Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Online di Meja Makan

Hari itu hari jumat. Malam hari di tempat saya biasa tampil reguler. Yakni hotel Hilton, letaknya di pusat Kota Bandung. Saya main dari pukul tujuh hingga sembilan. Main gitar, gitar klasik. Menghibur pengunjung yang duduk dan makan di sebuah restoran Italia, namanya Fresco. Setiap saya main, pandangan tentu saja tak selamanya mesti pada partitur. Selain pada fret gitar, saya juga memandangi sekeliling. Langit, bintang, dan kolam renang yang indah sekali disoroti sinar gemerlap dari atap bangunan. Saya juga memandangi para tamu yang sedang ngobrol dan makan di mejanya. Berharap mereka memandangi saya kembali, untuk lalu terjadi semacam interaksi batin yang menunjukkan bahwa ia mengapresiasi musik saya.

Tapi di hari itu saya menyadari sesuatu. Hal yang saya sering lihat, tapi baru sadar. Ada sekeluarga duduk di meja: Ayah, ibu, dua anak perempuan, dan satu orang anak laki-laki. Saya tidak tahu apakah memang mereka sekeluarga, tapi saya simpulkan saja demikian. Mereka tak bercakap satu sama lain, hanya jika urusannya pindah memindahkan makanan. Atau sepenggal saja kalimat yang sering saya dengar, “mau pake saus?”, “mau tambah pizza?”, “mau minum lagi?” Sisanya? Kelimanya sering asyik dengan telepon selulernya. Ada beberapa yang pakai BlackBerry, semacam apalah, kau pasti tahu. Mereka asyik sehingga tak berbincang satu sama lain. Mereka asyik berkomunikasi dengan teman yang entah berada di Jakarta, Yogya, New York, Paris, atau Kuala Lumpur. Tapi dengan keluarga yang berada satu meja, tak banyak komunikasi yang dijalin.

Ternyata, ini sering terjadi. Sejak hari itu, saya perhatikan lebih banyak lagi orang di meja makan. Dulu, saya ingat, momen makan bersama adalah momen dimana saya dan keluarga bercerita soal apa yang terjadi hari itu. Kehangatan dijalin, dan makanan digunakan sebagai pendamping. Sambil bercerita, sesekali sambil membahas soal makanan yang dihidangkan. Gelak tawa di meja makan, adalah gelak tawa penuh kehangatan. Sekarang, di sebagian besar masyarakat, makanan masih pendamping, tapi juga orang di meja makan, sekarang berstatus pendamping juga. Intinya adalah, bagaimana dirimu menjadikan momen meja makan sebagai alasan bagi dirimu untuk tetap menjaga eksistensi di dunia maya. Berkomunikasi dengan seseorang di jauh sana, tanpa tatap muka dan kehangatan. Sambil lupa rasanya mendapati segaris senyum di hadapan wajahmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar