Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Kamis, 21 Juli 2011

Abangku

Ia lebih tua dariku tiga tahun. Dulu ada ketika ia begitu menyayangiku saat aku masih bayi, simpulku setelah mendengar cerita dari ibu dan nenek kami. Suatu hari ia memutuskan untuk menginap di rumah nenek kami lantaran tidak tahan mendengar tangisku setiap saat. Malam pun datang, ia menonton TVRI dan melihat tayangan tentang bayi-bayi. Begitu melihatnya, ia langsung minta pulang dan mengurungkan niatnya untuk menginap. Beruntung ada salah satu tetangga kami yang sedang singgah di rumah nenek, maka pulanglah ia dengan menumpang di motor tetangga kami itu. Setelah sampai rumah, ia langsung saja berbaring di sampingku walaupun tangisku tetap memekakan telinganya.

Teman bermain kami berbeda namun adakalanya kami bermain bersama-sama. Setelah menonton film silat di televisi, aku mengajak abangku untuk bermain berantem-beranteman. Aku bilang padanya, ”Bang, bagaimana kalu kita pakai pisau mama?”. Untung salah satu di antara kami masih waras, ia tidak mengamini niatku. Jadilah kami masih hidup hingga saat ini. Dari dulu ia sudah mendominasiku, ketika orangtua kami menanyakan apakah kami ingin punya adik, dengan pelan ia berbisik padaku, ”De, kalau kita punya adik lagi, telur yang biasanya dibagi untuk berdua akan dibagi jadi untuk bertiga. Ade’ mau?”. Tentu saja aku menolak mentah-mentah wacana memiliki adik tersebut.

Seiring berjalannya waktu, rasa sayangnya memuai ke dalam bentuk yang lain. Ia menyuruhku melakukan apa yang menurutnya benar. Ia juga terkadang melarangku untuk melakukan ini itu. Ia seringkali mempertanyakan keputusan yang telah ku buat yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Ia melakukan itu semata-mata karena ia tidak ingin merasakan sakit dan kecewa yang pernah ia rasa, harus kurasakan juga. Kukatakan padanya, ”Bang, kau telah menjalani sesi pelajaran hidupmu sendiri. Kali ini biarkan aku menjalani pelajaran hidupku dengan caraku sendiri. Karena sungguh, kau adalah apapun yang bukanlah diriku dan aku bukanlah apapun yang bukan dirimu”. Satu-satunya kesamaan kami adalah kami pernah mendiami rahim yang sama dan aku bersyukur karenanya. Ia abangku dan akan selalu begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar