Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Teman atau sahabat?

Pajar. Ya benar, pakai P bukan F, Pajar. Bukan, bukan orang Sunda. Dia bilang orang Betawi, tapi menurutku lebih pantas jadi orang Jawa. Kurus kering, tidak terlalu tinggi untuk ukuran pria Indonesia seumurnya, rambut nyaris cepak; keriting, kulit hitam legam. Tiga tahun selisih usia kami, tapi tak membuatnya memanggilku ”kak” seperti adik kelas yang lain. Rajin belajar, walau sering bolos. Tak jarang dia mengganggu kakak-kakak kelasnya untuk bertanya; tentang konjugasi kata, masalah penelitian, kegiatan kampus, hingga kehidupan pribadi sang kakak.

Begitulah awal kami kenal, awal yang membedakan dia dengan yang lain, awal yang membuatku mengingat namanya, awal hari-hariku yang tak tenang lagi. Karena dia selalu hadir, muncul begitu saja bak hantu. Hantu beritme rusuh seperti dikejar hutang. Begitu memang gerak-geriknya. Seperti tak menapak, ingin segera ke menit berikutnya alih-alih menikmati menit yang ada. Kuingat itu saat wisuda, seperti cacing kepanasan dia. Berpesan agar ku tak melupakannya, membantunya mengerjakan skripsi, harus selalu siap kala dia butuh, karena dia adik kesayanganku. Katanya.

Entah sudah berapa menit berlalu sejak pertemuan terakhir kami. Yang kuingat, di antara menit-menit itu tak jarang wajahnya menghantuiku.

Ika arika. Betul sekali, yang ini baru orang Sunda. Satu angkatan kami di kampus, beda jurusan. Iya, seperti bis kota saja, ada jurusannya. Belajar bahasa Inggris dia, pintar sekali. Saking pintarnya tak henti dia membuatku iri karena dikirim ke luar negeri, lewat program beasiswa. Beberapa kali.

Kau tahu di mana dia sekarang? Sedang melanjutkan sekolah, di Inggris. Memotivasi sekali, bukan? Iya, itu Ika sekali, memotivasi. Kala motivasiku tergerus habis, Ika bisa mengisinya kembali. Iya. Cukup dengan membuka facebooknya saja. Kupandangi itu foto-fotonya di sana, melanglang buana, menjemput mimpinya.

Ah, Ika! Andai kau tahu betapa ku mengagumimu. Tak sabar rasanya, mengirim email untukmu, sekedar mengabari, ”Bu, gw dapet beasiswanya! Ke Prancis neh sebentar lagi. Alhamdulillah. Akhirnya.. Bisa ketemuan gak kita? Hahaha...”

Johan Sahertian. Dari namanya kupikir bersaudara dengan Deby Sahertian, ternyata itu fam, marga kalau orang Batak yang punya, yang lumayan besar di Ambon. Jadi batal deh aku berteman dengan saudara artis. Satu angkatan juga, seperti Ika. Tapi Johan ini belajar musik, gitar.

Aku tak pernah sadar dengan keberadaannya, hingga itu, salah seorang temanku jatuh cinta padanya. Jadilah kuingat wajah dan namanya dengan baik. Tapi bukan itu awal kedekatan kami.

Kala itu, mendekati natal. Kami tak sengaja berpapasan di jalan, mau ke gereja dia, mengajar gitar. Seperti mobil derek yang menarik mobil mogok, ditarikku olehnya, ke gereja. Duduk ku di sana, di dekatnya, mengamati dia mengajar. Tak banyak bicara kami, entah mengapa jadi tak bermakna semua kata.

Pulangnya berdiri lama kami, di bawah pohon natal, saling bercerita. Bercerita tentang apa saja. Basa basi dan curahan hati. Bercerita kami tak henti. Tak jarang dia datang ke tempatku, hingga kini. Untuk apa lagi? Ya tentu saja, untuk berbagi cerita.

Karin. Teman seangkatan juga, seperti Ika dan Johan. Satu jurusan juga, bahasa Prancis. Tubuhnya tinggi, tak kurus, sangat menarik perhatian orang kala dia lewat. Sebenarnya nama panggilannya Rini, tapi karena sudah ada Rini di kelas kami, maka namanya diganti. Mengapa Karin? Karena namanya Ekarini, jadi tak asal ambil, masih bisa dipertanggungjawabkan. Lagipula Karin lebih bagus, menurutku.

Cukup polos, walau seringkali berburuk sangka pada apapun di sekitarnya. Pandai, tapi sayang tak rajin belajar. Karin ini teliti sekali, hingga terjemahannya salah satu terjemahan yang kusuka. Kalau membaca karya sastra, tak jarang menangkap hal yang seringkali terlewat oleh pembaca lainnya. Motivasi. Gemas rasanya ingin mempertemukan Karin dan Ika. Biar diserapnya itu semangat juang Ika Arika.

Karin juga sedang belajar di luar negeri, Australia. Entah untuk menggapai mimpinya atau hanya sekedar memanfaatkan peluang yang ada. Bukan, ini bukan beasiswa. Tapi keberuntungan yang jarang orang punya. Keberuntungan yang sempat membuatku iri karena dia bisa belajar ke luar negeri, tapi kini tak lagi. Maksudnya sudah tidak iri lagi.

Kenapa? Karena alih-alih berbahagia seperti Ika, dia sibuk menyebar deritanya dari sana. Entah derita atas apa. Derita yang membuatku lebih memilih membuka facebook Ika saja. Karena ku, ingin selalu berbahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar