Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Tersesat

“Sore Pak! Bisa lihat surat-suratnya?”

Lengkap.

“Bapak tahu kesalahan Bapak?”

Bosan juga dengan kalimat ini.

“Tadi masih merah, Pak.”

Pasti Bapak ini tidak melihatku tadi.

“Itu kan sudah ada penghitung mundurnya, Bapak seharusnya menunggu dulu. Ini surat tilangnya ya Pak, silahkan diurus langsung di pengadilan.”

Bikin susah saja surat tilang berkarbon warna-warni ini.

“Damai gimana?”

Kalau ditawarkan mah bukan salahku.

“Ya sudah, ini surat-suratnya. Jangan diulang lagi, Pak. Hati-hati.”

Mundur sedikit, memberi jalan.

“Iya, mari. Sore!”

Surat-surat yang dimaksud adalah STNK dan SIM. Iya, tadi memang masih merah lampunya, Bapak pengemudi pikir, “Ah, sepi ini! Bablas saja!” Tak tahu dia ada Pak Polisi yang sengaja bersembunyi di rerimbunan pepohonan. Mengapa sengaja? Karena ini tanggal tua, uang saku sudah habis, bukan lagi tipis.

Maraknya gerakan anti korupsi menyusahkan Pak Polisi. Apalagi polisi lalu lintas seperti dia, kalau tidak dari kesepakatan damai di jalan, darimana lagi bisa dapat uang jajan? Gaji yang segitunya saja tak bisa dibilang cukup untuk keluarga kecilnya. Motor dinas yang gagah tak daya mengangkut seluruh keluarganya bertamasya. Rumah mungil di komplek Brimob jelas-jelas membatasi ruang gerak tubuh besarnya. Belum lagi tuntutan Ibu Polisi yang sibuk di darmawanita untuk dibelikan baju bagus tiap bulannya, juga anak-anak yang malu pakai hp model lama.

“Makan, De!”

Mi rebus dengan sawi dan telor siang-siang memang enak.

“Udah dapet hari ini?”

Waduh! Mi nya yang luar biasa enak hari ini atau aku yang lapar sekali?

“Udah tadi, di Senopati. Dapet tiga.”

Lagian mana bisa dapet kalau di persimpangan besar begini.

“Sana, lu pergi ke ujung jalan sana. Jangan berdiri di tengah jalan gini, ngumpet dikit!”

Begini aja mesti diajarin.

“Jangan main tembak, lu kasih dulu itu surat tilang! Basa basi lah sedikit. Hahaha..”

Polos bener ini anak.

“Ya mesti begini lah, kalo nggak ntar anak gue jajan darimana?”

Gayanya udah kaya kebanyakan uang aja nih anak.

“Dedikasi?”

Gila! Hari gini masih ada aja yang kaya dia.

“Ini yang namanya dedikasi. Sama orang tua. Tahu sendiri kita habis berapa buat masuk akademi. Ibu Bapak gue ngabisin kontrakan sama sawah. Pasti keluarga lu juga kan? Masa terus abis lulus lu gak dapet apa-apa dengan modal segede itu! Ya lu harus cari akal gimana caranya biar bisa balik modal.”

Memangnya bisa bikin kenyang tuh dedikasi?

“Itu dia! Gue salah milih jurusan. Kenapa juga mau jadi polantas? Dulu memang basah di sini, gara-gara orang-orang yang sok-sokan anti korupsi aja tuh sekarang jadi kering begini!”

Jadi penasaran, memangnya orang-orang itu hidup dari mana ya?

Bapak polisi ini cita-citanya mau jadi pelukis, dari kecil suka gambar dia. Waktu SMA anggota klub mading; majalah dinding, gambarnya dipajang setiap minggu di lorong sekolah. Banyak yang memuji. Nah, waktu mau melanjutkan kuliah Pak polisi bilang ke bapak ibunya, “Pak, Bu, saya mau belajar seni rupa. Mau mendalami ilmu menggambar. Saya suka.” Waktu bilang itu si Pak polisi ketakutan setengah mati, karena sedari kecil bapaknya selalu bilang, “Nanti kalau besar jadi polisi ya mas. Itu impian bapak dulu, tapi apa daya, eyang gak ada biaya, jadi bapak ya cuma jadi pedagang gini saja.” Begitu. Terbukti, si bapak langsung menonjol urat-uratnya, “Mau jadi apa kamu belajar gambar, hah? Mau jadi pelukis?” Pak polisi memang belum tahu mau jadi apa nantinya, yang dia tahu adalah dia suka gambar dan mau serius belajar menggambar. ”Iya jadi pelukis juga gak papa, Pak.”

Kalian tahu rasanya saat mimpi besarmu ditertawakan? Pak polisi tahu. Karena bapaknya tertawa geli mendengar impiannya. ”Pelukis, mau makan apa kamu? Makan kuas? Mana ada perempuan yang mau kawin sama pelukis, hah?” Diam. Pak polisi cuma bisa diam. Diam tak melulu tanda setuju, bisa juga tanda tak tahu. ”Sudah, jangan banyak omong kamu. Bapak sudah urus biar kamu masuk akademi polisi. Kenalan bapak ada yang bisa bantu. Bapak sudah keluar biaya banyak, jangan kamu kacaukan. Diam saja, siap-siap kamu pergi ke asrama. Jadi polisi itu membanggakan keluarga.”

”Bu! Bapak pulang. Masak apa?”

Awas kalo nggak masak lagi. Memangnya apa sih kerjanya setiap hari?

”Yang benar saja sedikit, Bu! Sudah tiga hari ini nggak masak. Memangnya uang belanja dikemanain?”

Sibuk, sibuk. Gayanya sudah kaya wanita karir saja. Memangnya digaji itu sama darmawanita?

”Terus aku dan anak-anak makan apa? Beli padang lagi? Bisa mati over dosis kami!”

Padang lagi.. padang lagi…

“Mau kemana lagi, Bu? Suami baru pulang sudah mau kelayapan!”

Persetan dengan darmawanita!

”Memangnya digaji kamu sama mereka? Memangnya yang kasih uang belanja mereka, hah? Tugasmu itu ya di sini, di rumah. Melayani suami dan ngurus anak-anak. Bukannya sibuk kondean ngumpul kesana kemari!”

Alah! Mulai deh berdalih. Wanita!

”Terserah! Sudah, pergi sana. Terserah kamu saja.”

Lebih baik kalau dia tak ada di rumah, lebih tenang.

Pak polisi lalu mandi, membersihkan diri dari debu-debu jalanan yang diraupnya seharian. Niatnya mau menonton tv, kala tak sengaja melihat kain berwarna menyembul dari pintu gudang. Kain itu akrab sekali dengannya, dulu. Itu kain pembungkus kanvas-kanvas kosong. Ditariknya itu kain yang memeluk tiga kanvas putih, bersih. Di baliknya ada kaleng cat kosong berisi kuas-kuas yang rambutnya sudah kaku, mati suri. Terbersit kerinduan yang luar biasa untuk bermain dengan mereka. Luar biasa. Tiba-tiba terdengar suara masa lalu, tak akan lagi ku menggambar, melukis, apapun itu. Mati, sudah mati. Mimpiku sudah kukubur hidup-hidup. Sejak ku langkahkan kaki ke dalam akademi, aku tak lagi hidup bersama mimpi. Ku berjanji.

Pak polisi teringat kalau dia sedang sendiri. Tak akan ada yang tau kalau dia melukis lagi. Dikuncinya pintu rumah, dibawa teman-teman lamanya ke teras belakang, lalu terdengar itu, sayup-sayup, mimpi-mimpi, mimpiku, tolong datang lagi. Tak mau lagi hidup begini. Bingung, kacau, buram. Tolong beri aku pencerahan, terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar