Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Rabu, 20 Juli 2011

BUKAN PROFESI, HANYA SEKEDAR HOBI

Namaku Dega, usiaku sekian; mari kita tidak pentingkan masalah usia karena itu hanya angka, angka yang bisa mempersempit angkasa persepsi kita. Jenis kelaminku perempuan –senangnya diriku terlahir sebagai perempuan, karena kusuka terlihat manis dengan rok mini, rambut ikal panjang dan sepatu berhak- warna kulitku sawo matang cenderung terang, wajahku lumayan, ukuran badanku tidak berlebihan, sifatku berubah-ubah entah mengikuti apa.

Namaku Dega, suka sekaliku dengan nama itu; terima kasih Bapak karena tidak memberiku nama kebanyakan. Sedari kecil daku suka sekali bernyanyi. Jikalau kita putar kembali kaset Tuhan, terlihatlah itu masa-masa saat mama membeli radio yang bisa untuk berkaraoke, bernyanyi kami, mama, aku dan Aran adikku. Bernyanyi kami tak kenal waktu, pun tak kenal jenis lagu. Di kelas bernyanyi itulah kukenal Endang S. Taurina, Nia Daniati, Desi Ratnasari, Nike Ardila, Elya Kadam, Elvi Sukaesih, Meggy Z, Rhoma Irama, Obie Mesakh, Pance, Charles Hutabarat, Ebiet G.Ade, Iwan Fals, Benyamin Sueib, Ida Royani, Diana Nasution, Panbers, Koesplus, Diana Ross, Barbara Streisand, Whitney Houston, Mariah Carey, Lionel Richie, Julio Iglesias, Michael Jackson, New Kids on the Block, Bryan Adams, Air Supply, Denada, Iwa K, Spice Girls, Boyzone, Bondan Prakoso, Eno Lerian, Paduan Suara Anak Indonesia, dan penyanyi-penyanyi lagu daerah, rohani, nasional dan internasional yang seringkali bernyanyi keroyokan di sebuah album kompilasi. Entah berapa ratus kaset yang mamaku beli; kaset-kaset yang bergantian memenuhi lemari es kami dalam rangka menjaga kelembaban pita kaset agar tidak cepat rusak, teori mama. Tapi kini kaset berganti cd, itu kulihat di lemarinya, ditambah pula buku-buku bertuliskan lirik lagu, mungkin sekarang mama perlu karena sudah tua, atau menjelang tua.

Tak ada lagi kelas bernyanyi karena memang sudah tidak ada lagi. Tapi aku tetap suka bernyanyi, bernyanyiku di mana saja dan kapan saja terutama kala mandi. Seringkali kumenggoyang pita suara tapi tak kunjung kudapat goyangan yang mampu melahirkan bunyi memesona. Tak seperti beberapa kawan yang seringkali menggetarkan apa pun yang bisa digetarkan dengan suara mereka. Iri sekali ku, ingin sekali ku. Memahami bahwa setiap kita mesti membawa cerita, yang kadang sama kadang beda, meliukku memasuki celah kecil itu. Alih-alih menghabiskan waktu dengan obsesi menjadi penyanyi yang menggetarkan, bekerjaku sebagai manajer, pengatur, untuk para penyanyi. Bahagia kudapat, kelas baru kuikuti, ilmu baru kuserap, melebar sayapku. Duhai para penyanyiku, tahukah kalian bahwa kita bernyanyi bersama?

Namaku Dega, singkatan dari delapan tiga, tahun kelahiranku; terima kasih Bapak karena sudah melapisi ide biasa dengan kreativitas.. Beruntungnya diriku sering menangkap gambar indah di mataku. Senangnya daku merekam lebih dari satu indah di satu gambar. Bangganya jikalau kau lihat juga itu indahnya. Lalu kau rasa itu beruntung kemudian senang kau bersamaku. Kan kucari lagi indah-indah, kuabadikan di dalam gambar, kau suka atau tak suka yang penting kusuka.

Namaku Dega, katanya berarti debu galunggung; nama sebuah gunung yang meletus di tahun kelahiranku dan meniupkan debunya hingga Jakarta, tempat kelahiranku. Lahir dan besar melulu di Jakarta membuatku norak. Jikalau keluar dari sana membuatku merasa seperti turis saja. Walau itu hanya ke Bandung, Jogja, Medan, Bali, Madiun yang semuanya masih di Indonesia. Walau kulihat wajah dan kuhirup udara yang sama, tapi selalu saja ada yang beda. Tak perlu ku cari tahu itu beda, biar kumemisterikannya. Berkelebat pandangku pada dunia, target selanjutnya. Dunia, nanti aku di misterimu.

Namaku Dega, kalau ditambah t jadi degat, kata yang tak berarti dan tak penting sama sekali. Aku suka sekali menulis. Dulu, waktu semua masih bentuk buku, tertulis itu khayalan dan impian. Waktu itu, saat tulisanku masih bersambung, menulisku indah di tengah buku. Kuingat masa itu, kala tak berat pundakku, berceritaku tentang mereka semua, orang-orang dalam hidupku. Kala itu, semasa belum berkerut kulit keningku, pandaiku melihat indah dunia pun mengabadikannya lewat kata.

Kini, kumengajak jariku menari, mari menari sayang. Saat ini, kubisikkan damai di telingaku, dengarlah semua sayang. Mulai kini, kurekahkan mataku, serap terus sayang. Ini, menulisku semauku, mengasah yang kupunya, merekam yang kurasa, memamerkan yang kupahat, membagi yang kudapat. Semoga kalian juga suka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar