Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Rabu, 20 Juli 2011

Lebaranku

Lebaran, ya, lebaran. Kenapa tidak selalu menyenangkan ya? Maksudnya, mestinya menyenangkan. Hari kemenangan. Ini karena, terlalu banyak ritual. Ritual yang kurang lebih bertujuan untuk membuat lebaran terasa istimewa, tapi malah kehilangan maknanya. Salam-salaman misalnya. Massal seperti itu cuma ada di lebaran kan? Iya, maka itu lebaran terasa istimewa. Tapi iyakah, bahwa semua-mua mesti kita salami? Meminta maaf dan saling memaafkan, seperti iya kita semua saling bersalah satu sama lain. Pendosa satu sama lain. Padahal baru bertemu dan saling kenal.

Saya ingat satu momen. Baru saja, lebaran terbaru. Kakak dan sepupu saya bersilaturahmi. Berjumpa mereka setelah sekian lama. Pas bertemu, mereka reflek langsung tos. Karena biasanya begitu. Lalu mendadak sedetik kemudian mereka sadar, ”Eh, ini kan lebaran. Kok malah tos? Salaman dong yah.” Hahaha. Mereka tertawa bersama. Saya juga tertawa. Kami menertawakan ritual sepertinya, kalau boleh saya tebak. Karena apalah artinya salaman, jika tos sudah mewakili suatu keakraban. Suatu perasaan yang pastinya melampaui sekedar saling memaafkan. Lantas kenapa, karena didorong suatu ritual yang sepertinya wajib, lantas keakraban tersebut didegradasi? Menjadi sekedar salam-salaman.
Ada juga ketupat. Alah, kenapa mesti ketupat? Saya tak paham sejarahnya, tapi tak ada ceritanya Islam menyuruh lebaran makan ketupat. Seperti halnya, Islam tidak menyuruh salam-salaman massal. Tapi soal ketupat saya tak bermasalah selama kombinasinya enak. Biasa saya makan sama opor dan menggabungkannya dengan tahu sehingga jadi kupat tahu. Saya pernah usul: Mah, Pah, kenapa lebaran kita tidak makan McD? Eh, saya malah dimarahi. Padahal tidak ada salahnya kan? Justru malah semakin istimewa.

Jadi pernahkah merenung-renung, agar keluar dari tetek bengek ritual begini? Mungkin tak ada gunanya berpikir, hanya mesti jalani saja. Dan bagi banyak orang sudah menyenangkan jika begini. Tapi saya punya pendapat yang mungkin klise dan agama sekali. Ini pengalaman pribadi, tentang bagaimana lebaran akhirnya terasa bermakna. Ternyata, terlepas dari para ritual itu. Lebaran bisa menyenangkan, jika bulan Ramadhan terasa sebagai suatu tempaan yang membawa berkah. Agama sekali ya? Hehehe. Tapi akan kuceritakan lengkapnya.
Kemarin itu, Ramadhan yang menyenangkan. Karena banyak hal. Karena entah kenapa, Tuhan terasa begitu baik. Tidak sombong dan pemarah seperti orang yang sering ceritakan. Darimana saya tahu? Saya tidak bisa mengatakannya, karena saya sungguh tak bisa membuktikannya. Hanya terasa saja. Kalaupun kau memaksaku mengatakannya, saya akan jawab saya tahu dari pacar saya. Pacar saya itu, namanya Dega. Muslimah yang taat. Dan ia punya resolusi, suatu perjanjian pada diri sendiri untuk bulan Ramadhan. Isinya: Shalat lima waktu dan tarawih tidak terlewat sekalipun, kecuali jika mens, tentunya. Saya mau bertemu di bulan Ramadhan, tapi eh sayang, tidak boleh katanya, demi resolusi.

Baiklah saya hormati resolusi itu, sambil mengamat-amati: apakah betul bisa berjalan? Oke, dia sempat mens. Empat hari kalau tidak salah. Tapi selebihnya, lancar semua. Shalat lima waktu tetap lima, tarawih kumplit semua. Bahkan ia menyempatkan diri mengaji dan ittikaf di suatu malam. Saya sempat mengingatkannya untuk tidak lupa shalat. Tapi baik dia maupun saya, tahu, bahwa itu basa-basi belaka. Basa-basi khas romantika. Yang tidak peduli apakah berguna atau tidak, yang penting bermakna. Lalu saya, yang tidak pernah shalat ini, karena suatu hal yang rasionil, menjadi malu. Proses malunya itu, sedikit demi sedikit saja. Tidak langsung malu. Ialah karena, dia tak pernah mengajak saya shalat bersamanya, hanya memberi contoh. Hanya memberitahu bahwa ia mau shalat atau baru saja shalat. Ah, sayang, tahukah bahwa itu lebih baik untuk membangun kesadaran ketimbang dengan mengajak apalagi menyuruh?

Ujung-ujungnya, saya tetap tak shalat jua. Karena ternyata, meski tercerahkan, tapi tak kunjung terpatri dalam perbuatan. Tak apa, saya berani bilang tak apa, karena saya tahu, Ramadhan kemarin saya ditempa. Ditempa oleh rasa malu. Ditempa oleh perasaan tidak enak melihat pacar shalat sedangkan saya tidak. Ditempa oleh rasa malu bahwa pacar saya, mengingatkan saya persis pada orangtua saya: tak pernah menyuruh, hanya memberi contoh. Dan apalah berkahnya? Itu dia, rasa malu itulah, berkahnya. Kau tahu, tak semua orang punya itu. Ketika saya merasa malu olehnya, oleh orangtua, dan mungkin oleh-Nya, di kedalaman hati, saya bersyukur. Itu bolehlah saya memaknai, Tuhan masih sayang sama saya. Tuhan masih ingin saya tidak larut seperti garam di air laut, melainkan seperti air yang menyerap ke dalam akar pepohonan. Ia ingin saya mengendap meresap, ke bawah terus ke bawah, ke kegelapan bawah tanah. Sebelum pada waktunya nanti, saya naik, ya, saya naik, menunaikan tugas: mengirim air, menyegarkan bagian-bagian tubuh pohon. Itulah lebaranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar