Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

KISAH PATUNG DI BALI

Tidak banyak yang saya ingat soal pengalaman SMA. Karena ketika banyak orang berpendapat bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah, -maka itu mesti dikenang- maka bagi saya, itu biasa-biasa saja. Biasa karena, saya tidak banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersawa kawan-kawan. Tapi tidak dalam artian saya banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Masa SMA adalah masa-masa dimana saya banyak menggandrungi musik terutama gitar. Maka itu, saya tidak banyak nongkrong sepulang sekolah, atau keluar di malam minggu. Waktu-waktu itu saya pakai untuk belajar dan bermain gitar. Meski demikian, saya ingat satu pengalaman, yang waktu itu, sih, terhitung memalukan. Tapi seiring waktu, saya mengingatnya sebagai hal yang menggelikan.

Waktu itu kami memasuki kelas tiga. Dan seperti tradisi-tradisi kelas tiga sebelumnya, ada study tour ke Bali. Saya waktu itu tak seberapa antusias mengikutinya, karena barangkali, oleh sebab kakak saya dulu pun tak ikut. Oh iya, saya bersekolah di SMA Taruna Bakti, sebuah yayasan pendidikan milik swasta di bilangan Jalan Riau Bandung. Tapi menjelang akhir-akhir penutupan pendaftaran, saya mendadak ingin ikut, dan untungnya, orangtua pun akhirnya mendukung. Harga tur ke Bali waktu itu sedang tidak mahal-mahalnya, karena kejadiannya tidak lama setelah tragedy pemboman. Sehingga pariwisata di Bali mesti melakukan diskon besar-besaran untuk menarik turisnya kembali.

Akhirnya, sebagian besar kelas tiga berangkat. Menaiki bus yang jumlahnya tiga. Dan memang iya, kami menaiki bus ke Bali, yang jika ditotal perjalanannya, mencapai enam puluh jam pulang pergi! Tapi untungnya kami berencana seminggu berlibur di Bali, jadi tidak terlalu terpotong perjalanan lah. Sesampainya di Bali, kami langsung check in di hotel yang saya lupa namanya. Saya ingat, di kamar saya ada bertiga. Ada Essa dan Indra. Sejak check in, kami mengunjungi banyak tempat: ada Jimbaran, Kuta, sebuah pasar yang saya lupa namanya, serta Garuda Wisnu Kencana. Dan di pasar itulah, yang saya lupa namanya itu, saya beli sebuah patung. Patung mini Dewa Wisnu berwarna hitam terbuat dari kayu.

Patung itu jelek dan saya lupa kenapa membelinya, sepertinya karena kasihan saja sama si pedagang. Akhirnya saya bawa-bawa kemana-mana, tak sedikit teman ada yang mencelanya. Sampai suatu ketika, ada tragedi: bus yang membawa kami jalan-jalan, mogok. Mogok total hingga tak bisa maju lagi. Seisi bus panik, dan lebih tepatnya lagi, kecewa. Di kala itu, tentu saja saya lengah dan tidak fokus pada barang bawaan saya. Hingga akhirnya, si patung lenyap! Lenyap entah kemana, saya cari di kolong kursi, tapi tidak ada. Saya bertanya pada teman-teman, tak ada yang tahu. Saya mulai mengaitkan pada hal-hal mistis karena Bali memang terkenal dengan itu. Tak ada yang tahu, siapa tahu patung itu memang bisa menghilang sendiri, dan menjadi penyebab mogoknya bus. Siapa tahu?

Tapi tak saya pikirkan lama-lama. Akhirnya kami semua pulang ke hotel dengan bus cadangan yang entah darimana, tapi jasa travel nampaknya cukup sigap dan profesional. Waktu itu sudah malam, dan banyak teman-teman yang setelah mandi, mereka nongkrong-nongkrong di sebuah tempat di area hotel. Kamar saya di lantai atas, dan saya memilih untuk bersantai dulu di atas balkon. Dan seketika itu pula, ada pemandangan yang membuat saya terperanjat. “Astagfirullahaladzim!”, itulah yang saya katakan waktu itu: Si patung ada disana! Bertengger gagah di bibir balkon. Membuat pijakan saya tak stabil dan kepala rasanya pusing. Saya lantas menguatkan diri untuk mengambil sang patung dari bibir balkon, dan berteriak pada teman-teman yang sedang nongkrong, “Woy! Patungnya adaaaa!” Teman-teman ikut kaget, sebagian ada yang tertawa kecil, entah kenapa. Dikerubungilah saya, dikomentari macam-macam, termasuk wajah saya yang pucat.

Esoknya, saya menceritakan pada guru-guru, dan guide kami di Bali kemudian memandangi patung itu dengan perasaan aneh dan asing. Seolah-olah memang patung itu punya daya magis. Padahal, ya padahal, belakangan saya ketahui, sekitar tiga-empat tahun berselang, ketika saya kuliah: bahwa itu adalah perbuatan jahil teman-teman saya. Yang sengaja mengambil kala panik di bus, dan menyimpannya di bibir balkon kala saya sedang mandi. Saya sempat kesal ketika mendengar pengakuannya, karena saya pernah betul-betul percaya itu punya daya magis. Apalagi ketika ia dipajang di rumah, ada keponakan yang mengaku tidak mau masuk karena ada patung itu. Tapi lama-lama, saya tertawa juga mengingatnya. Karena apalah kenangan itu, selain serpihan kehidupan yang melengkapi kita yang sekarang. Dan apalah sekarang itu, selain serpihan kehidupan yang melengkapi masa datang. Terima kasih, teman-teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar