Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Tegang di Depan Televisi

Ketika aku menuliskan ini, aku sedang di depan televisi. Maksudnya, laptop itu aku taruh di meja, yang mana mejanya di depan televisi. Televisi itu juga memutar film, judulnya Flight of The Concorde. Yang meskipun sepertinya film yang rame, meriah, dan lucu, tapi aku tak tertarik sedari tadi. Aku duduk di sofa merah kecil, yang cukup untuk dua orang saja. Suasana rumah sedang sepi, tidak ada siapa-siapa kecuali Bi Irah yang sedang masak, itupun di atas. Aku bisa saja menulis dengan tenang dan cepat, tapi aku sedang tak bisa.

Aku sedang tak bisa karena tenggorokanku tidak enak dan entah terganjal apa. Seperti radang, tapi yang pasti bikin tidak nyaman. Sehingga daritadi aku banyak tidur-tiduran, sambil chatting dengan pacarku yang sedang mengantor di Jakarta. Nah itu dia, ada paradoks yang aneh, yakni ketidaknyamanan tenggorokan, dan kenyamanan chatting. Lantas keduanya bersinergi menjadi keengganan untuk menulis. Terlebih lagi, pacarku sedang banyak mengirimkan kalimat-kalimat indah yang membuat hidup ini terasa tak punya dateline. Waktu terasa panjang merentang seperti busur yang diregangkan. Sehingga ketika sadar dateline tinggal lima belas menit lagi, aku masih merasa santai.

Aku menegang dan mendadak sadar akan hujaman panah waktu yang lepas dari busurnya, ketika membaca chat dari pacarku, bunyinya: “sayang, pipis dulu.” Artinya, ada jeda. Ada kekosongan yang membuat aku tahu hidup ini punya dateline. Dateline yang oh, sesungguhnya, kita ciptakan sendiri semuanya. Oh, sungguh aku mengetik ini dengan sangat ngebut dan cepat, seolah jari-jari ini yang mempunyai otak. Sedangkan kepalaku dipenuhi musik dari televisi, suara Bi Irah yang sudah turun dan menyiapkan masakan, serta sesekali bunyi mesin cuci dari kamar mandi. Di depan laptop ada tempat tissue dengan sembulan tissuenya. Ia seperti mengejek aku yang lambat dan tak punya inisiatif. Lihat itu, sembulan tissue bagaikan lidah yang menjulur. Siang cerah dan tenang, tapi hatiku berdegup kencang. Sambil berdoa, semoga sang waktu tak sedang terburu-buru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar