Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Jumat, 22 Juli 2011

Rindu Merindu

Aku rindu sebuah tempat dimana kala hujan mengguyur, bau tanah basah tercium tajam. Aku rindu sebuah tempat dimana matahari terbit disambut kokok ayam. Ini tempat tak lagi sama. Rumahku yang dulu, telah sirna sejak gajah-gajah besi itu menginjak bumi kami. Mereka menggerus tanah dengan kasar, lalu gerombolan orang bersepatu bot mengotori lengannya dengan adonan berwarna putih. Setiap hari mereka berisik, tak pagi, tak siang, tak malam. Hujan petir tak membuat mereka urung bekerja. Katanya ini proyek kilat, mesti jadi mal dengan segera.

Sejak lurah yang baru berkuasa, ia ogah menjaga kedamaian desa. Kedatangan orang-orang pemerintah meluluhkan hati dan pikirannya demi uang yang banyak. Katanya, “Biar, biar kita maju, biar kita punya uang. Mau sampai kapan kita hidup seperti ini sedangkan dunia sana sudah banyak kemajuan?” Aku, dan segenap penduduk menyatakan iya, karena memang Pak Lurah ada benarnya. Pak Lurah pintar, sudah haji, sekolahnya tinggi, pasti ngerti.

Sekarang mal itu sudah berjalan lima tahun lamanya. Dulu usiaku dua puluh ketika awal mula orang kota mengubah apa-apa yang hijau jadi putih beton. Sekarang semua menjadi gemerlap megah, mal itu menarik banyak mobil dan motor parkir di halamannya. Kami sekeluarga diberi kompensasi berupa uang dan pembetonan rumah, sehingga selaras sewarna dengan mal. Agar katanya, cantik dan tidak mengganggu pemandangan. Belakangan kutahu betapa pernyataan itu menyakiti perasaan.

Jika kami tak kuasa lagi mengubah keadaan, maka yang tersisa tinggal kerinduan. Sungguh kerinduan adalah semacam pertemuan. Raga terlempar seolah pada keadaan dimana segalanya masih hijau. Kala langit masih bisa kau tanyai tentang bagaimana cuaca hari ini? Sekarang aku yakin langit di atas masih langit yang sama seperti dulu. Tapi langit tak bisa lagi memandangku, karena terhalang tembok-tembok yang menjulang. Kami tak lagi saling percaya seperti dulu.

Aku rindu sebuah tempat dimana kala hujan mengguyur, bau tanah basah tercium tajam. Aku rindu sebuah tempat dimana matahari terbit disambut kokok ayam. Aku rindu ketika gelap sunyi mendekatkan hati pada Ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar