Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Bekerja dan Bukan Bekerja

Meja kerjaku dulu luas sekali, dihuni layar komputer, keyboard dan mouse hitam. Warna yang keren. Entah sejak kapan, perlahan sekarang jadi tak luas lagi. Tiga sejoli hitam punya teman baru, lungsuran dari Kak Ero, bosku. Dua speaker kecil, yang juga hitam. Keempatnya menempati sisi kiri meja bersama sebuah pesawat telepon berwarna krem dengan lima saluran. Di sebelahnya ada tempat pensil besi yang juga hitam dipenuhi dengan alat tulis dan alat potong. Masih berwarna hitam, kotak kartu nama dengan label abjad berurutan. Satu penghuni yang paling mencolok ada di sebelahnya, boneka bebek oranye yang kudapat dari sebuah restoran bebek saat makan bersama orang-orang kantor. Pingu, kuberi nama. Lalu ada kaleng permen fox berisi koin-koin lima puluh, seratus, dua ratus dan lima ratus rupiah, di atasnya ada pengokot dan pembukanya yang berwarna senada dengan telepon. Penghuni terbaru di sisi kiri adalah boneka plastik biru sekecil kelingkingku. Peninggalan Sabine, mahasiswi dari Prancis yang mengikuti kerja praktek beberapa bulan lalu. Di belakang layar komputer ada tissu dan gelasku, hitam. Gelas yang kubeli dua tahun lalu seharga dua puluh ribu.Di sisi kanan meja ada printer yang suaranya cempreng dan bising. Printer yang hanya milikku, tak perlu berbagi seperti dua printer lainnya yang kami punya. Printer ini khusus untuk mencetak voucher, bukti setiap pengeluaran kantor, tanggung jawabku untuk membuatnya. Di antara printer dan layar komputer ada tiga penghuni berwarna-warni. Rautan besar hijau, kalender meja merah dan alat perekat atau scotch krem.

Di meja ini lah aku bercerita. Sambil mengerjakan pekerjaan kantor, tugasku sebenarnya. Disela dengan percakapan telepon yang sering berdering, gurauan dengan Pak Tri dan Pak Sachri yang ada di sayap kanan ruangan dan pertanyaan-pertanyaan Kak Ero di ruangan sebelah. Ruanganku besar dengan empat meja besar. Meja Pak Tri di kananku, Pak Sachri di sebelah pak Tri, dan meja kosong di depan mejaku dan meja Pak Sachri, tempat mahasiswa yang sedang praktek kerja di kantorku. Mahasiswa yang berganti tiap tahunnya. Pak Sachri dan Pak Tri sedang berdiskusi, Pak Tri di mejanya, begitu pun Pak Sachri. Keduanya serius memandangi layar laptop masing-masing. Membahas angka-angka, ada kata harga, ada juga air, lalu per detik, industri, rumah tangga, meter kubik, visit, WTP. Kata-kata yang akrab sekali di telingaku dua setengah tahun belakangan. Pak Tri adalah atasan langsung Pak Sachri. Dua sejoli. Seperti aku dan Kak Ero.

Kantor kami ini sangat tenang, tak bising seperti kantor kebanyakan. Yeyen sahabatku dan Bu Tutut, istri Pak Tri, suka mengoreksi tugas-tugas murid mereka di tempat kami. Karena tenang jadi bisa konsentrasi, katanya. Ibu-ibu guru membutuhkan ketenangan dalam menuntaskan tugas ternyata, setelah seharian berkutat di tengah kebisingan murid-murid mereka. Suara latar yang terdengar hanyalah suara desiran pendingin ruangan yang menghembuskan angin di atas kami, suara ketikan keyboard, gemerincing gelangku, dan sesekali gesekan kayu kala membuka dan menutup laci. Saking sepinya, semua orang bisa mengikuti pembicaraan telepon tanpa harus menguping. Karena memang mau tak mau, dengan suara pelan pun, pasti terdengar oleh yang lain.

Tenang di kantorku membuaiku menuju kesinergian, bekerja dan bukan bekerja. Menjawab telepon, mengobrol dengan Pak Tri dan Pak Sachri. Berdiskusi dengan Kak Ero, chat di gtalk. Memesan tiket, membuat daftar belanja bulanan. Menjawab email, main scrabble. Menerjemahkan dokumen, mendengarkan Michael Buble. Membuat voucher, menulis blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar