Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Dua Dia dan Mereka

Nama, yang akan kuceritakan ini tak suka bernama. Dia lebih suka menjadi “tak dikenal”. Seperti seorang hamba Allah di daftar donatur atau seperti sebuah cerita rakyat yang hanya kisahnya saja yang dikenal, bukan pengarangnya.

Dia, tak ada cara lain, kita panggil saja dia. Perempuan. Lebih dari seperempat abad dia lewati di sana, di sebuah kota. Kota tempat dia lahir, belajar, berkawan, menangis, tertawa, jatuh, tertimpa tangga, juga berbahagia. Tak pernah dia keluar dari kotanya, paling hanya beberapa hari, berlibur. Lebih dari itu? Tak pernah.

Punya banyak dia di sana, di kotanya. Harta karun; sahabat, keluarga, cerita cinta, kisah lara serta impian-impian tak bertepi. Disimpannya itu semua di kotak kayu, tak berlapis apa-apa. Hanya kayu sederhana, jati. Yang senantiasa sanggup dan kuat menampung semua yang dia punya. Dibawanya kotak kayu itu ke mana-mana. Kotak kayu yang masih saja dia belum mampu menemukan tempat untuk menyimpannya. Rumah. Rumah untuk kotak kayunya dan juga dirinya.

Tidak, tak punya rumah dia di kota ini. Dulu pernah, tapi tidak lagi. Kenapa? Nanti kalian tanya saja langsung padanya ya! Singkat kata, berjalan dia, pagi, siang, sore, malam, pagi. Bercerita dan berusaha agar memiliki rumah. Mau pulang, katanya. Pulang ke rumah.

Semalam, bertemu ku dengannya. Sudah menemukan rumah, katanya. Rumah impian. Ah akhirnya, batinku. Bercerita dia tentang rumah masa depannya. Bukan di kota ini ternyata. Pantas saja sudah jarang ku melihatnya di sini. Rupanya sedang sibuk bermain di kota barunya. Ingin tinggal dan melanjutkan cerita di sana. Bertutur ia, ceria. Hingga kutanyakan, akankah dia bawa seluruh isi kotak kayunya serta? Ingin sekali katanya, tapi tak bisa. Tak mungkin, dia bilang. Kulihat semburat lara di pipinya.

Semburat lara terganti rona bahagia tiba-tiba. Katanya, kotak kayu akan tetap dibawa serta ke kota baru, tuk kemudian disimpan di lemari kayu di kamarnya, dekat jendela. Agar tiap pagi dan senja datang bisa dia bercerita tentang mereka semua, isi kotak kayunya, pada dia. Dia siapa? Oh, sudah kuduga. Pasti ada rahasia di balik ini semua. Di balik cerita perjalanan menemukan rumahnya.

Mari kita ke balik cerita. Ada lagi seorang dia. Laki-laki. Dia, katanya, lahir dan selalu tinggal di kota itu, kota rumah impian berdiam. Dia, katanya, pengisi hari-harinya enam bulan belakangan ini. Dia, katanya, penulis, pembaca dan pengukir setia buku catatannya. Dia, katanya, meminta dia menunggu hingga harinya dia akan dijemput pulang, ke kota itu, ke rumah masa depannya, rumah masa depan mereka. Dia, katanya, sedang berjalan menuju impian itu, sambil menggapit jarinya, tuk turut jalan bersama. Dia dan dia.

Mereka. Mulai sekarang mari kita sebut mereka. Perempuan dan laki-laki, dari dua kota berbeda. Dua kota yang akan tinggal satu, segera. Satu, mengikuti mereka. Tak lagi dia dan dia, tapi mereka. Mudah-mudahan selalu menjadi mereka. Mereka yang terlahir karena dua dia. Dua dia yang ku doakan tak terbunuh salah satu maupun keduanya. Dia yang tetap hadir di dalam mereka. Dua dia di dalam mereka.

Iya, benar. Ini memang kisah cinta. Antara seorang dia berkotak kayu yang sedang mencari rumah dan menemukan seorang dia yang berumah dan memanggil-manggilnya pulang. Dia sahabatku, kawan. Aku di dalam kotaknya. Aku yang tak bisa ikut ke rumahnya, tapi kan senantiasa menemaninya bercerita di bawah sapaan mentari pagi dan hembusan senja. Bercerita untuk dianya, yang kan segera bertemu denganku di dalam kotak kayu, jati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar