Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Adieu

“Sudahlah, mari kita akhiri saja”, terngiang berkali-kali ucapan tersebut di dalam kepala Moun. Kalimat yang paling tidak ingin ia dengar setelah apa yang ia lalui. Tak masalah jika memang ia menjadi yang kedua, bukan pilihan utama, bukan prioritas. Tak kuasa ia membayangkan kehidupannya setelah pernyataan tersebut keluar dari pria yang selama tujuh tahun ini menjalin hubungan dengannya. Ia melongok keluar jendela, tinggi benar tempat tinggalku ini, pikirnya. Seharusnya dengan posisi yang setinggi itu ia bisa lebih mudah meraih bintang impiannya. Ternyata posisi tidak menentukan prestasinya dalam hal ini. Ia melangkahkan kakinya keluar jendela agar bisa lebih leluasa menikmati menikmati pemandangan kota di malam hari sembari berharap meringankan beban yang menggantung di hati. Berdiri ia di tepian jendala kamar tidurnya. Ia menghirup udara sebanyak mungkin dan menghembuskannya sembari berdoa sesak di dada menghilang segera. Tak mampu lagi ia menangisi nasibnya, kering sudah airmatanya. Tak ada lagi teman yang menghiburnya saat ini. Bukan salah mereka, sikapku yang menyebabkan mereka menjauh dariku, gumamnya dalam hati.

Bunyi suara panggilan masuk dari telepon genggam yang terletak di meja makan membuyarkan pikirannya. Ia segera berbalik dari tempatnya berdiri. Mungkin karena dinginnya angin malam, membuat kakinya agak kaku sehingga tidak mampu menapak dengan benar. Tergantung ia kini di pinggir pijakan tempat ia berdiri tadi. Konyol sekali, ketika tadi ia berdiri meratapi kisah cintanya yang kandas, ia berharap ia mati saja. Tapi kini ketika ada peluang untuk menyudahinya, ia malah terperangkap rasa takut. Bukan takut mati karena jatuh dari apartemennya melainkan takut jika tidak mati juga meski sudah terjatuh dari lantai 18. Pikiran macam apa itu?

Tangan sudah mengirimkan sinyal-sinyal ke otaknya bahwa tak sanggup bertahan lagi tergantung di sana. Lepaskan saja dengan begitu tak kan terasa sakit lagi, lepaskan sekarang, bujuk egonya. Terlepas sudah tangannya, terhempas ia ke arah tanah.

Semua seakan berjalan lambat, ia melihat seorang perempuan yang tinggal di lantai 17 sedang menonton televisi kabel sembari mengelus kucing piaraannya yang tergeletak di pangkuannya. Perempuan tersebut baru saja mandi karena ia masih mengenakan handuk di kepalanya untuk menutupi rambutnya yang masih basah. Di sebelah kaki yang ditopangkan di atas meja terletak sebuah asbak dengan rokok yang masih menyala di dalamnya. Sekilas ia melihat tayangan yang tengah di tonton perempuan tersebut, film klasik Gone With The Wind.

Di lantai 16 ia mendapati sepasang suami istri yang tengah bertengkar. Sang istri melempari apa saja yang bisa diraihnya di dalam kamar ke arah suaminya. Sementara itu sang suami sibuk melindungi dirinya dengan menggunakan bantal sebagai tameng pertahanannya. Tidak, jangan hancurkan yang itu! Kalian terlihat bahagia sekali di foto itu. Foto ketika kalian pertama kali keluar dari gereja setelah mengikrarkan janji setia untuk sehidup semati, sang suami melindungi kepala istrinya dengan tangan agar rambutnya tidak tersangkut beras yang dilemparkan para tamu undangan. Praaaang… hancur sudah semuanya. Terlihat memar di pelipis sang suami akibat telat menghidar dari lemparan tersebut.

Di lantai 15, didapati ruangan masih gelap. Rupanya sang pemilik masih belum tiba di kediamannya.

Di lantai 14, terlihat seorang anak yang tengah tertidur pulas dengan jempol kanannya di dalam mulutnya. Menggemaskan sekali. Andai aku punya satu, khayalnya.

Di lantai 13, tidak ada aktivitas. Tak usahlah heran karena memang tak ada lantai 13, angka yang tidak bagus, tidak menguntungkan jadi tidak ada ruginya disingkirkan saja.

Di lantai 12, terlihat sepasang jompo yang tengah tidur di ranjang yang sama. Rambut mereka sama-sama putih, kulit mereka sama-sama keriput. Senang ketika melihatnya, ternyata memang ada cinta yang tak lekang waktu, meski bukan kisahku, batin Moun.

Lajunya semakin cepat merengkuh bumi. Terlintas di kepala kilasan hidupnya. Teman-teman yang dulu begitu menyayanginya dan selalu ada di sisinya ketika ia tengah dilanda kesulitan. Mereka sudah tak ada. Mereka pergi meninggalkannya sendiri. Tersakiti sangat yang mendorong mereka pergi. Orang tuanya yang sudah tak lagi ada di dunia yang pasti sama sekali tidak merasa bangga dengan perbuatannya kini. Kekasihnya, pria yang tak mungkin dimiiki seutuhnya. Teringat ia, bagaimana ia berusaha untuk menarik perhatiannya melalui beragam cara, mengalihkan pandangannya agar hanya tertuju padanya.

Ada kalanya ia berbangga hati ketika kekasihnya berada disampingnya dan mengacuhkan pasangannya. Tapi tidak kali ini, ia merasa kalah dan tersingkirkan. Ia tidak rela, ia tidak mau mati. Ia belum mau mati. Ia ingin hidup dan kembali merasakan sakit. Ia tidak mau mati. Tidak. Tidak saat ini. Belum. Jangan.

BRAAKK.

***

Ngiung ngiung ngiung ngiung…

Terdengar suara sirene dari mobil ambulans.

Garis polisi sudah terpasang di area kejadian perkara.

Tertutup oleh terpal biru sesosok tubuh perempuan.

Kaki jenjang yang dulu dibanggakan, kini sudah patah tak bisa digerakkan.

Wajah cantik yang dulu begitu dipuja kaum adam, kini hancur berantakan.

Tangan yang dulu dihiasi perhiasan indah, kini berlumur darah.

***

(Di lantai 18)

Dua panggilan tidak terjawab.

Satu pesan diterima;

“Answer my call, please. Sorry for what I said before. Love you”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar