Nasto, bagaimana aku mengingatnya? Ya, tanggal itu, 28 Desember 2008 jika saya tidak salah. Dega, teman saya waktu itu, menelpon: membicarakan rencananya datang ke Bandung untuk suatu urusan yakni liburan. Oke, Dega, berapa orang kalian itu? Kami berenam, bisa tolong carikan penginapan? Tak usah, bagaimana jika menginap saja di rumahku? Akhirnya ia setuju. Datanglah mereka di tanggal itu, 28 Desember. Menaiki travel Baraya, kujemput mereka. Rombongan yang saya tak sempat cek apakah enam atau bukan. Sebelum masuk mobil, mereka berdiskusi singkat soal siapa duduk dimana. Dan diputuskanlah: seseorang bernama Anast, duduk di depan, di samping saya.
Perasaan saya waktu itu, canggung sekali.  Karena sebelum penjemputan, saya cuma kenal Dega. Dega yang diam-diam  saya suka. Diam-diamkah? Yang lain baru dikenalkan waktu itu.  Orang-orang yang sulit saya ingat namanya karena perkenalkan dilakukan  ketika saya sedang menyetir di kegelapan malam. Yang saya ingat betul,  adalah seseorang di samping saya, yang merupakan Anast: entah kenapa,  sering jadi bahan bercandaan teman-temannya.
Mereka menginap semalam  saja. Besok siangnya sudah pergi lagi, melihat-lihat Lembang dan  Tangkuban Perahu-nya. Sampai saat itu, saya tidak banyak mengingat  Anast. Tapi bolehlah dibilang itu awal perkenalan.
Semuanya berlalu,  dan tak saya sangka kami akan kembali bertemu. Sudah lama sejak hari  itu, kami berjumpa di dunia maya, tepatnya tanggal 15 Juli 2009. Ia  datang, membantu saya yang kesulitan memahami Dega. Oia, saya dan Dega  akhirnya berpacaran. Dan dalam waktu yang singkat saja, kami putus.  Beberapa menit saja setelah berakhirnya hubungan, saya mengubah status  in a relationship di Facebook, dan seketika itu juga hadirlah Anast  mengomentari. Komentarnya singkat, cuma memberi semangat.
Esoknya ia  menyapa saya di FB Chat. Dan akhirnya kami berinteraksi. Sungguh, buat  saya ia masih orang asing. Seseorang yang saya temui lebih dari setengah  tahun lalu dalam kondisi selewat saja. Tapi kualitas interaksinya,  seperti saya ini korban bencana, yang dengan cepat tanggap ia datang  membagikan berdus-dus indomie dan biskuit. Tanpa mesti kenal dekat, yang  penting ia seolah tahu: orang ini mesti dibantu. Lalu kami berbincang  lama, dan ia menawarkan untuk memediasi kami agar rujuk.
Rujuk pun  berhasil, biarpun tidak langsung melalui Anast, melainkan beberapa usaha  saya sendiri yang saya bilang sih, gigih dan keras. Setelah saya dan  Dega kembali berpacaran, Anast tidak berhenti menganggap saya korban  bencana. Atau setidaknya: sudah bukan korban, tapi tetap butuh  restrukturisasi bangunan dan mental. Ia pun rajin mengirimkan e-mail.  E-mail yang berisi berbagai tips soal bagaimana mengatasi Dega.  E-mailnya sederhana, dan ada beberapa yang informasinya sudah saya  ketahui, tapi ia tetap berguna, oleh karena dua hal: satu, kumpulan  e-mail itu membuat saya dan Dega semakin akrab, karena tak berhenti  tertawa kala membacanya. Dua, saya jadi tahu, bahwa ada, ya, ada, orang  macam itu, yang berhati bersih, tulus, dan mau berkorban demi  kebahagiaan sahabatnya. Apa enaknya memang, capek-capek mengirimi saya  e-mail panjang lebar atau memediasi, jika belum terlalu kenal saya ini?  Dan apa untungnya bagi ia, berdasarkan ukuran materiil, jika hubungan  saya dan Dega menjadi baik dan harmonis?
Oh, sungguh, tidak mudah  menjawab itu, jika kau bukan seseorang yang menghargai betapa  berharganya sebuah persahabatan, jika kau orang yang menganggap hubungan  antar manusia ini laksana memetik mahkota mawar. Ketahuilah bahwa  mawar, mahkotanya, adalah bagian terindah dari mawar. Tapi ia tak jadi  apapun jika kau ceraikan dari tangkainya. Tangkainya yang penuh duri  itu. Anast, yang akhirnya saya ketahui dipanggil Nasto juga, ingin mawar  sepenuhnya. Ia ambil keseluruhannya dari pangkal, tangkai dan mahkota.  Darah mengucur di lengan, tapi ia bisa namai itu mawar sejati.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar