?” tanya Dirman, sekretaris Pak Parjo.
“Iya, sepertinya begitu. Habisnya, dia tidak mau jalur yang lain sih. Padahal kasusnya kehilangan. Rumit juga”
“Iya, juga, Pak, saya sudah tawarkan biaya seratus lima puluh ribu aja padahal, jadi dalam sehari.”
“Ya, kalo gitu, buat dia menunggu dua minggu, kesini bulak-balik tiga kali, oke?”
“Baik, pak.”
Dedi yang dimaksud pun akhirnya dipanggil, ke kantor kelurahan yang tak jauh dari kediamannya itu. Dedi Dambudi nama lengkapnya. Ia terkadang menemui Pak Parjo, terkadang Dirman, terkadang seseorang bernama siapa yang tidak tahu bertanya apa, dan sedang mengurus apa. Pokoknya, yang Dedi tahu, ia baru saja kehilangan KTP, maka itu, ia mesti bersabar. Bersabar yang mesti ia lakukan sebagai tebusan atas kelalaiannya. Sempat suatu hari ia bertemu Pak Parjo untuk tanya jawab macam ini,
“Pak Dedi,”
“Ya”
“Dimana anda kehilangan KTP?”
“Di motor, Pak, ketika saya menumpang ojek.”
“Motor? Lalu, dompet anda?”
“Dompet saya, ada, pak.”
“Tadinya, KTP itu di dompet?”
“Ya, Pak.”
“Bagaimana bisa terjadi seperti itu? KTP hilang, tapi dompet masih ada.”
“Terjadi begitu saja pak. Saya melewati daerah pekuburan, dan saya percaya disana..”
“Ah, nonsens! Sudah, besok kembali lagi ya.”

Demikian Dedi sedang tidak berbohong. Ia memang kehilangan tiba-tiba yang tidak bisa dijelaskan bagaimana ceritanya. Tapi untuknya, seharusnya, kelurahan tak usah peduli bagaimana proses kehilangannya, dan kemudian menakar apakah itu sens atau nonsens. Baginya, yang penting, ia sudah melakukan hal yang benar. Membawa surat kehilangan. Surat kehilangan yang ditandatangani kepolisian. Yang sebenarnya sempat mengatakan nonsens juga, sebelum akhirnya Dedi menemui kenalannya. Seorang polisi juga yang sudah mengenal Dedi sejak lama. Dan tahu bahwa ceritanya sedang tidak dikarang. Dan ketika surat kehilangan itu sudah diberikan, maka seharusnya kelurahan tak perlu menanyainya lagi macam-macam.

Demikian cerita hilangnya KTP Dedi menjalar sana-sini. Yang tadinya kehilangan biasa, jadi kehilangan luarbiasa. Ke warga, ke camat, ke masjid, hingga media lokal yang sering memuat gambar porno. Orang menjadi hati-hati ketika melewati kuburan yang dimaksud Dedi. Mengeluarkan seluruh isi dompet, dan menggenggamnya erat-erat. Sementara dompet itu dibiarkan kosong. “Hantu kuburan itu tak suka dompet kosong, ia hanya suka isinya!” Demikian mitos yang berkembang.

Syahdan, Pak Parjo dan Dirman sedang tertawa-tawa di ruangannya. Membicarakan apa lagi kalau bukan Dedi.
“Hahaha, warga gak tahu ya kalau Dedi ini gendheng,” kata Dirman sambil telunjuknya membuat garis horizontal di jidat, simbol kegilaan.
“Iya, saya sih udah tau dari dulu, makanya saya sebarlah itu cerita ke warga,” jawab Pak Parjo. Terbahak ia.
“Nanti begini ya, warga kan sudah pada takut soal KTP akan pada hilang di daerah kuburan itu. Kita sekarang, khusus kita, bikin KTP yang diyakini warga gak bisa hilang di sono,” lanjutnya.
“Pake ayat Al-Qur’an gitu, Pak? Di belakangnya?”
“Ide bagus! Pampangin di depan kantor: Dapat membuat KTP yang terlindungi jasmani-rohani, 150 ribu!”

Demikian, kantor kelurahan membuat kebijakan demikian. Warga pun berbondong-bondong datang, memperbaharui KTP-nya. Belum lagi kelurahan kerap mempersulit warga non-muslim. Karena, bagaimana mungkin KTP anda ditulisi huruf Al-Qur’an, kalau anda tidak beriman pada-Nya? Tapi si warga tak peduli, yang penting jaminan jasmani-rohani. Membayarlah ia tambahan seratus ribu untuk melicinkan prosesnya. Terus begitu. Hingga kelurahan bergelimang harta. Bergelimang warga yang ketakutan. Oleh cerita Dedi Dambudi. Cerita Dedi Dambudi yang ia sendiri bingung mengapa ceritanya begitu membuat prahara. Ia bingung, termenung, sendirian. Tatapannya kosong.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar