Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Tiba giliran kami, Merapi.

Baru kemarin titah sampai dari tetua; Bangun! Jangan terlena kalian bermalas-malasan. Sudah saatnya wajah bumi diperbaiki. Berpuluh tahun sudah kami beristirahat, meski sewindu terakhir saudara-saudara kami telah mulai bekerja kembali, memperbaiki wajah bumi, meminjam istilah si empunya. Renggang dirapatkan, rapat direnggangkan, daratan dilautkan, laut didaratkan, cekung diratakan, rata dicekungkan, subur ditanduskan, tandus disuburkan. Dan kini giliran kami, Merapi.

Ini malam hari, kusuka. Kupikir tak perlu lagi terik menyilaukan bara yang kami punya. Memperbaiki wajah tak mesti menarik perhatian dunia, kurasa. Biasa saja. Ibunda alam semesta selalu mengingatkan untuk tak mengejutkan mereka, manusia; kirimkan tanda-tanda pada mereka, jangan pernah lupa! Dan disinilah kami, bergerak bersama, terengah guna mengirim sedikit tanda pada mereka, sesama penghuni alam semesta, manusia. Salah satu adik kecil kami mulai bersendawa, guna mengirim tanda selanjutnya. Sepertinya mereka sibuk sekali, tak ada yang mengungsi, lapor si kecil. Coba sekali lagi, kali ini gerakkan jemarimu. Sejujurnya tanda adik kecil kami cukup mengguncang, entah mengapa mereka tak bereaksi banyak. Mungkin ini yang ibunda sebut tanda tak sampai.

Malam tiba, mentari tenggelam di pelupuk mata. Saatnya bekerja, kami seada-adanya di tepi Jogjakarta. Si kecil, si besar, si tepi, si inti, si kaki hingga si perut lahar. Bergoncang kami, ke kiri dan ke kanan. Mengaduk lambung berisi lahar yang sudah terlalu lama tergodok di perut bumi. Dimuntahkan, belum semua, cukuplah kami rasa asam-asam yang ada di permukaan saja. Berguncang kami, bersama malam.

Maafkan kami wahai sesama penghuni bumi, tak ada niat untuk menyakiti. Inilah kontribusi kami, Merapi, dalam memperbaiki wajah bumi. Layaknya kalian yang selalu mengeraskan tanah, meratakan pepohonan, menghirup sungai dan lautan hingga memanaskan permukaan. Ini, cara kami. Meluberkan lahar di atas karpet hijau kalian, mengabu-abukan jerami tempat kalian berlindung di malam hari. Tak beda dari yang sudah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kami.

Dari dulu hingga kini kami tetap Merapi, gunung tinggi yang bertugas memperbaiki wajah bumi kala titah sudah menyambangi. Dari dulu hingga kini kalian tetap manusia, penghuni alam semesta yang memiliki tugas yang sama juga. Dan kini, terimalah salam dari kami, Merapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar