Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Jumat, 22 Juli 2011

Merindu

Pernah mendengar tentang bunker?

Betul, bangunan yang didesain sebagai tempat berlindung baik dari serangan bom ketika perang ataupun ketika terjadi bencana alam.

Saya ini sudah setahun lebih tinggal di dalam bunker. Bukan karena terpaksa, tapi murni pilihan sendiri. Bukan pula karena ada perang saudara atau bencana alam. Bukan, bukan itu.

Saya mengikuti tantangan lari dari kenyataan. Hidup di dalam bunker dengan sekitar tiga ratus orang lainnya dengan masa yang tidak dipastikan ketika tanda tangan kontrak.

Hidup kami terjamin, pasokan udara juga selalu ada. Bahan makanan jangan ditanya, berlimpah ruah.

Yang harus kami lakukan hanyalah melupakan kehidupan di atas sana.

Awalnya saya berpikir, bagus juga lah tak perlu bersusah payah kena kemacetan.

Apalagi di dalam kontrak, tidak ada larangan untuk menjalin kasih antar sesama penghuni bunker.

Alangkah indah hidup jadinya.

Sehari, seminggu, sebulan pun berlalu.

Masih terasa menyenangkan, pasokan listrik dan air bersih selalu tersedia.

Mengobrol ngalor-ngidul dengan teman baru tentang kehidupan mereka di atas sana.

Bulan berganti, rasa jenuh mulai menghantui.

Tembok seakan menghimpit tubuh ini. Terasa sesak. Susah bernapas, padahal tekanan udara masih normal sama seperti pertama kali kami tinggal di bunker ini.

Makanan serasa hambar di lidah, tidak menggugah selera.

Senyuman berganti dengan kernyitan.

Perbincangan berganti dengan kesunyian.

Seakan seluruh gairah hidup sudah terkuras habis.

Gairah untuk mencinta pun lenyap entah kemana.

Di kepala kami hanya terngiang-ngiang satu hal.

Menanti, menanti kapan kiranya pintu bunker terbuka kembali sehingga kami bisa merasakan silaunya matahari bukan hanya sekedar terangnya lampu neon seperti satu tahun belakangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar