Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Jumat, 22 Juli 2011

Bandung

Bandung, kau belum kunjung penuh. Kertasmu masih selalu punya putih untuk ditulisi. Adakah sudut kota Bandung yang belum dikunjungi? Hampir saja kubilang tidak, sebelum kemarin ada lima orang datang menunjukkan sudut gelap yang belum sempat kuterangi. Mereka itu, Dega, Anast, Dian, Dewi, dan Karin. Datang dari Jakarta, mereka hadir untuk berlibur melepas penat ibukota. Namun baiknya mereka, tak cuma penat dirinya yang dibuang, ia ajak aku untuk menyegarkan diri juga. Pertama-tama adalah Ciater, sebuah tempat pemandian yang ah, biasa-biasa saja. Air hangat, belerang, pegunungan, hal yang tak terlalu aneh dan aku pernah mengalaminya beberapa kali meski sudah lama. Namun ada yang baru, menakjubkan, dan sudah lama kusadari bagian ini begitu gelap sebelum mereka terangi. Yaitu, jalan-jalan, tanjakan, dan jalur menuju tempat itu sendiri. Tadinya aku tak paham, tak jelas, dan tak punya pengetahuan apa-apa tentang apa saja yang mampu dilihat sepanjang perjalanan kesana.

Hari kedua adalah sebuah tempat kebudayaan di Bandung Timur. Namanya Saung Mang Udjo. Ini tempat yang, terakhir aku kesini waktu SD. Sudah lama dan tidak ingat apa-apa saja yang terjadi. Yang aku tahu cuma tempat itu banyak angklung. Lalu aku datang lagi, merasakan kembali dan menerangi wewangian bambu yang amat kuat menusuk hidung. Duduk di salah satu sudut ruang pertunjukkan, segalanya kembali terang, lagi-lagi oleh senter yang kelima orang itu bawa. Pertunjukkan pertama itu wayang yang membuatku menitikkan air mata. Betapa manusia diciptakan sedemikian kayanya, sehingga mampu terepresentasikan pada sekian banyak tokoh wayang. Masing-masing tokoh mewakili sifat manusia yang amat subtil dan esensial. Lalu sesi angklung, gamelan, arumba, melemparkanku pada kelampauan. Pada masa ketika semuanya masih luhur, manusia ini masih sejati adanya. Alam adalah sahabat, cuaca adalah kawan curhat. Sesungguhnya manusia dan alam pernah berkawan baik, sebelum traktor memutus silaturahminya. Dan menjadikan manusia dan alam menjadi canggung untuk tegur sapa sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar