Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

NASI SUDAH MENJADI BUBUR

Di suatu pagi, di hari Rabu, di sebuah sekolah di tengah kota Jakarta.
“Sssst...Wei! Kau bawa bekel apa hari ini!”, tanya Budi yang duduk di belakang Wei.
Wei duduk tak bergeming karena tengah serius memperhatikan apa yang diterangkan oleh bapak guru yang sedari tadi berdiri di muka kelas.
“Weikoila...Kau bawa bekal apa hari ini?”, Budi kembali berbisik pelan ke belakang kuping Wei sambil menendang pelan bangku depannya.
“Sssst...berisik!“, Jawab Wei sambil melirik sinis ke arah Budi.
“Aku belum sarapan tadi pagi. Aku bangun kesiangan,” jelas Budi.
“Trus, kamu mau makan bekalku?” tantang Weikoila.
“Hanya kalau kau membolehkan,” dengan tak tahu malu Budi menjawab.
Wei tetap bergeming.
“Wei....Weeeeiiiiiiii!!” Budi meninggikan suaranya.
“Memangnya kau mau makan sekarang? Di dalam kelas?” Wei bertanya heran.
Budi pun mengangguk pasti, sudah bulat rupanya tekad di dada karena dorongan perut.
”Nih....makan nih! Kalau perlu habiskan!!”, Wei menyerahkan dengan agak membanting bekalnya ke atas meja Budi.
Budi dengan sigap mengambil bekal yang terbalut kain warna hijau dan langsung membawanya ke atas pangkuannya.
Ia tersenyum merasakan hangatnya bekal di kedua tangannya. Hangatnya nasi putih beserta kawan-kawannya.
Dibukanya perlahan kain hijau bungkusan, terkuaklah wadah makanan berbentuk kotak dan berwarna hitam. Dilepaskannya penutup kotaknya. Ia memejamkan matanya sembari menerka-nerka siapa yang menemani nasi hari ini.
Ketika ia membuka matanya, puas ia dengan apa yang dilihatnya dan akan segera dinikmati oleh lidahnya.
Sambil menunduk dengan memegang sendok, ia memulai suapan pertamanya, kedua, kelima, dan seterusnya hingga kosong wadah yang tadinya penuh.
Setelah puas dan kenyang dengan eksekusi yang baru saja dilakukan ia mengembalikan wadah tersebut ke Wei.
Begitu Wei menerima wadahnya yang jelas lebih ringan dari sebelumnya, ia langsung berteriak ke arah Budi, ”KAU HABISKAN SEMUANYA?”.
”Katamu tadi kau habiskan saja”, Budi tidak terima disalahkan.
”Itu sarkasme, Budi!”, jelas Weikoila tajam dan kembali melihat ke arah bapak guru.
Budi memandang pias ke arah Wei. Ia menyesal dengan yang ia telah ia lakukan. Bukan menyesal karena telah menandaskan bekal Wei hari ini, tetapi ia menyesal karena ia tahu dengan pasti akibat ulahnya ini maka tidak akan ada jatah lagi di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar