Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Di Jembatan Penyeberangan Pintu Senayan

Jangan lihat kiri kanan. Jangan.
Jalan saja terus, jalan.
Melangkah pelan, tak perlu terburu-buru.
Ah! Sepatu ini tak bersahabat sekali.
Jangan sampai aku tersandung dan jatuh.
Malu sekali, pasti.

Lihat saja terus ke bawah, sesekali ke depan.
Pasti tak ada yang mau tertabrak olehku, apalagi tersenggol oleh plastik-plastikku.
Hati-hati, harus hati-hati.
Lumayan berat ternyata, hasilku semalaman tadi.
Mudah-mudahan bisa jadi banyak uang.

Mau apa orang itu membagikan amplop?
Tak malu dia, minta sumbangan?
Kenapa tak kerja yang lain saja, sih?
Daripada berdiri konyol begitu, walau berpakaian rapih, tetap saja meminta-minta.

Eh! Cantik sekali Mbak yang barusan lewat.
Wanginya masih ada.
Hmmm…. Harum.
Harum sekali.
Cantik dan harum.

Bule, banyak bule ya di sini.
Tinggi ya, tambah dekat tambah tinggi badannya.
Eh, menunduk, sekarang!
Kenapa aku menatapnya?

Payah.
Kan tadi sudah dibilang, menunduk saja!
Apa yang dia pikirkan tentangku ya?
Melihatku begini.
Tatapannya tadi tak terbaca.

Miskin.
Pasti dia tahu kalau aku miskin.
Apa dia juga berpikir kalau Indonesia miskin?
Gara-gara aku?
Waduh! Mudah-mudahan tidak.
Dia juga pasti melihat Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Mas-Mas dan Mbak-Mbak yang lalu lalang, kan?
Mereka tidak miskin.
Cuma aku.
Pasti bule tadi tahu kan ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar