Aku sedang duduk sendirian. Pagi itu di sebuah taman. Taman yang sejak kuliah dulu aku senang berada di bangkunya yang teronggok dingin. Bangku kayu panjang, yang berada di dekat lampu bulat besar khas taman. Di taman ini aku melakukan banyak kegiatan, tapi paling seringnya adalah membaca. Membaca apa saja, mulai dari buku kuliah (dulu), novel, komik, hingga surat kabar. Dalam kesempatan tertentu juga, aku cukup sering menulis. Menulis apa saja yang sedang aku rasakan.
Usiaku dua puluh delapan.  Atau sudah lima tahun aku lulus kuliah. Tapi perasaanku akan taman itu  tetap sama. Taman yang letaknya tak jauh dari tempatku kuliah. Ia sejuk  dan hijau, meski tak terlalu luas. Kampusku di dataran tinggi kota ini,  sehingga Edelweiss bisa tumbuh di taman tersebut. Warna-warni ungunya  selalu membuatku rindu. Rindu yang selalu aku pelihara sehingga rasanya  tetap rindu. Karena sepertinya, banyak orang yang selalu ingin  melenyapkan rindu, seolah-olah dia adalah perasaan yang mengganggu.  Melenyapkan rindu, dengan melampiaskannya pada orang yang dirindukan.  Entah itu dengan ditelpon, diajak janjian, lalu bertemu, lalu berkencan  atau makan bersama. Yang bersama dengan itu, rasa rindu pun hilang. Tapi  aku tak mau, aku ingin selalu rindu dengan taman ini. Maka itu tak  pernah aku betul-betul melampiaskannya. Kedatanganku ke taman itu,  selalu, bukan dalam rangka melepas rindu. Tapi karena aku duduk  memandangi taman, mengagumi jalinan edelweiss, seolah dia berada dia  luar jangkauanku. Dengan demikian rasa rinduku terjaga selalu.
***
Joy  adalah seorang pria berusia dua puluh delapan. Ia bekerja paruh waktu  di restoran cepat saji. Sejak ia lulus kuliah lima tahun lalu,  pekerjaannya memang tidak pernah stabil. Ia bertahan paling lama enam  bulan, karena ia orang yang cepat bosan atas segala hal yang konstan.  Kecuali satu, yakni kegiatannya duduk di taman. Sebuah taman yang kecil,  mungil dan sejuk, yang didalamnya hanya ada dua bangku kayu panjang.  Bangku tersebut letaknya di dekat lampu taman yang bulat, besar,  bertiang. Joy, setiap harinya, selalu menyempatkan diri duduk disana  sejak kuliah. Ia menggunakan waktunya untuk membaca, menulis, atau  sekedar merenung.
Orang yang lalu lalang di taman itu, sudah hapal  sekali bahwa Joy selalu duduk disana. Bahkan dengan demikian, banyak  orang menjadi segan duduk di bangku tersebut. Seolah-olah ada labelnya:  “bangku Joy”. Biarpun sebenarnya, Joy tak pernah keberatan bagi siapapun  yang menduduki bangku kesayangannya. Jika itu terjadi, ia akan pindah,  duduk di rerumputan, di bawah pohon yang bermekaran bunga edelweiss.  Bagi Joy, konstanta itu bisa terjaga, jika rasa rindu bisa dipelihara.  Joy pernah berkata pada temannya, dalam satu kesempatan dimana satu dan  lainnya bisa berbagi cerita secara mendalam, bahwa, “Banyak orang yang  merasa terganggu dengan rasa rindu, seolah ia perasaan mengganggu. Dan  maka itu mesti dilenyapkan, dengan cara dilampiaskan. Misalnya, jika  kamu rindu dengan pasangan, maka ditelponnya ia, diajak bertemu, lalu  bercinta atau makan bersama.” “Padahal,” Joy melanjutkan, “Aku  membiarkan diriku selalu rindu di taman tersebut, Marco. Dengan cara,  aku tak pernah merasa melebur di dalamnya. Tapi setiap duduk, aku  mengaguminya dari jarak yang cukup. Sehingga dengan itu, rindu tak  terlepaskan.” “Dan entah kenapa, aku tak bisa menerapkan itu di dunia  kerja,” tutup Joy.
Kamu sedang berada di taman. Taman yang sejak  kuliahmu dulu, kamu senang berada disana. Di bangkunya yang panjang,  terbuat dari kayu, dan teronggok di dekat lampu taman yang bulat besar  bertiang. Yang kamu lakukan adalah macam-macam, tapi seringnya membaca.  Membaca apa saja yang kamu suka, mulai dari novel, komik, hingga surat  kabar. Dalam kesempatan tertentu, kamu juga sesekali menulis. Menulis  apa saja yang sedang kamu rasakan.
Usiamu dua puluh delapan. Atau  sudah lima tahun sejak kamu terakhir lulus kuliah. Tapi perasaanmu pada  taman ini, selalu sama. Taman yang letaknya tak jauh dari tempat kamu  kuliah. Tamannya sejuk dan hijau, meski tak terlalu luas. Di sana sini,  kamu bisa melihat Edelweiss menyeruak dan berserak. Warnanya ungu  menggoda mata. Membuat taman itu semakin terasa damai. Kamu selalu  merindukan taman itu. Rindu yang kamu pelihara agar rasanya tetap rindu.  Kamu tahu? Banyak orang yang selalu ingin melenyapkan rindu,  seolah-olah dia adalah perasaan yang mengganggu. Melenyapkan rindu,  dengan melampiaskannya pada orang yang dirindukan. Entah itu dengan  ditelpon, diajak janjian, lalu bertemu, lalu berkencan atau makan  bersama. Yang bersama dengan itu, rasa rindu pun hilang. Tapi kamu tak  mau melakukan itu. Yang kamu lakukan di taman, bukan dalam rangka  melepas rindu. Kamu duduk disana memandangi taman, mengagumi jalinan  edelweiss, tapi kamu menganggap mereka berjarak dan di luar jangkauanmu.  Dengan demikian rasa rindumu terjaga selalu.
***
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar