Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Rabu, 20 Juli 2011

Lebaran oh Lebaran atau Ramadhan oh Ramadhan

Ini sudah lewat lebarannya, sudah habis ketupatnya, sudah tipis dompetnya, sudah habis tenaganya, sudah pada pulang semua saudara, saya juga. Ingat saya hari itu, dua hari sebelum lebaran, sepi rasanya. Sepi karena teman-teman di kost sudah pada pulang kampung, sepi karena sahur sendirian, sepi karena Ramadhannya mau pergi.

Dulu, waktu itu, sudah lalu, entah kapan persisnya pernah itu saya lihat di televisi kalau orang-orang sedih ketika lebaran datang, padahal saya senang bukan kepalang. Lebaran itu artinya saatnya teman-teman dan saudara-saudara melihat baju paling bagus yang saya punya, juga waktunya menyiapkan dompet baru karena pasti yang lain juga pakai dompet baru untuk simpan uang-uang baru, berarti juga menginap bersama keluarga di rumah Mbah beberapa hari sambil terus-terusan menyantap makanan yang itu-itu saja, pokoknya seru! Jadi kenapa juga orang-orang harus sedih ketika lebaran datang? Aneh.

Kini, tahun ini, saya tahu kenapa mereka sedih menyambut lebaran. Karena lebaran harus mengorbankan Ramadhan. Kamu mau lebaran atau Ramadhan? Harus pilih. Saya jawab, saya pilih Ramadhan. Benar, ini saya pilih Ramadhan. Tapi seperti tidak didengar, ternyata saya tidak bisa memilih, atau ternyata ini memang bukan pilihan. Kalau mau Ramadhan, ya harus mau lebaran juga. Saya bukannya tidak mau lebaran, tapi sadar sekali saya bahwa setelah lebaran berarti masih lama lagi jumpa Ramadhan, lama.

Bukan sok religius, tapi memang saya sedih sesedih-sedihnya. Bangun dan makan di pagi hari buta, dilanjutkan dengan berlatih membaca kitab suci penjawab segala misteri, memulai sholat subuh di akhir adzan, saling menjaga perkataan antar sesama, berburu jajanan di pinggir jalan Sudirman, kebersamaan antar penumpang kopaja kala waktu berbuka, buka puasa bersama sahabat tercinta, seringkali juga bersama handai taulan yang sudah lama tak jumpa, tarawih dan witir pelengkap yang sudah ada, berbagi dengan pengisi hati dan seringkali hingga pagi, ditutup dengan tidur yang pendek kemudian berulang terus seperti itu. Semuanya saya suka, membuat saya merasa teratur, terarah dan terjaga. Membuat saya tahu bahwa Tuhan selalu ada, terasa.

Itu malam terakhir di kost, besok siang saya sudah harus pergi ke rumah keluarga untuk merayakan lebaran, meninggalkan Ramadhan. Malam terakhir yang tenang untuk beribadah, berritual dengan tenang, sepi, tak terusik oleh kemeriahan persiapan menyambut lebaran. Tarawih terakhir saya, tarawih terakhir saya. Entah bagaimana ceritanya, menitik itu air mata saya. Sedih saya. Maunya disini saja, di bulan ini saja, terus. Sesaat rasanya seperti berpegang erat pada pinggir kursi, tak mau pergi, walau dipaksa. Tak mau pergi, disini saja.

Suara itu, entah berbicara di telinga atau hati saya, membisikkan ”tak boleh begitu”. Membuat saya dengan segera melepaskan pinggir kursi, diam sebentar. ”Memang begini ceritanya, mau dapat utuh atau tidak?”, tanyanya. Pastilah saya mau yang utuh. ”Ini hanya salah satu bab, kau sudah merasa cukupkah?”. Belum. ”Ayo lanjutkan, jalan lagi, baca lagi, pahami lagi ceritanya”. Iya, pasti. ”Bagus, selamat berjuang ya! Ramadhan juga tahu kau mencintainya dengan amat sangat. Kan kudoakan semoga kalian bertemu lagi, untuk saling membahagiakan”. Terima kasih. Amin, semoga kami bertemu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar