Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Di Balik Merapi

“Saya mau semua penduduk yang tinggal di sekitar Merapi segera di evakuasi. Sekarang juga!”, terdengar suara RI-1 yang sedang melakukan lawatan ke luar negeri.

”Siap Pak, sudah dilakukan. Tapi ada beberapa orang yang masih bersikeras tinggal di rumah mereka karena Mbah Maridjan belum bersedia mengungsi”, jelas Menteri Dalam Negeri.

”Dipaksa dong! Saya tidak ambil pusing kalau segelintir orang memutuskan menjadi martir, tidak mungkin tidak ada korban dari sebuah bencana bukan? Tapi saya tidak mau citra saya tercoreng lagi karena musibah ini. Mengerti?! Saya masih menjadi sorotan karena pertanyaan judul lagu yang saya ciptakan. Memang salah saya ada soal seperti itu?!”

”Pokoknya saya tidak mau tahu. Seluruh penduduk harus mengungsi. Bagaimana caranya, kamu atur lah!”, ujar RI-1 mengakhiri percakapan telepon yang sudah dipastikan bebas dari penyadap.

***

”Aduh, ada apa lagi? Kamu tidak tahu saya sedang dalam rapat penting?”, keluh RI-1 menjawab telepon yang menurut ajudannya perkara penting menyangkut tanah air.

”Begini Pak, Mbah Maridjan tidak mau mengungsi. Ia memutuskan tetap tinggal di rumahnya, menyebabkan beberapa pengikutnya juga ikut tinggal menemani beliau. Mereka berjumlah 13 orang yang memilih tetap tinggal”, terang Mendagri sesingkat mungkin.

”Ini yang kamu bilang penting? Itu hanya 13 orang saja. Rakyat kita ada berapa? 200 juta! Heran saya, udah tua kok ya gak mau denger omongan orang. Ada lagi yang lebih penting untuk dibicarakan?”, tanya RI-1 tegas.

”Para wartawan ingin tahu kapan kiranya Bapak kembali ke Jakarta?”, jawab Mendagri takut-takut.

”Kehadiran saya di sini penting. Saya akan kembali begitu acara di sini selesai. Ya sekitar 4 sampai 5 hari lagi, itu juga kalau tidak ada agenda pertemuan tambahan”, ujarnya ketus.

***

Tergopoh-gopoh Sang Abdi Dalem menghampiri Sri Sultan untuk menyampaikan pesan yang ia terima dari Jakarta.

”Maaf Kanjeng, tadi ada telpon dari Jakarta. Bapak Menteri Dalam Negeri meminta bantuan Kanjeng untuk membujuk Mas Penewu ikut mengungsi”, Sang Abdi Dalem berbicara dengan suara sangat pelan seakan tengah berbisik dan mata menatap ke tanah.

“Iya, matur nuwun”, jawab Sri Sultan dan langsung memasuki ruangan kerjanya. Menutup pintu, memberikan waktu untuk menyendiri, merenungi kejadian yang tengah mengancam rakyatnya.

Mas Penewu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan, sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Ingin sekali menjemput dan memintanya mengungsi ke rumahnya di Yogyakarta. Tapi ia tahu, tak mungkin ia lakukan itu.

Pesan ayahnya di akhir-akhir hidupnya yang selalu terngiang di kepalanya jika aktivitas Merapi mulai di luar kendali: Pastikan juru kunci tetap berada di sana. Rakyat kita harus selalu merasa ada kekuatan di luar nalar pikiran mereka. Agar ada yang mereka takuti, sehingga mereka lebih mudah diatur, lebih halus dalam bertutur. Ritual harus tetap dijalankan seperti selama ini, seolah kita memohon kekuatan gaib, menjaga agar Merapi tidak bergolak. Jika rakyat merasa kekuasaan kita ditopang oleh gaib, mereka akan patuh. Keadaan akan selalu terkendali.

Lalu bagaimana jika juru kunci tiada?

Temukan lagi pengganti, yang lahir dan tumbuh di desa Kinahrejo dan meyakini mitos-mitos yang selama ini beredar adalah benar adanya, yang tidak lantas pergi ketika bahaya menyambangi, yang setia sampai mati.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar