Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Jumat, 22 Juli 2011

Bandung, I’m in love

“Gw akan tinggal di Bandung setelah gw nikah,” itu pernyataan Dega, kawan saya.

Hah! Bagaimana bisa lo tinggalin semua yang di Jakarta dan pindah ke sana?

Itu yang ada di kepala saya ketika dia bilang begitu.

Kali lain dia bilang dengan ekspresi seakan lebih baik mati saja,

“Gw sudah tidak tahan tinggal di Jakarta”.

Terheran-heran lah saya, bagaimana bisa itu terjadi pada seorang Dega.?

Dia yang selalu yakin menapak di kedua kakinya sendiri, kini memohon untuk segera hengkang ke Bandung.

Pasti ini karena Syarif, si jejaka asal Bandung, kekasih Dega.

Dicuci otak dengan detergen merk apa sampai Dega menjadi seperti ini?

Liburan akhir pekan lalu di Bandung, saya mencoba mencari tahu apa istimewanya kota ini hingga membuat kawan saya jatuh hati.

Mengesampingkan berbagai prasangka, melihat dengan lebih seksama.

Pengamatan dimulai dari yang kasat mata: lalu lintas. Kalau di Jakarta dibuat pusing karena kemacetan, di Bandung dibuat pusing karena jalan satu arahnya. Hampir tidak mendengar klakson berbunyi, kalaupun ada ketika dilihat ternyata kendaraan ber-plat B. Kami juga bisa jalan dengan santai di trotoar, meski tanpa bergandengan tangan dengan kekasih. Hehehe

Berbelanja di pasar kaget yang dipenuhi orang pun tak perlu merasa was-was akan adanya copet. Bukannya tidak ada, tapi sepertinya pencopet pun akan permisi sebelum mengambil dompet kita atau malah memintanya dengan tersenyum ramah. Terdengar konyol? Tapi memang begitu yang terasa ketika menyusuri jalan di Bandung.

Makanan? Jangan ditanya. Semua enak, enak semua. Brownies, klapertart, risol, batagor, siomay, nasi goreng, keripik. Bertambah berat badan pun tak mengapa.

Hal lain yang mengusik saya, sepertinya orang Bandung tahu persis apa yang mereka lakukan, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan seperti berenang-renang di tepian, melainkan mereka menyelam ke dasar lautan. Kenapa banyak musisi Indonesia dari Bandung? Karena Bandung menghargai karya seni, tak seperti Jakarta yang hanya menjadikannya industri. Anak alay pun berani berekspresi, lihat saja itu Shinta dan Jojo yang kini dijadikan produk industri. Video syur pertama yang menghebohkan pun asalnya ya dari Bandung, baru kemudian daerah lain sibuk membuat video tandingannya, maklum mereka tidak kreatif jadi hanya bisa meniru.

Soal gaya hidup? Tante, biasa kami panggil Ibunda Syarif, memilih memanggil pelatih yoga ke rumah untuk olahraga yoga. Kalau di Jakarta, para ibu berbondong ke fitnes center dengan tak lupa memakai pakaian senam model terbaru. Peduli amat beneran ikutan olahraga atau hanya sekedar cuci mata. Peduli amat beneran ikutan olahraga atau hanya sekedar cuci mata.

Alih-alih menyewa tempat di mal, rumah pun disulap menjadi tempat nongkrong. Suasananya lebih menyenangkan dan tidak bising dengan musik yang bersahut-sahutan. Semoga Walikota Bandung terketuk hatinya untuk berhenti membangun gedung-gedung tinggi. Tak perlu seperti Jakarta. Cukup seperti itu saja, Bandung orisinil bukan Bandung KW super.

Wahdega,

jika memang kehidupan seperti itu yang sanggup ditawarkan Bandung padamu,

saya juga rela...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar