Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Si Anjing dan Si Ikan

Shinbei, seekor anjing rumah yang dipelihara oleh keluarga Ridwan. Anjing yang jarang bergaul dengan anjing lain di lingkungannya. Bukan karena ia tak mau, tapi ia dilarang untuk keluar rumah apalagi bercengkrama dengan anjing tetangga, takut terkena virus kata tuannya. Pernah suatu ketika birahi Shinbei begitu menggebu, kabur ia keluar rumah dan langsung mencari anjing jalanan, anjing apapun yang pertama ia temui. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihindari. Sesaat setelah ke luar rumah, Iman, si penjaga rumah, berlari mengejarnya untuk kemudian menangkapnya dan melaporkan insiden tadi kepada tuannya yang juga adalah tuan Shinbei. Laporan yang didasari agar kasih sayang si tuan berkurang. Dasar manusia berkaki dua bisanya hanya menjilat saja, begitu kira-kira terjemahan salakan Shinbei. Si tuan yang ternyata begitu mencintai Shinbei, tak rela jika kemurnian ras peliharaannya harus terkotori. Oleh sebabnya ia membawa Shinbei ke dokter hewan langganan. Dengan tangkas dan tanpa sakit, si dokter mengeksekusi Shinbei, mengebirinya, membunuh naluri paling dasar dari seekor hewan.

Dalam ketidaksadarannya, Shinbei merasa seolah-olah ia tengah berjalan menyusuri jalanan yang kemudian mengantarnya masuk ke dalam hutan. Cahaya matahari menghangatkan bulu abu-abunya. Senang sekali merasakan kehangatan setelah sekian lama terkurung di rumah berpendingin. Ingin rasanya ia menyerap kehangatan itu sebanyak mungkin untuk digunakan kembali ketika dingin menyergapnya. Ia melihat di ujung jalan sana terbentang sungai. Berlari ia ke arahnya dan segera mencicipi jernih airnya. Di kaki kanan bagian depannya, ia melihat seekor ikan kecil berenang berputar-putar.

“Apa kau baru di sini?” tanya si ikan.
“Ya, Aku baru pertama kali ke sini. Siapa namamu?”, Shinbei pun bertanya.
“Namaku? Apa itu nama? Aku ikan. Tanpa nama”, terang si ikan.
”Aku punya nama. Shinbei namaku. Pemilikku yang sudah kuanggap orangtuaku yang menamaiku”, jelas Shinbei.
”Aku ikan. Aku ini milikku. Tak ada selainku yang mengakuiku sebagai miliknya. Aku utuh. Tunggu, kau bilang tadi manusia berkaki dua itu sudah kau anggap orangtuamu? Makhluk paling sempurna sehingga seringkali bertindak begitu egois kau akui sebagai bagian darimu? Makhluk yang sering kali mengatasnamakan cinta namun menghabisi kemampuanmu bercinta itu? Makhluk yang jika sudah memberi lantas merasa memiliki hak atas diri kita?”, cerca si ikan tanpa henti.
”Mengapa kau sepertinya tidak suka sekali dengan mereka? Apa salah mereka terhadapmu?”, selidik Shinbei mencari tahu.
”Mereka tidak melakukan apapun padaku. Namun aku mendengar mereka melakukan hal yang sangat kejam pada kelompok ikan di sebelah timur sana. Mereka menangkap hampir semuanya dan membawanya pergi. Ikan yang berhasil lolos dari tangkapan mereka, memberitahu si burung berita tersebut. Lalu burung bercerita pada si katak dan katak menyampaikannya padaku”, jelas si ikan.


”Jadi begitu ceritanya asal mula kebencianmu. Bagaimana kau tahu apa yang telah terjadi padaku?”, tanya Shinbei.
”Naluri kebinatanganku yang mengatakannya. Sudah kau tinggal saja di sini. Mereka takkan menyakitimu lagi. Kau bisa hidup semaumu di hutan yang luas ini”, bujuk si ikan pada Shinbei.
”Seumur hidupku aku tinggal di rumah itu. Aku menjalani hidupku dengan teratur. Tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan makanan. Tidak perlu berlindung di bawah pohon atau di dalam gua untuk menghindari hujan. Tidak perlu berjalan jauh untuk mencari air minum. Tidak perlu merasa terancam dengan bahaya pengintai. Aku aman”, racau Shinbei.

”Kau tahu, kau telah gagal menjadi seekor hewan. Dimana jiwa petualangmu? Kau sudah terbuai dengan kenyamananmu. Kau menjadi seperti mereka, si makhluk berkaki dua yang jika sudah berada di zona nyamannya, takut untuk keluar. Membenci perubahan dan tak mau beradaptasi terhadap hal baru di sekelilingmu. Persis seperti itulah kau”, si ikan berkata.
”Kau sudah menghabiskan seumur hidupmu bersama mereka. Apa yang kau dapat selain kenyamanan? Hah? Jawab aku? Kenyamanan, sesuatu yang tak kasat mata, yang hanya kau sendiri yang dapat merasakannya. Tapi apa yang sudah hilang darimu sejak kau bersamanya? Kita berdua sudah tahu jawabannya dan dengan jelas bisa dibuktikan kebenarannya. Bukan tidak mungkin karena rasa cintanya padamu, ketika suatu hari nanti kau mati, mereka akan mengeluarkan isi perutmu dan mengawetkan jasadmu sebagai bukti kenangan mereka terhadapmu. Itu yang kau mau?”, papar si ikan.

Terdiam Shinbei setelah mendengar si ikan berbicara. Tak tahu ia apa yang sudah hilang darinya, sejak pengalaman hidupnya hanya tinggal bersama si tuan. Bagaimana ia tahu artinya kebebasan jika selama ini yang ia tahu selalu keadaan hidup terkekang?
”Tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang ku mau saat ini. Untuk mencari tahu apa yang ku mau, aku akan tinggal sebentar di sini. Mengamati dan meniru cara hidup yang sama sekali baru bagiku. Dengan begitu aku mungkin akan menemukan jawaban atas apa yang ku mau”, berkata Shinbei pada si ikan.
Senang si ikan mendengar jawaban Shinbei.
Berkata ia, ”Mari, ikut aku! Akan ku kenalkan kau dengan penghuni lain di hutan ini”.
Pergi mereka lebih dalam ke arah hutan, menyusuri sepanjang sungai.
Dan petualangan pertama Shinbei pun dimulai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar