Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Indon

Hari ini ada pertemuan di kantor pusat, lebih sering disebut HO, singkatan dari Head Office. Isi dari pertemuannya masih belum jelas. Tapi katanya akan ada pembekalan dari Direktur Utama yang juga pemilik dari perusahan tempatku bekerja. Pembekalan apa, itu juga yang masih tidak jelas.

Kalau menurut rekan kerjaku, kemungkinan yang dipanggil hari ini hanya akan diceramahi karena tidak datang ke training karyawan terakhir.

Aku memang tidak hadir ditraining itu, tapi karena ketidaktahuanku, bukan karena faktor kesengajaan. Tapi kalau ketidakhadiran tersebut bermasalah, akan kuhadapi. Sekalian akupun ingin tahu wajah dari pemilik perusahaan tempatku bekerja ini.

Pertemuannya di hall kantor, khusus tempat training. Ternyata banyak yang hadir, entah karena mereka tidak ikut training sepertiku atau karena alasan-alasan lain, aku tidak ada waktu untuk bertanya karena pertemuannya dimulai tidak lama aku datang.

Yang berdiri dihadapan kami semua, pria patuh baya, usianya mungkin 50 tahunan. Perawakannnya sedang dan terlihat bugar. Aku mendengar kalau perusahaanku bekerja ini adalah perusahaan Cina. Awalnya kupikir perusahaan ini berasal dari Cina, tapi ternyata karena pemiliknya yang keturunan Cina. Tapi buatku Cina atau bukan Cina tidak menjadi masalah selama perusahaannya bukan perusahaan yang illegal.

Pak Direktur mulai berbicara. Inti dari pertemuannya ternyata sesuai dengan prediksi rekan kerjaku. Beberapa karena ketidakhadiran kami ditraining, beberapa karena nilai training yang buruk dan dibawah rata-rata. Perusahaan ini bagus juga, pikirku, karena direkturnya langsung yang menegur kalau kinerja kami kurang memuaskan.

Namun seketika ada yang mengganggu pikiranku, hatiku, rasa kebangsaanku. Entah bagaimana permulaannya, tahu-tahu beliau berkata, “Buyut kalian dijajah, kakek kalian dijajah. Kalian ini bangsa yang pernah dijajah maka selamanya akan selalu dijajah,” ucapnya dengan nada yang keras dan tidak menyenangkan.

Aku tertegun mendengar ucapannya tersebut. Apa-apaan ini? pikirku. Kupandangi seisi hall, semuanya terdiam. Tapi aku tidak tahu mereka menyadari ucapan yang keluar dari Pak direktur yang bernada rasialis itu atau tidak.

Ocehannya yang berikutnya tidak mampu kecerna dengan baik karena pikiranku masih tertuju pada ucapannya barusan. “Bangsa yang pernah dijajah selamanya akan terus dijajah.”

Gila! Bagaimanapun ucapan itu tidak pantas keluar dari mulut seorang pimpinan yang berpendidikan tinggi. Terlebih diapun bukan warga negara Indonesia asli bila aku harus berbicara rasial. Dia hanya orang Cina yang pada era Orde Baru dibatasi gerak hidupnya. Dialah yang menumpang hidup di negara ini.

Pikiranku terus berkelana tanpa menghiraukan Pak direktur yang berbicara dihadapanku. Apa benar kalau kami ini, bangsa Indonesia akan selamanya dijajah? Sebenarnya hal itu memang benar, bahkan sehari setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bangsa inipun langsung dijajah kembali. Dijajah dengan cara yang berbeda. Melalui perekonomian, pendidikan, cara berpikir, kebebasan berpendapat, kita dijajah dengan cara-cara yang lain. Tapi tetap saja bukan haknya sebagai orang yang menumpang hidup, mengais rejeki dinegara ini, untuk berbicara kalau bangsa Indonesia adalah bangsa yang akan selamanya dijajah.

Mau membantah ucapannya, aku tak kuasa. Bagaimanapun beliau ini pemilik perusahaan. Berhak untuk berbicara apapun yang diinginkannya. Tapi akupun bukan berarti akan diam saja. Pimpinan yang rasialis, yang sudah memiliki pandangan merendahkan seperti itu tidak pantas untuk menjadi pemimpin dan diikuti. Sepulang dari pertemuan ini, tanpa ragu akan kubuat surat pengunduran diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar