Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Lilin

Saat ini aku sedang membalikkan bola mata. Dari yang tadinya melihat ke depan, sekarang memutar ke belakang. Belakang, terus memandang, ke dalam jiwa. Tapi tak kulihat apa-apa. Karena jiwa adalah gelap, segelap misteri. Pekat. Maka kuambil sesobek memori dari otak. Kutambal sulam dengan benang seadanya. Sobekan demi sobekan, hingga jiwa sedikit demi sedikit terlihat wujudnya.

Rupa jiwa, akan kuceritakan padamu. Ia mirip aku juga, tapi lebih kecil dan kerdil. Berjalan sendirian menuju sesuatu entah apa. Entah apa, itu yang aku sedang pecahkan. Kuambil lagi sobekan memori, sekarang kucari yang agak besar, tapi jua tak menjelaskan apa-apa. Mau kemana kau jiwaku? Berjalan sendirian tak tentu arah. Kecil mungil tak berdaya. Seperti anak tak bertuan yang dilepas di jalanan. Ingin kugenggam ia, dan kucengkram lalu kubawa keluar dari tubuh. Agar menikmati penerangan yang hakiki, di benderangnya dunia indrawi.

Namun aku tahu aku tak bisa melakukan itu. Ia mesti berjalan sendirian di kegelapan, karena demikian jiwa diciptakan. Jikalau ada yang bisa kulakukan, adalah menyimpankan baginya lilin kecil dalam nampan yang juga kecil. Sebatang saja, tapi bisa ia pegang sebagai teman dalam pekatnya. Lilin itu tidak terbuat dari paraffin yang lumer oleh panas api. Tapi dari hati yang rindu akan segala bentuk harapan. Karena harapan adalah pelita, dan setiap harapan itu tercapai, maka pelita tak lama kemudian akan menemui sirnanya. Dan demikian jiwa kembali sendirian.

Maka, lilinku, tetaplah setia menemani jiwaku. Jikalau ia sempat padam karena harapan tak tergapai tangan, maka tak perlu takut untuk kembali mengakrabi kegelapan. Karena harapan sesungguhnya tak sulit untuk kembali diciptakan, hanya untuk mereka yang bersedia dengan ikhlas tangannya dilelehi panas lilin. Yang meski sakit dan perih, tapi tetap tergenggam dengan kuat. Karena sadar bahwa lebih baik sakit dalam terang, ketimbang bugar dalam kegelapan.
Lalu kukembalikan bola mataku ke depan. Kubiarkan melihat kembali terangnya lampu dan matahari. Meski bukan terang yang sejati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar