Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Lilin

Sudah dua hari ini aku tiba di tempat ini. Sesak. Penuh. Mana bau ini wangi sekali pula. Aku tak tahan. Aroma khas wanita. Gelap. Sekelilingku gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa, tak ada cahaya. Aku berdiri berjejer dengan setidaknya sebelas temanku yang lainnya. Kami semua ramping dan putih mulus, telah siap untuk diberdayagunakan. Kalau pagi hari, bisa kudengar aktivitas di luar. Suara teriakan Koh Akwet memanggil buruhnya untuk mengambil ini dan mengangkat itu.

Loh loh... mengapa tempat ku menapak jadi bergoyang-goyang seperti ini?
‘Pegangan!’, ujar temanku di bagian belakang.
‘Jangan sampai formasi kita yang kokoh ini rusak’, himbau temanku yang lain yang tepat berada di sebelahku.
Kami pun segera merapat dan memasang kuda-kuda sekuat yang kami bisa.
Goncangan kami usai beberapa saat kemudian.
Cahaya...aku melihat cahaya lampu walau redup.
Formasi yang kami buat rusak sudah karena satu dari kami yang dua belas ini terambil.
Ia pergi menggenapkan tugasnya.
Menilik dari redupnya ruangan ini, sepertinya waktuku juga tak lama lagi.

Kress...
Bunyi korek api dinyalakan.
Dimulai sudah petualangan temanku menerangi yang gelap.
Lalu kemudian kudengar suara lelaki,
’Aku berangkat dulu Bu. Kamu jagain lilinnya ya! Jangan sampai tertidur ya’.
’Baik cintaku. Kali ini usahakan bawa pesenanku’, ucap si perempuan.
Sang lelaki menghilang ke tengah malam, mencari sedikit rupiah dan segenggam berlian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar