Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Rabu, 20 Juli 2011

My Dear Sarap

Kau mau tahu tentang dia? My dear Sarap.

Ingat hotel Nikko, ingat dia. Ya, dia! Itu kali pertama dia menelpon ketika aku sedang menginap di hotel itu bersama para sahabat. Dapat nomor teleponku dari Johan katanya, sahabatku. Pembicaraan ringan tak berkesan. Paling ujung-ujungnya mau jadi pacar, batinku.

Ingat The Secret, ingat dia. Ya, dia! Karena pembicaraan di telepon bersamanya biasa saja hingga kuungkapkan padanya betapa aku tak bisa menikmati membaca buku jenis itu. Ternyata dia pun satu suara, entah memang benar atau dibuat-buat biar sama. Dari The Secret berlanjut ke diskusi-diskusi panjang tak berujung, isi bensin.

Ingat brownies Amanda oleh-oleh khas Bandung, ingat dia. Ya, dia! Sebelum datang ke Jakarta dalam rangka pertemuan pertama, dia berjanji akan membawakanku brownies Amanda, tetapi tebak apa yang dibawanya, hanya dirinya. Dirinya saja, tanpa janjinya. Tambah lagi pria jenis ini di hidupku, ujarku dalam hati. Janji ya janji. Hanya kata-kata tanpa makna. Kasihan sekali wanita yang memilih bersamanya, yang akan kenyang dengan kata.

Ingat La Tahzan, ingat dia. Ya, dia! Tertampar oleh reaksiku akan janjinya yang mentah dan sikapnya yang seolah mengistimewakanku setelah melihat bentukku; yang sepertinya dia suka, menggulat lah dia, seperti ulat disiram air panas. Lagi-lagi jenis pria pembuat keputusan berdasarkan fakta yang didapatnya dari mata, hanya mata, itu kesimpulanku. Mari pergi, pergi dari hidupnya, karena sepertinya kita tidak cocok, kawan! Aku bukan hanya tubuh dan wajahku, aku adalah aku, bisa kau pahami itu?
Lalu datang dia dari kota browniesnya demi memperbaiki semua, semua entah apa. Mungkin pemikiranku tentangnya, mungkin keputusanku yang tak mau lagi terlibat di kehidupannya, karena toh ini memang hanya cerita cinta, yang belum sempat ditulis tapi sudah kubuang tintanya. Datang dia membawakanku buku itu, La Tahzan, dilampiri dengan goresan penyesalan dan maaf. Kumaafkan, kawan.

Ingat Bandung, ingat dia. Ya, dia! Alih-alih menyewa kamar hotel ketika ku berlibur di kota itu, ku menginap di rumahnya, lantai satu yang membuatku merasa nyaman. Ruangan tanpa sekat, dipagari rak buku; impianku, televisi besar dengan saluran internasional, meja kecil tempat berkreasi, kumau punya satu yang seperti ini nanti, di rumahku.

Ingat almarhumah dosenku, ingat dia. Ya, dia! Biasa kupanggil Madame, waktu itu beliau pernah menjawab pertanyaanku, ”bagaimana kita tahu kalau dialah pria yang harus kita nikahi, Madame?”. Sambil menatapku lembut beliau menjawab, ”Saat kita tak habis-habisnya berdiskusi dengannya, tentang apa saja. Karena cinta tidak abadi, berdiskusilah yang bisa kita lakukan hingga hari tua nanti, ma chèrie”.
Kuingat itu beberapa kali saat mendengarnya berbicara di telepon, percakapanku dengan Madame lah yang terlintas, entah mengapa, tak kuambil pusing saja. Madame, kaukah yang berbicara?

Ingat sampah, ingat dia. Ya, dia! Jika kuingat-ingat apa yang bisa membuatku akhirnya berkomitmen dengannya, tak ada yang bisa kuingat. Tapi kutahu bukan karena emosi sesaat atau keadaan yang menekan. Kujalani saja tanpa banyak tanya, tanpa gundah, hanya berjalan, menapak. Hingga sampai pada hari itu, saat kumerasa bahwa kehadirannya benar-benar mengganggu hidupku. Kupergi saja, tanpa pamit. Keputusan yang salah ternyata, semakin menjadi-jadi dia mengacaukan hidupku. Sadar bahwa pergi tak bisa menjadi solusi, kuhadapi dia, kuberteriak di telinganya, memakinya, melumurinya dengan racun, tak apa yang penting ku puas. Sampah menjadi kata pewakil yang menggema di kepalanya.

Ingat The Secret Life of Bees, ingat dia. Ya, dia! Buku itu, memantapkan keyakinanku akan tidak pentingnya sebuah pernikahan. Hal yang hanya akan membunuh diriku sendiri dan menggadaikan terlalu banyak yang sudah kuraih. Keyakinan yang entah sudah dimana kini, meluap, terhapus, terkikis atau terkubur. Keyakinan yang turut meremas keyakinannya untuk melanjutkan cerita kami.

Ingat Sabine, ingat dia. Ya, dia! Sabine itu sahabatku, teman kantorku, tetanggaku selama tiga bulan. Awal Sabine datang sekaligus menjadi awal cerita kami, aku dan dia, ya dia! Cerita indah dan tak indah kami rajut bersama. Kini Sabine sudah pergi, kembali ke rumahnya, tapi dia belum pergi, tidak pergi, jangan pergi.

Ingat rumah, ingat dia. Ya, dia! Andai kau tahu betapa istimewanya rumah di hatiku. Dan itu, dia bilang mau membangun rumahku, rumah kami. Tak apa orang berpikir ini transaksi jual beli, yang penting dia tahu, kami sama-sama tahu. Nantikan kami wahai rumahku, rumah kami. Lalu mari bercerita bersama!

Ingat Pak Tri, ingat dia. Ya, dia! Pak Tri, teman dan sahabat yang pernah kutanya, “Bagaimana kita tahu kalau dia adalah orang yang harus kita nikahi Pak?”. Sambil tersenyum menjawab ia, “Nanti kamu akan tahu, pasti kamu tahu dan cuma kamu yang akan tahu, terasa”. Jawaban absurd yang membingungkanku kala itu, kala itu. Terima kasih Pak, kini saya paham, saya tahu, terasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar