Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Jumat, 22 Juli 2011

Semangka

Suatu hari ketika aku terlelap, dan bermimpi tentang dunia. Dunia yang bukan bulat biru seperti biasanya. Tapi bulat hijau bergaris putih bak semangka. Lalu aku masuk ke dalam dunia yang merah warnanya. Kuinjak dataran yang lembek basah adanya. Mana yang lain? Dimana kehidupan? Lalu datang silih berganti para biji berwarna hitam. Mereka bisa bicara, “Paduka, manusia telah musnah. Mereka tak mampu hidup di dataran semangka.” Aku bingung, tapi harus berbicara, karena mereka satu-satunya yang bisa diajak bicara, “Mengapa mereka tinggal disini? Kemana dunia bernama bumi?”

Biji itu, hitam lonjong seperti biji semangka. Setiap mereka berbicara, ada katup kecil yang buka tutup seperti mulut. Mereka tak punya mata, “Semua ini terjadi dua ribu tahun lalu. Kala bumi sudah menjelang kehancuran karena ulah manusia yang serakah. Tuhan berbaik hati dengan memberi manusia dua pilihan. Satu, perbaiki bumi dengan kemampuan yang tersisa. Mulai dari yang sederhana: Tolong manusia, jangan buang sampah di sungai. Berhenti pakai plastik. Jangan lagi betoni tanah,” biji semangka itu tarik napas sejenak. Sekarang ganti temannya yang bicara, “Atau, pilihan kedua, pindahlah ke planet semangka. Terletak antara Venus dan Merkurius. Disana banyak air, manusia bisa mencoba.” “Lalu?” aku mulai penasaran. “Manusia, karena kemalasannya dan ambisi yang tak pernah selesai, penasaran dengan planet semangka. Mereka menciptakan kapal raksasa yang bermuatan milyaran orang. Dibangun lima puluh tahun lamanya.”

“Lantas hampir seluruh manusia di bumi melakukan eksodus besar-besaran. Hanya yang tua yang ditinggal, karena mereka enggan ikut. Mereka cinta bumi ini. Sedang yang muda naik kapal,” biji yang lain berbicara lagi, “Sampai di planet semangka, mereka mendarat selamat. Namun kala keluar dari kapal, semua hangus terbakar.” Suasana jadi mencekam. Aku bertanya, “Kenapa?” “Karena letak planet semangka tak jauh dari matahari, dan atmosfernya tak cukup tebal untuk melindungi diri dari radiasi. Manusia saking malasnya tinggal di bumi, tak memperhitungkan itu, bahkan para ahli sekalipun.” “Bumi makin tua makin melahirkan manusia yang enggan peduli alam semesta.” Biji yang lain melanjutkan kisah itu. Aku menghitung, mereka semua bersepuluh, “Lalu ada beberapa yang masih tinggal di pesawat, mereka ketakutan melihat rekannya terbakar di permukaan planet semangka. Mereka minta pilot untuk kembali ke bumi dan mereka semua janji untuk kembali memperbaiki bumi.” Aku menelan ludahku, “Lalu?” “Lalu mereka dengan terburu-buru kembali ke bumi, tapi bumi ternyata telah dikiamatkan Tuhan, bumi lenyap tanpa sisa dan terbang bersama debu angkasa.”

“Manusia dalam kapal semua mati dalam sepuluh tahun karena kehabisan makanan dan udara. Dengan demikian habislah manusia.” Aku terdiam sekaligus gelisah, “Jadi, jadi, aku kah manusia bumi yang tersisa? Apakah aku harus tinggal disini?” “Ya, paduka, tinggalah disini selamanya. Sebentar lagi Tuhan akan menurunkan hawa dari kaum mu, dan berkembangbiaklah di planet semangka. Atmosfer akan dibuatkan segera untuk mencegah radiasi.” “Tidak, tidak, aku tidak mau. Aku mau kembali ke bumi. Aku janji memperbaikinya seorang diri!” “Tak mungkin, paduka, planet bumi telah tiada.”

Aku menjerit sekencang-kencangnya. Mendapati diri di tempat tidur dengan keringat berpeluh. Fyuh, cuma mimpi. Aku turun ke dapur, membuka kulkas, dan berteriak terkejut melihat semangka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar