Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Sudut Pandang

Aku sedang duduk sendirian. Pagi itu di sebuah taman. Taman yang sejak kuliah dulu aku senang berada di bangkunya yang teronggok dingin. Bangku kayu panjang, yang berada di dekat lampu bulat besar khas taman. Di taman ini aku melakukan banyak kegiatan, tapi paling seringnya adalah membaca. Membaca apa saja, mulai dari buku kuliah (dulu), novel, komik, hingga surat kabar. Dalam kesempatan tertentu juga, aku cukup sering menulis. Menulis apa saja yang sedang aku rasakan.


Usiaku dua puluh delapan. Atau sudah lima tahun aku lulus kuliah. Tapi perasaanku akan taman itu tetap sama. Taman yang letaknya tak jauh dari tempatku kuliah. Ia sejuk dan hijau, meski tak terlalu luas. Kampusku di dataran tinggi kota ini, sehingga Edelweiss bisa tumbuh di taman tersebut. Warna-warni ungunya selalu membuatku rindu. Rindu yang selalu aku pelihara sehingga rasanya tetap rindu. Karena sepertinya, banyak orang yang selalu ingin melenyapkan rindu, seolah-olah dia adalah perasaan yang mengganggu. Melenyapkan rindu, dengan melampiaskannya pada orang yang dirindukan. Entah itu dengan ditelpon, diajak janjian, lalu bertemu, lalu berkencan atau makan bersama. Yang bersama dengan itu, rasa rindu pun hilang. Tapi aku tak mau, aku ingin selalu rindu dengan taman ini. Maka itu tak pernah aku betul-betul melampiaskannya. Kedatanganku ke taman itu, selalu, bukan dalam rangka melepas rindu. Tapi karena aku duduk memandangi taman, mengagumi jalinan edelweiss, seolah dia berada dia luar jangkauanku. Dengan demikian rasa rinduku terjaga selalu.

***

Joy adalah seorang pria berusia dua puluh delapan. Ia bekerja paruh waktu di restoran cepat saji. Sejak ia lulus kuliah lima tahun lalu, pekerjaannya memang tidak pernah stabil. Ia bertahan paling lama enam bulan, karena ia orang yang cepat bosan atas segala hal yang konstan. Kecuali satu, yakni kegiatannya duduk di taman. Sebuah taman yang kecil, mungil dan sejuk, yang didalamnya hanya ada dua bangku kayu panjang. Bangku tersebut letaknya di dekat lampu taman yang bulat, besar, bertiang. Joy, setiap harinya, selalu menyempatkan diri duduk disana sejak kuliah. Ia menggunakan waktunya untuk membaca, menulis, atau sekedar merenung.


Orang yang lalu lalang di taman itu, sudah hapal sekali bahwa Joy selalu duduk disana. Bahkan dengan demikian, banyak orang menjadi segan duduk di bangku tersebut. Seolah-olah ada labelnya: “bangku Joy”. Biarpun sebenarnya, Joy tak pernah keberatan bagi siapapun yang menduduki bangku kesayangannya. Jika itu terjadi, ia akan pindah, duduk di rerumputan, di bawah pohon yang bermekaran bunga edelweiss. Bagi Joy, konstanta itu bisa terjaga, jika rasa rindu bisa dipelihara. Joy pernah berkata pada temannya, dalam satu kesempatan dimana satu dan lainnya bisa berbagi cerita secara mendalam, bahwa, “Banyak orang yang merasa terganggu dengan rasa rindu, seolah ia perasaan mengganggu. Dan maka itu mesti dilenyapkan, dengan cara dilampiaskan. Misalnya, jika kamu rindu dengan pasangan, maka ditelponnya ia, diajak bertemu, lalu bercinta atau makan bersama.” “Padahal,” Joy melanjutkan, “Aku membiarkan diriku selalu rindu di taman tersebut, Marco. Dengan cara, aku tak pernah merasa melebur di dalamnya. Tapi setiap duduk, aku mengaguminya dari jarak yang cukup. Sehingga dengan itu, rindu tak terlepaskan.” “Dan entah kenapa, aku tak bisa menerapkan itu di dunia kerja,” tutup Joy.

Kamu sedang berada di taman. Taman yang sejak kuliahmu dulu, kamu senang berada disana. Di bangkunya yang panjang, terbuat dari kayu, dan teronggok di dekat lampu taman yang bulat besar bertiang. Yang kamu lakukan adalah macam-macam, tapi seringnya membaca. Membaca apa saja yang kamu suka, mulai dari novel, komik, hingga surat kabar. Dalam kesempatan tertentu, kamu juga sesekali menulis. Menulis apa saja yang sedang kamu rasakan.


Usiamu dua puluh delapan. Atau sudah lima tahun sejak kamu terakhir lulus kuliah. Tapi perasaanmu pada taman ini, selalu sama. Taman yang letaknya tak jauh dari tempat kamu kuliah. Tamannya sejuk dan hijau, meski tak terlalu luas. Di sana sini, kamu bisa melihat Edelweiss menyeruak dan berserak. Warnanya ungu menggoda mata. Membuat taman itu semakin terasa damai. Kamu selalu merindukan taman itu. Rindu yang kamu pelihara agar rasanya tetap rindu. Kamu tahu? Banyak orang yang selalu ingin melenyapkan rindu, seolah-olah dia adalah perasaan yang mengganggu. Melenyapkan rindu, dengan melampiaskannya pada orang yang dirindukan. Entah itu dengan ditelpon, diajak janjian, lalu bertemu, lalu berkencan atau makan bersama. Yang bersama dengan itu, rasa rindu pun hilang. Tapi kamu tak mau melakukan itu. Yang kamu lakukan di taman, bukan dalam rangka melepas rindu. Kamu duduk disana memandangi taman, mengagumi jalinan edelweiss, tapi kamu menganggap mereka berjarak dan di luar jangkauanmu. Dengan demikian rasa rindumu terjaga selalu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar