Di sebuah terminal aku turun sebentar. Mencari penumpang untuk menggenapkan muatan. Suara klakson, knalpot, dan teriakan orang tak kuhiraukan. Sudah biasa. O, Jakarta, tempatku berada, tempat aku buang air hingga hari tua. Kutengok kiri kanan, kulempar pandangan ke depan. Mencari orang-orang yang celingukan, berharap mereka butuh kopaja tempatku menumpang kerja. Namaku Jono, panggilanku Jono, nama panjangku Jono. ”No, ada gak? Kalo gak ada, kita cabut aja, nyari di depan!” teriak supir, Jay namanya. Sabar, Bang, ini masih kupanggil mereka, meskipun tak menyahut.
Itu ada dua orang. Nenek dan seorang muda berbaju kerja, sepertinya bukan cucunya. Aku berteriak pada mereka, menawarkan tumpangan. Nenek mau, tapi si anak muda naik duluan. ”Udah penuh, No, ayo deh!” Jay mengisyaratkan siap berangkat. Nenek ditinggal. Aku sempat iba, tapi tak jadi ketika ingat: Ah, ini Jakarta. Sebentar, Bang, beli minum dulu yah, haus. Aku tak puasa, Jay pun. Ah, buat apa puasa, jika nasib tak berubah jua. Jika lapar dahaga sudah akrab setiap harinya. Mereka berpuasa, konon agar tubuhnya tertempa, agar bahagia di kala berbuka. Tubuhku ini, sudah tertempa, tapi aku lupa rasanya bahagia. Kuberi uang si pedagang minuman. Eh, lupa, beli rokok tiga batang deh, Bang, djarum super yah. Akhirnya, Jay, aku siap, mari bergegas. Sebelum kutolehkan leher sepenuhnya ke pintu kopaja yang siap kunaiki, aku membaca tulisan di kaca belakang sebuah Kopaja lain: Bukan profesi, hanya sekedar hobi. Oh, apalah artinya, entah, yang penting hari ini aku bisa makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar