Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Kakakku

Kakakku, bagaimana aku bercerita tentangnya? Perasaan yang campur aduk dan aneh. Seperti asing, tapi juga dekat. Ibaratnya, kau reuni dengan sahabat SD-mu. Yang dulu kalian satu gang, satu permainan, saling mengasihi dan menyayangi. Tapi waktu melemparkanmu entah kemana, mencerai-beraikan hubungan yang dulu amat rekat, sehingga kala berjumpa, maka hanya kebingungan yang ada. Bisa saja kangen dan berpeluk-pelukan, tapi tetap, waktu adalah jurang pemisah yang curam. Kenyataan bahwa kau kehilangan kontak dengannya, tidak berhubungan lama, dan bahkan nyaris melupakan wajah, membuatmu bingung mau memulai dari mana.

Demikian yang kurasakan, campur aduk selalu. Ia tak dekat, tapi ia kakakku, yang semestinya dekat. Tapi tidak tepat juga jika dibilang, ia tak menyayangiku, dan aku tak menyayanginya. Ia lima tahun lebih tua, dan dari TK hingga SMA, kami selalu berada di sekolah yang sama. Kami akrab di masa kecil, namun entah apa yang kemudian membuat kami sangat berjarak. Oh, barangkali, kenyataan bahwa di mataku, ia sosok yang egois, dan menganggap kehadiranku membuat perhatian orangtua pelan-pelan tergeser darinya. Jadi, begini, yang aku lihat dari kebanyakan hubungan kakak-adik, adalah kenyataan bahwa si kakak membimbing dan memberi tauladan bagi adiknya. Tapi itu yang aku cukup heran, karena kakakku tak begitu. Ia selalu dominan dan tidak mau kalah. Kala kecil, ia selalu menyimpan segala mainan dan barang baru di kamarnya. Segala sesuatu yang diklaim orangtuaku sebagai “milik bersama”, ia simpan sendiri. Dan dengan itu, ia seolah memegang otoritas apakah aku boleh ikut menyentuhnya atau tidak.

Sifat tersebut selalu ada hingga kami besar sekarang, dan selalu tertanam dalam kesadaranku yang terdalam: bahwa apa-apa mesti minta ijin padanya. Makanan misalnya, jika teronggok sendirian di meja makan atau kulkas, aku tak berani mengambilnya, sebelum tahu kakakku sudah makan. Atau urusan transportasi, aku lah yang hingga sekarang mengalah dengan lebih sering menggunakan angkot, karena kenyataan bahwa kakakku mengklaim kepemilikan atas salah satu mobil di rumahku. Sehingga aku tak akan memakainya, sebelum kakakku duluan yang menyuruhnya.

Namun pada titik tertentu, aku tahu bahwa banyak hal yang cuma terjadi dalam pikiranku sendiri saja. Aku tahu bahwa, barangkali bukan egois yang dia punya, tapi kenyataan bahwa dia pun menganggap diriku sosok yang egois. Sosok yang tanpa tedeng aling-aling, langsung menyatakan diri tidak mau menggunakan mobil atau mengambil makanan duluan. Sosok yang dengan cepat menggeneralisasikan suatu kejadian kecil, singkat, dan insidentil, menjadi sebuah trauma mendalam. Padahal, oh, kakakku, mungkin aku tidak tahu, bahwa dalam kesempatan-kesempatan tertentu yang aku tidak sukai itu, kau sedang lapar, kesal, atau bad mood. Sesuatu yang sangat manusiawi, tapi aku tak peduli. Maafkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar