Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Makanan Terenak Sedunia

Jangan kau minta aku menganalogikan dengan yang lain, belum, belum bisa. Kalau iklan bilang, tak ada tandingannya! Kering, garing, basah, berkuah. Manis, pedas, renyah, spicy! Oh, so Indonesiana!

Ingat punya ingat, hingga kini aku tak ingat kapan kali pertama mencobanya. Hmm... waktu SD sepertinya, atau mungkin sebelumnya? Mungkin saja. Yang jelas masih kuingat, jajanan favoritku ini dijual oleh pedagang pria (kalaupun ada yang wanita, belum pernah kujumpa) dengan menjinjing apa itu namanya ya? Gerobak kah? Anggap saja namanya gerobak tak beroda. Gerobak yang terbuat dari kayu ini terdiri dari dua bagian, yang dijinjing di kanan dan di kiri bapak penjual. Biasanya, yang di kiri terdapat kotak kayu dengan pintu geser. Kalau digeser ke atas, kita bisa lihat tahu-tahu kotak berwarna cokelat berhimpitan, bak anak pramuka di bak terbuka. Di depan kotak, ada space kecil berfungsi sebagai talenan dan tatakan. Gerobak bagian kanan ada botol-botol berisi cairan magic. Campuran gula merah dan cuka, sepertinya. Juga tumpukan piring-piring kecil, hitam, dingin karena terbuat dari batu, cantik sekali. Cabe rawit hijau, bawang merah, putih dan tusuk gigi.

Kau sudah tahu aku membicarakan apa? Yup! Tahu gejrot! Oh, menyebutnya saja membuatku sakaw. Entah kapan terakhir kali aku memakannya. Harus main ke rumah Dian lagi sepertinya.Hehe, Dian itu temanku, di rumahnya penjual tahu gejrot rutin lewat. Kalau di tempatku, sudah jadi barang langka. Mungkin di SD-SD masih ada ya? Kurang tahu juga. Kalau sudah di rumah Dian, telinga dan mataku siaga siang-siang, waktunya tahu gejrot datang. Sebetulnya, mata sih yang siap siaga, karena penjual tahu gejrot tak punya bel atau jingle seperti penjual es krim. Paling yah teriak saja, ”Tahu gejrot!” malah tak jarang tanpa suara, lewat saja.

Eh, kau pernah makan makanan yang berasal dari Cirebon ini belum? Don’t die before you try it! Hahaha.. Sini, ku kasih tahu rahasia! Kalau kau jajan ini, bilang, ”Yang pedes ya, Bang!” Ini salah satu tangga menuju surga. Si Bapak akan mengambil cabe rawit, sejumput bawang merah dan putih, sedikit garam, lalu diulek di atas piring batu. Tahu kecil-kecil berwarna cokelat tadi itu ternyata sudah digoreng sebelumnya, tapi bukan waktu kita pesan, tapi di rumah si bapak penjual. Tahu tadi akan dipotong kecil-kecil, arbitraire, lalu ditaruh di atas piring batu bersama bumbu ulekan. Kemudian si bapak akan menuangkan kuah gula merah di atasnya, sambil diaduk-aduk biar merata. Cabe rawit dan bawang akan terguling ke atas, hingga pemandangan menjadi cantik, hijau, merah, putih dan cokelat.

Tahu kering sudah bermandi kuah sekarang. Kini yang kau butuhkan cuma satu, tusuk gigi. Bukan untuk mendongkrak yang nyelip-nyelip di gigi, tapi ya itu, tusuk tahunya, lalu haaammm... lahaplah! Enak kan? Eits, eits! This is the best part, tempelkan bibir piring ke bibirmu, hirup kuah manis pedasnya, hhhhmmm…. Bagaimana? Magic kan? Sensasi dingin dari piring batu itu loh, bikin tambah semriwing saja. Dinginnya membawa kita ke sumber mata air Aqua! Hahaha…

Ah, menyiksa ini. Jadi sakaw lagi. Slllrruuppppp!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar