Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Lilin Ade

“Mama, Mama di mana? Kenapa jadi gelap begini, Ma?”
“Mama di sini, Sayang! Ade di mana?”
“Ade di pintu kamar, Ma.”
“Ade tunggu di situ ya! Biar Mama yang datang jemput Ade.”
Ade diam dalam gelap sambil berpegang pada kusen pintu. Ade mengerjapkan matanya berkali-kali, heran mengapa tambah lama pandangannya tambah kelam. Disapunya pandangan ke seluruh ruangan, tak nampak lagi seperti ruangan. Gelap. Sempat kaget sekali tadi, tapi kini walau jantungnya masih berdegup kencang, Ade sudah lumayan tenang. Tenang karena tahu mama akan datang.

“Mama, di mana?”
”Sebentar lagi, Sayang!” jawab mama menenangkan. Suara mama terdengar jauh lebih dekat sekarang. Berkurang degup jantung Ade.
Kaget Ade merasakan kehangatan menangkap pundaknya, tangan mama.
“Sini, Sayang! Ikut Mama,” ajak mama sambil menggandeng tangan Ade.
“Ade tadi takut, Ma! Kenapa jadi gelap begini?”
“Mati lampu, Sayang! Sepertinya semuanya. Rumah di depan juga gelap. Mungkin ada masalah dari PLNnya.”
“Kenapa Ma, PLNnya?”
“Entah. Bisa jadi ada kabel yang putus atau gardu yang terbakar.”
“Bahaya donk Ma! Terus sampai kapan kita gelap-gelapan begini?”
“Tidak tahu. Biasanya sampai beberapa jam.”
“Terus kita bagaimana, Ma?”
“Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita cari cara lain mendatangkan cahaya.”
“Kita pasang lilin ya, Ma?’
“Iya, Mama taruh di mana ya?”
“Ade gak tahu, Ma. Kita cari saja.”
“Mama taruh di laci, tapi lupa laci yang mana.”
“Kita cari sama-sama saja. Kalau tidak mati lampu begini, kita lupa sama lilin ya, Ma!”
”Hehe.. Iya. Kita terlalu asyik sama lampu-lampu ya, De!”
“Iya, Terakhir Ade bertemu lilin waktu praktek kimia di sekolah.”
“Mama kapan ya? Oh, waktu menempel plastik bungkus kacang goreng untuk jualan.”
“Waduh! Sudah lama sekali itu. Sebelum kita punya alat pengelem tu donk ya?”
“Hehe.. Iya.”
“Berarti kita harus berterima kasih sama PLN, Ma. Karena kalau listrik kita tidak dimatikan, kita tidak ingat lagi sama lilin.”
“Hehe.. Iya juga ya, De!”
“Si Mama ketawa terus. Beneran ini.”
”Iya, Sayang! Mama juga berpikir begitu. Kalau listriknya tidak mati, kita tidak mencari-cari lilin, tidak berjalan bersama sambil berpegangan tangan di dalam gelap seperti tadi.”
“Hihi.. Rasanya seru juga ya, Ma! Seperti di hutan atau di gua.”
“Iya! Ade juga tidak akan tahu kalau gelap itu bisa menakutkan.”
“Iya, tadi Ade kaget dan takut. Semuanya gelap. Ade coba keluar kamar, tapi jadi susah tanpa cahaya. Untung Mama mau datang jemput Ade, jadi Ade tenang, gak takut lagi.”
“Iya, Sayang. Pasti Mama jemput lah. Masa anak Mama dibiarkan ketakutan, dibiarkan sendiri di dalam gelap.”
“Iya, Mama jadi lilin Ade ya, tadi?”
“Ini dia, ketemu! Hai lilin, apa kabar?”
“Hihi.. Halo lilin! Sudah lama ya kita tak berjumpa. Ini Ade dan Mama. Masih ingat?”
“Ingat donk ya, Lilin?”
“Kita masih ingat kamu, kok. Maaf ya sudah sempat lupa.”
”Sini, De! Kita ke dapur sekarang.”
”Cari korek, Ma?”
”Mama gak simpan korek, pakai api dari kompor saja.”
”Sebentar ya lilin, sebentar lagi kamu akan bercahaya.”

Mama memutar pedal kompor ke kanan, api lalu menyala. Ade menunggingkan satu lilin, mendekatkan sumbunya ke api, dan terbakarlah sang sumbu. Menyala. Mama mengoper piring kecil ke Ade yang kemudian menunggingkan lilin di atasnya agar lelehan minyak menetes dan ditaruh lah segera lilin, sebelum lelehan membeku. Mama dan Ade menyalakan tiga buah lilin; satu ditaruh di ruang tamu, satu di ruang keluarga dan satu lagi di kamar mandi. Mama dan Ade kemudian duduk berdampingan di karpet ruang keluarga, menghadap sang lilin.

”Lucu deh, Ma. Apinya goyang-goyang!”
”Iya, tertiup angin.”
”Angin, jangan besar-besar ya, nanti lilinku mati.”
”Tenang, lilin jagoan kok, De! Kalau anginnya tak sebesar hembusan kamu, dia masih bisa nyala. Masih bisa menerangi kita.”
”Sini, Ma. Duduk dekat lilin, biar wajah Mama terlihat jelas.”
Mama pun begeser mendekati lilin dan anaknya.
”Untung ada lilin ya, Ma. Kita jadi tidak kegelapan. Coba kalau kita tidak simpan lilin, pasti kita masih kegelapan sekarang.”
”Gelap juga tak apa, Sayang.”
”Iya ya, kan ada Mama.”
”Kalau tak ada Mama, Ade juga harus tak apa-apa. Gak boleh takut, ya?”
”Kalau gak ada Mama, kayaknya Ade tetep takut deh, Ma!”
”Eh, gak boleh takut. Kan ada lilin...”
”Kan tadi ceritanya lilin kita gak ada, terus gak ada Mama juga, ya Ade takut, donk.”
”Sayang, sini!”

Mama menarik Ade bersandar di dadanya. Dipeluknya erat sambil diusap-usap kepalanya.
”Ade sayang, siapa ayo tadi yang bilang kalau Mama itu lilinnya Ade?”
”Ade yang bilang.”
”Nah, kalau Mama itu lilin, berarti Mama yang menerangi Ade, kan?”
”Iya, makanya Mama harus ada, gak boleh ke mana-mana.”
”Mama gak kemana-mana, Mama kan selalu ada di sini,” ujar Mama sambil menunjuk ke dada Ade.
”Iya kan? Mama selalu ada di sini kan, Sayang?”
Ade terdiam, merenungi perkataan Mamanya.
”Iya, Mama ada terus di sini, donk!” ujar Ade sambil tersenyum dan merengkuh tangan Mama ke dadanya.
”Jadi, Ade bawa lilin kemana-mana, kan?”
”Hihihi.. Iya juga ya! Ade, si empunya lilin di hatinya.”
”Hahaha.. Iya, keren juga!”
”Jadi, biar gelap, kelam, sepi, Ade gak boleh takut lagi, oke?”
”Oke!”
”Karena apa?”
”Karena ada Mama, lilinnya Ade.”
”Pinter, anak Mama!” ujar Mama bangga sambil memeluk erat pujaan hatinya. Disebarkannya hangat lewat kecupan di kening Ade.
”Anak Mama, anak Mama sayang. Anak Mama, anak Mama sayang. Anak Mama, anak Mama sayang..”

”Mama! Mama! Mama!” panggil Ade berteriak. Terbangun ia. Gelap. Kelam. Mati lampu rupanya. Mati lampu.
”Gak boleh takut, Ade! Gak boleh. Ayo, mana lilinnya. Tenang, gak boleh takut.”
”Gak boleh takut.. gak boleh takut.. gak boleh takut..” Ade mengucapkannya berulang-ulang sambil memeluk lututnya, erat. Menangis dia. Menangis merindukan lilinnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar