Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Rabu, 20 Juli 2011

WAKTU KU KECIL

Kembali aku berkaca, kulihat rambutku sudah rapi dikepang dua dan poniku sudah tersisir rapi. Aku nyegir melihat muka ku di kaca dengan dua gigi depan ku yang keropos dan berwarna hitam. Mama datang sambil menenteng sepatu kets ku… sebenarnya yang aku mau sepatu perempuan yang mengkilap dengan bunga atau semacam perhiasan di bagian tengah, tapi mama malah membelikanku sepatu olahraga.
“De…ayo sini cepetan! Udah mau jam tujuh ini! Kamu masih belum jalan! Abang mu aja udah jalan dari tadi! Makanya, mama bilang juga apa?! Ntar malem gak boleh maen ampe malem-malem! Ayo sini cepetan!”, ini sudah ketiga kalinya mamaku memarahiku selama pagi ini. Dimulai dari marah-marah sambil bangunin aku, trus marah-marah karena aku gak mau disisirin (tapi akhirnya aku mau, karena mama melotot ke arahku) dan terakhir marah-marah karena harus membantuku memakai sepatu (makanya aku maunya sepatu perempuan, jadi gak perlu diiket-iket).
“Bapak… Ade mau jalan. Mana uang jajannya?”, aku pamit ke Bapak sambil minta uang jajan karena nanti pas istirahat aku mau jajan di kantin sekolah dan pulangnya aku mau beli orang-orangan kertas di abang-abang yang jualan di luar pagar sekolah.
“Ati-ati ya De”, kata Bapak dan diberikannya aku uang jajan.
Aku mencium tangan Bapak dan dia mencium kedua pipiku kemudian menepuk pelan kepalaku.
“Mama…Ade jalan ya…”, aku pamit juga sama Mama.
“Iya…ati-ati! Inget kalo ada orang yang gak dikenal kasih makanan ato minuman, jangan mau ya! Trus kalo ada orang yang mau ngajak pergi, Ade jangan mau juga ya! Langsung lari!”.
Aku mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Ini tempat minumnya“, kata mama.
Kucium tangan mama dan langsung pamit,
„Makasih, ade jalan dulu ya! Assalamualaikum”.

Sejak TK, aku selalu ke sekolah sendiri karena tidak mau diantar mama. Setiap pagi aku berjalan kaki ke sekolah, tidak naik sepeda seperti teman-temanku yang lain karena aku tidak bisa naik sepeda dan abangku tidak mau memboncengku. Tapi tidak apa-apa, aku tetap naik kelas kan, walau aku tidak bisa naik sepeda?

Aku gendong tas sekolahku yang berbentuk boneka monyet warna coklat dan kusampirkan botol minumanku juga. Aku menaiki tangga-tangga yang tinggi sekali sampai aku tiba di tanggul kalimalang. Sekolah ku terletak di belakang Universitas Borobudur, jadi yang harus dilakukan untuk tiba di sekolahku hanya berjalan lurus di tepi sebelah kiri.

Aku selalu memastikan untuk berada di sebelah kiri jalan, karena aku sudah kelas dua, sudah jelas bisa membedakan kiri dan kanan. Aku jalan pelan-pelan saja, tidak mau terburu-buru. Tidak apa-apalah terlambat masuk kelas sebentar, aku kan sudah bisa membaca. Di sisi kiriku terletak kalimalang… dinamakan kalimalang karena letaknya yang memalang jika dibandingkan dengan arah kali asli seperti kali Sunter. Di sebelah kananku terlihat rumah-rumah penduduk, rumahku salah satunya. Kata Bapak, mungkin sepuluh tahun lagi, rumah kami akan sering kebanjiran. Banjir? Aku sih senang-senang saja karena bisa main-main air.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar