Tak ingin otak beku, maka kami jadikan pena sebagai microwave. Kami, sekumpulan manusia pencinta cerita.
Mau bercerita bersama? Mudah saja. Tinggalkan alamat email-mu, kami punya tema baru tiap minggu.
Mari menulis!

Jumat, 22 Juli 2011

Rindu Merindu

Aku rindu sebuah tempat dimana kala hujan mengguyur, bau tanah basah tercium tajam. Aku rindu sebuah tempat dimana matahari terbit disambut kokok ayam. Ini tempat tak lagi sama. Rumahku yang dulu, telah sirna sejak gajah-gajah besi itu menginjak bumi kami. Mereka menggerus tanah dengan kasar, lalu gerombolan orang bersepatu bot mengotori lengannya dengan adonan berwarna putih. Setiap hari mereka berisik, tak pagi, tak siang, tak malam. Hujan petir tak membuat mereka urung bekerja. Katanya ini proyek kilat, mesti jadi mal dengan segera.

Sejak lurah yang baru berkuasa, ia ogah menjaga kedamaian desa. Kedatangan orang-orang pemerintah meluluhkan hati dan pikirannya demi uang yang banyak. Katanya, “Biar, biar kita maju, biar kita punya uang. Mau sampai kapan kita hidup seperti ini sedangkan dunia sana sudah banyak kemajuan?” Aku, dan segenap penduduk menyatakan iya, karena memang Pak Lurah ada benarnya. Pak Lurah pintar, sudah haji, sekolahnya tinggi, pasti ngerti.

Sekarang mal itu sudah berjalan lima tahun lamanya. Dulu usiaku dua puluh ketika awal mula orang kota mengubah apa-apa yang hijau jadi putih beton. Sekarang semua menjadi gemerlap megah, mal itu menarik banyak mobil dan motor parkir di halamannya. Kami sekeluarga diberi kompensasi berupa uang dan pembetonan rumah, sehingga selaras sewarna dengan mal. Agar katanya, cantik dan tidak mengganggu pemandangan. Belakangan kutahu betapa pernyataan itu menyakiti perasaan.

Jika kami tak kuasa lagi mengubah keadaan, maka yang tersisa tinggal kerinduan. Sungguh kerinduan adalah semacam pertemuan. Raga terlempar seolah pada keadaan dimana segalanya masih hijau. Kala langit masih bisa kau tanyai tentang bagaimana cuaca hari ini? Sekarang aku yakin langit di atas masih langit yang sama seperti dulu. Tapi langit tak bisa lagi memandangku, karena terhalang tembok-tembok yang menjulang. Kami tak lagi saling percaya seperti dulu.

Aku rindu sebuah tempat dimana kala hujan mengguyur, bau tanah basah tercium tajam. Aku rindu sebuah tempat dimana matahari terbit disambut kokok ayam. Aku rindu ketika gelap sunyi mendekatkan hati pada Ilahi.

Wish so hard for your coming

Ada tamu, yang rajin menyambangi para wanita setiap bulannya. Tamu yang mau tak mau mesti disambut karena kehadirannya sungguh tak mungkin tak dihiraukan. Kadang sebelum datang dikirimkannya tanda-tanda, hingga kami, wanita, bisa bersiap-siap. Persiapan macam apa?

Mental, itu yang utama. Karena si tamu, acapkali senang bermain dengan emosi dan suasana hati nyonya rumah. Tak jarang kehadirannya mampu membuat hati uring-uringan. Begini salah, begitu tambah salah. Seperti jatuh cinta, tanpa gelora. Apa lagi?

Jamuan, tak boleh kelupaan. Tak selayaknya tamu-tamu lain, tamu yang satu ini membutuhkan jamuan yang sama, itu-itu saja. Meski si tamu tetap membebaskan nyonya rumah untuk memilih jenis yang dia suka. Nyonya suka, si tamu tentu suka. Ada lagi?

Jamuan ekstra, berbeda dengan yang utama. Bagi sebagian wanita, si tamu dapat menimbulkan nyeri dan rasa sakit yang bukan kepalang. Tak jarang bahkan yang merasakan mual hingga seluruh isi perutnya berdemo dan memaksa keluar. Mengerikan, bukan?

Kalau begitu mengapa tetap dibiarkan datang? Sayangnya kehadirannya tak terhindarkan, sungguh. Dia akan tiba sesuai jadwal, bagi sebagian wanita si tamu bahkan bak kejutan yang bisa datang kapan saja, yang jelas dia tetap akan datang; mau tak mau, suka tak suka. Tapi, di pinggir pantai berpasir putih bahkan kadang ada pasir berwarna hitam, bukan? Tepat.

Adakalanya, sungguh tak biasa, si tamu tak akan kunjung tiba. Kadang sebulan, lebih dari sebulan, atau lebih lagi. Melegakan? Sugguh tidak. Karena tanpa keadaannya, ternyata, wanita dapat kehilangan keseimbangan baik ragawi maupun emotionally. Kok bisa? Bisa.

Sungguh gila si tamu ini, bukan? Datang menyiksa, tak datang siksanya luar biasa. Bak muntah yang tertahan di tenggorokan, kentut yang terikat di ujung lubang, pipis sulit yang membuat anyeng-anyengan, dan bak perjuangan membuat titik di akhir simbol-simbol yang kita buang di dalam jamban.

Maka datanglah hai tamu para wanita! Datanglah setiap bulannya. Jangan kau buat mereka semakin tersiksa, cukup datang saja.

Merindu

Pernah mendengar tentang bunker?

Betul, bangunan yang didesain sebagai tempat berlindung baik dari serangan bom ketika perang ataupun ketika terjadi bencana alam.

Saya ini sudah setahun lebih tinggal di dalam bunker. Bukan karena terpaksa, tapi murni pilihan sendiri. Bukan pula karena ada perang saudara atau bencana alam. Bukan, bukan itu.

Saya mengikuti tantangan lari dari kenyataan. Hidup di dalam bunker dengan sekitar tiga ratus orang lainnya dengan masa yang tidak dipastikan ketika tanda tangan kontrak.

Hidup kami terjamin, pasokan udara juga selalu ada. Bahan makanan jangan ditanya, berlimpah ruah.

Yang harus kami lakukan hanyalah melupakan kehidupan di atas sana.

Awalnya saya berpikir, bagus juga lah tak perlu bersusah payah kena kemacetan.

Apalagi di dalam kontrak, tidak ada larangan untuk menjalin kasih antar sesama penghuni bunker.

Alangkah indah hidup jadinya.

Sehari, seminggu, sebulan pun berlalu.

Masih terasa menyenangkan, pasokan listrik dan air bersih selalu tersedia.

Mengobrol ngalor-ngidul dengan teman baru tentang kehidupan mereka di atas sana.

Bulan berganti, rasa jenuh mulai menghantui.

Tembok seakan menghimpit tubuh ini. Terasa sesak. Susah bernapas, padahal tekanan udara masih normal sama seperti pertama kali kami tinggal di bunker ini.

Makanan serasa hambar di lidah, tidak menggugah selera.

Senyuman berganti dengan kernyitan.

Perbincangan berganti dengan kesunyian.

Seakan seluruh gairah hidup sudah terkuras habis.

Gairah untuk mencinta pun lenyap entah kemana.

Di kepala kami hanya terngiang-ngiang satu hal.

Menanti, menanti kapan kiranya pintu bunker terbuka kembali sehingga kami bisa merasakan silaunya matahari bukan hanya sekedar terangnya lampu neon seperti satu tahun belakangan ini.

Semangka

Suatu hari ketika aku terlelap, dan bermimpi tentang dunia. Dunia yang bukan bulat biru seperti biasanya. Tapi bulat hijau bergaris putih bak semangka. Lalu aku masuk ke dalam dunia yang merah warnanya. Kuinjak dataran yang lembek basah adanya. Mana yang lain? Dimana kehidupan? Lalu datang silih berganti para biji berwarna hitam. Mereka bisa bicara, “Paduka, manusia telah musnah. Mereka tak mampu hidup di dataran semangka.” Aku bingung, tapi harus berbicara, karena mereka satu-satunya yang bisa diajak bicara, “Mengapa mereka tinggal disini? Kemana dunia bernama bumi?”

Biji itu, hitam lonjong seperti biji semangka. Setiap mereka berbicara, ada katup kecil yang buka tutup seperti mulut. Mereka tak punya mata, “Semua ini terjadi dua ribu tahun lalu. Kala bumi sudah menjelang kehancuran karena ulah manusia yang serakah. Tuhan berbaik hati dengan memberi manusia dua pilihan. Satu, perbaiki bumi dengan kemampuan yang tersisa. Mulai dari yang sederhana: Tolong manusia, jangan buang sampah di sungai. Berhenti pakai plastik. Jangan lagi betoni tanah,” biji semangka itu tarik napas sejenak. Sekarang ganti temannya yang bicara, “Atau, pilihan kedua, pindahlah ke planet semangka. Terletak antara Venus dan Merkurius. Disana banyak air, manusia bisa mencoba.” “Lalu?” aku mulai penasaran. “Manusia, karena kemalasannya dan ambisi yang tak pernah selesai, penasaran dengan planet semangka. Mereka menciptakan kapal raksasa yang bermuatan milyaran orang. Dibangun lima puluh tahun lamanya.”

“Lantas hampir seluruh manusia di bumi melakukan eksodus besar-besaran. Hanya yang tua yang ditinggal, karena mereka enggan ikut. Mereka cinta bumi ini. Sedang yang muda naik kapal,” biji yang lain berbicara lagi, “Sampai di planet semangka, mereka mendarat selamat. Namun kala keluar dari kapal, semua hangus terbakar.” Suasana jadi mencekam. Aku bertanya, “Kenapa?” “Karena letak planet semangka tak jauh dari matahari, dan atmosfernya tak cukup tebal untuk melindungi diri dari radiasi. Manusia saking malasnya tinggal di bumi, tak memperhitungkan itu, bahkan para ahli sekalipun.” “Bumi makin tua makin melahirkan manusia yang enggan peduli alam semesta.” Biji yang lain melanjutkan kisah itu. Aku menghitung, mereka semua bersepuluh, “Lalu ada beberapa yang masih tinggal di pesawat, mereka ketakutan melihat rekannya terbakar di permukaan planet semangka. Mereka minta pilot untuk kembali ke bumi dan mereka semua janji untuk kembali memperbaiki bumi.” Aku menelan ludahku, “Lalu?” “Lalu mereka dengan terburu-buru kembali ke bumi, tapi bumi ternyata telah dikiamatkan Tuhan, bumi lenyap tanpa sisa dan terbang bersama debu angkasa.”

“Manusia dalam kapal semua mati dalam sepuluh tahun karena kehabisan makanan dan udara. Dengan demikian habislah manusia.” Aku terdiam sekaligus gelisah, “Jadi, jadi, aku kah manusia bumi yang tersisa? Apakah aku harus tinggal disini?” “Ya, paduka, tinggalah disini selamanya. Sebentar lagi Tuhan akan menurunkan hawa dari kaum mu, dan berkembangbiaklah di planet semangka. Atmosfer akan dibuatkan segera untuk mencegah radiasi.” “Tidak, tidak, aku tidak mau. Aku mau kembali ke bumi. Aku janji memperbaikinya seorang diri!” “Tak mungkin, paduka, planet bumi telah tiada.”

Aku menjerit sekencang-kencangnya. Mendapati diri di tempat tidur dengan keringat berpeluh. Fyuh, cuma mimpi. Aku turun ke dapur, membuka kulkas, dan berteriak terkejut melihat semangka.

Semangka

Jika saja ada yang bertanya dengan siapa kuhabiskan malamku, semangka jawabannya.

Bertahun-tahun tinggal sendiri baru kali ini kutahu rasanya sepi.

Tiba-tiba ingin tahu rasanya ada seseorang di atap yang sama.

Tetap sesepi ini kah? Entahlah.

Jika saja ada yang penasaran apa yang kulumat sedari tadi, semangka jawabannya.

Bagian terburuk dari tinggal sendiri adalah makan malam.

Tak ada wajah di depanmu, tak ada berbagi cerita, semua ditelan sendiri saja.

Kuputar kembali hariku sambil melumat ini saja, semangka.

Jika kau mau tahu mengapa tak berhenti ku memakannya, semangka.

Kusuka, jawabnya.

Beli satu, luar biasa kenyang ku dibuatnya.

Kembung sih lebih tepatnya.

Jika kau sudah bosan membaca tulisanku ini, aku apa namanya.

Bahkan menulis bisa jadi luar biasa membosankan ternyata.

Tanpa ada siapa-siapa untuk dibacakan sesudahnya.

Oh, semangka.

Cuma ada dia sekarang.

Baiklah, kubagi cerita ini denganmu saja.

Tak perlu kubacakan sepertinya kau bisa tahu ceritaku, duhai semangka.

Di gua mulutku kau berada, antara kepala dan tangan yang sedari tadi bercerita.

Hmm,,, pasti lah kau bisa mendengar kata-kata yang dari atas turun ke dada lalu kulempar melalui jari-jemari yang sedari tadi sibuk kesana kemari di atas papan laptop ini.

Tak perlu kau ikut berkomentar teman merahku, cukup dengarkan saja, jangan buatku tersedak dengan komentarmu.

Aku hanya butuh teman malam ini.

Itu saja.

Putri Semangka, Nona Nanas dan Dewi Melon

“Sammy, kau terlihat menawan sekali malam ini dengan tema merah menyala. Aw silau,” Nona Nanas yang memang bertabiat ceria menyemarakan suasana.

“dan tanpa bercak hitam. Luar biasa”.

“Ya dong Nancy. Mau pesta gitu loh. Biar gak kalah eksis sama kamu,” jawab Putri Semangka dengan menggamit tangan Nona Nanas agar lebih merapat ke dirinya.

“Ngapain nempel-nempel sih?” Nona Nanas merasa terganggu dengan kelakuan Putri Semangka.

“Kalau aku deket-deket yang standar, kayak kamu, aku kan jadi lebih terlihat menonjol,” jawab Putri Semangka polos dan senyum pun mengembang di wajahnya.

“Sialan lo. Biar standar begini, di tiap pesta pasti ngundang gw. Kalo gak ada gw, gk bakalan rame tuh pesta,” sanggah Nona Nanas tak mau kalah.

“Kita merapat ke tengah yuk!” ajak Putri Semangka.

Dan mereka berdua berjalan perlahan-lahan dengan mengangkat ujung gaun yang mereka pakai agar tidak terpeleset lantai kaca. Mengarah langsung ke tengah, siap untuk menjadi pusat perhatian. Tersenyum penuh percaya diri sambil melihat ke sekitar, menerka-nerka berapa harga sepatu yang dikenakan si ini, lipstik merek apa yang dipakai si anu, tas tangan manik-manik keluaran desainer siapa yang dipakai si itu.

Sampai juga akhirnya mereka ke tempat yang mereka inginkan. Disana ia berjumpa dengan Dewi Melon yang tak kalah jelita dengan kesegarannya.

”Melly! Sudah dari tadi datang? Kok baru keliatan?” Nona Nanas memulai perannya untuk mencairkan suasana.

“Saya sudah dari tadi. Seperti biasa, saya langsung menuju posisi tengah, tidak terbiasa di daerah pinggiran soalnya,” jawab Dewi Melon sombong. Sedari dulu ia memang selalu angkuh karena terlahir di California.

Putri Semangka dan Nona Nanas tersenyum masam mendengar jawaban itu, namun karena sudah kenal betul dengan watak teman mereka yang satu ini, ketiga sahabat itu larut dalam percakapan dari yang tidak penting samapai ke percakapan yang sama sekali tidak penting.

Sementara mereka sibuk berbincang, dari atas terdengar suara-suara merdu.

“Nasto, ambil pudingnya yang banyak ya! Semua warna! Gw doyan”.

“Oke oke. Lo ambil buahnya gak usah banyak-banyak. Gw udah kekenyangan. Abis kita makan ini, kita pamit ke Boiq ya bow. Udah malem ini”.

”Oki doki”.

Bandung

Bandung, kau belum kunjung penuh. Kertasmu masih selalu punya putih untuk ditulisi. Adakah sudut kota Bandung yang belum dikunjungi? Hampir saja kubilang tidak, sebelum kemarin ada lima orang datang menunjukkan sudut gelap yang belum sempat kuterangi. Mereka itu, Dega, Anast, Dian, Dewi, dan Karin. Datang dari Jakarta, mereka hadir untuk berlibur melepas penat ibukota. Namun baiknya mereka, tak cuma penat dirinya yang dibuang, ia ajak aku untuk menyegarkan diri juga. Pertama-tama adalah Ciater, sebuah tempat pemandian yang ah, biasa-biasa saja. Air hangat, belerang, pegunungan, hal yang tak terlalu aneh dan aku pernah mengalaminya beberapa kali meski sudah lama. Namun ada yang baru, menakjubkan, dan sudah lama kusadari bagian ini begitu gelap sebelum mereka terangi. Yaitu, jalan-jalan, tanjakan, dan jalur menuju tempat itu sendiri. Tadinya aku tak paham, tak jelas, dan tak punya pengetahuan apa-apa tentang apa saja yang mampu dilihat sepanjang perjalanan kesana.

Hari kedua adalah sebuah tempat kebudayaan di Bandung Timur. Namanya Saung Mang Udjo. Ini tempat yang, terakhir aku kesini waktu SD. Sudah lama dan tidak ingat apa-apa saja yang terjadi. Yang aku tahu cuma tempat itu banyak angklung. Lalu aku datang lagi, merasakan kembali dan menerangi wewangian bambu yang amat kuat menusuk hidung. Duduk di salah satu sudut ruang pertunjukkan, segalanya kembali terang, lagi-lagi oleh senter yang kelima orang itu bawa. Pertunjukkan pertama itu wayang yang membuatku menitikkan air mata. Betapa manusia diciptakan sedemikian kayanya, sehingga mampu terepresentasikan pada sekian banyak tokoh wayang. Masing-masing tokoh mewakili sifat manusia yang amat subtil dan esensial. Lalu sesi angklung, gamelan, arumba, melemparkanku pada kelampauan. Pada masa ketika semuanya masih luhur, manusia ini masih sejati adanya. Alam adalah sahabat, cuaca adalah kawan curhat. Sesungguhnya manusia dan alam pernah berkawan baik, sebelum traktor memutus silaturahminya. Dan menjadikan manusia dan alam menjadi canggung untuk tegur sapa sekalipun.

Sampai di rumah, walau masih di terasnya saja.

Namanya Dian, Dyence biasa kupanggil. Kali pertama ke Saung Mang Udjo, ya Sabtu kemarin. Sudah lama inginku mengajaknya kesana, akhirnya tercapai juga. Sungguh tergila-gila katanya. Iya, aku tahu. Wajahmu tak kuasa menahan kagum sore itu. Wayang golek, gamelan, tari adik-adik cilik hingga para neng geulis yang bergoyang sensual dalam jaipong, angklung pemula, senior, hingga belajar bernyanyi, berangklung dan menari bersama. Oh, sungguh ramai kau rasa! Tak banyak bibirmu bercerita sesudahnya, cukup binar matamu saja kurasa. Dan statusmu hari itu, love saung mang udjo so much! Lebay? Ah, tidak!

Yang ini Dewi, bukan shopaholic. Sudah lama berpesan ingin membeli cardigan-cardigan yang sering kupakai. Di Bandung, kubilang. Iya, kapan-kapan yah, jawabnya. Dan disana lah dia, aku juga. Di Factory Outlet terkenal di jalan Riau, ada dua yang paling besar. Akhirnya terbeli juga, ujarnya senang. Iya, beli, setelah bimbang berkali-kali di tengah berbagai pilihan model dan harga yang ada. Oh Dewi, apakah kau bahagia? Iya, katanya. Satu hal yang kita tahu pria tak bisa pahami, bukan? This is what we call girl’s thing, baby!

Anastasia Khairunnisa, panggil saja Nasto atau Bananastasia. Kalau lihat posturnya, kau pasti lah tahu apa yang dia suka. Makan. Tenang Nasto, kita punya kesukaan yang sama sekarang! Berangkat dari teori bahwa anak Indonesia cerdas berkat MSG, giat sekali dia menjilat ramuan enak nan menghauskan itu dari jarinya. Kenapa makanan di Bandung enak semua ya, Gul? Katanya. Yang di restoran, jalanan, mahal, murah meriah, enak semua! Yang ini setuju saya. Jangan salahkan jika kami menggelembung di Bandung, omelin saja mang-mang yang terlalu serius berjualan makanan!

Satu lagi Karien, dia lah yang membuat kami semua terdampar di Bandung selama empat hari. Tak jelas mau apa, cuma mau jalan-jalan saja. Makan jajan? Oke! Hunting dress di FO? Oke! Bersuka ria di saung mang udjo? Dengan senang hati! Semuanya menyenangkan untuknya, tapi tak lebih menyenangkan dari berputar-putar di jalan saja. Kita muter-muter aja, gapapa. Asik begini, nyasar di jalan yang bener-bener gak dikenal. Sounds so easy, mengingat jalanan di Bandung yang banyak satu arah, Neng!

Kalau saya, Dega. Ke Bandung rasanya seperti pulang ke rumah saja. Tapi bukan berarti saya betah jika tinggal di rumah saja ya. Pasti membosankan itu rasanya. Saya suka duduk di mobil muter-muter di jalan raya, singgah jajan di tempat yang banyak makanan enaknya, kalau tak keberatan bolehlah traktir satu atau dua baju di FO langganan saya, isi batin saya dengan pagelaran musik yang mudah didapat di sini, belum lengkap jika belum masuk ke mutiara, toko peralatan rumah tangga. Oh, semuanya saya suka, dengan masing-masing porsinya. Sepertinya saya sudah sampai di rumah, walau masih di terasnya saja.

Bandung, I’m in love

“Gw akan tinggal di Bandung setelah gw nikah,” itu pernyataan Dega, kawan saya.

Hah! Bagaimana bisa lo tinggalin semua yang di Jakarta dan pindah ke sana?

Itu yang ada di kepala saya ketika dia bilang begitu.

Kali lain dia bilang dengan ekspresi seakan lebih baik mati saja,

“Gw sudah tidak tahan tinggal di Jakarta”.

Terheran-heran lah saya, bagaimana bisa itu terjadi pada seorang Dega.?

Dia yang selalu yakin menapak di kedua kakinya sendiri, kini memohon untuk segera hengkang ke Bandung.

Pasti ini karena Syarif, si jejaka asal Bandung, kekasih Dega.

Dicuci otak dengan detergen merk apa sampai Dega menjadi seperti ini?

Liburan akhir pekan lalu di Bandung, saya mencoba mencari tahu apa istimewanya kota ini hingga membuat kawan saya jatuh hati.

Mengesampingkan berbagai prasangka, melihat dengan lebih seksama.

Pengamatan dimulai dari yang kasat mata: lalu lintas. Kalau di Jakarta dibuat pusing karena kemacetan, di Bandung dibuat pusing karena jalan satu arahnya. Hampir tidak mendengar klakson berbunyi, kalaupun ada ketika dilihat ternyata kendaraan ber-plat B. Kami juga bisa jalan dengan santai di trotoar, meski tanpa bergandengan tangan dengan kekasih. Hehehe

Berbelanja di pasar kaget yang dipenuhi orang pun tak perlu merasa was-was akan adanya copet. Bukannya tidak ada, tapi sepertinya pencopet pun akan permisi sebelum mengambil dompet kita atau malah memintanya dengan tersenyum ramah. Terdengar konyol? Tapi memang begitu yang terasa ketika menyusuri jalan di Bandung.

Makanan? Jangan ditanya. Semua enak, enak semua. Brownies, klapertart, risol, batagor, siomay, nasi goreng, keripik. Bertambah berat badan pun tak mengapa.

Hal lain yang mengusik saya, sepertinya orang Bandung tahu persis apa yang mereka lakukan, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan seperti berenang-renang di tepian, melainkan mereka menyelam ke dasar lautan. Kenapa banyak musisi Indonesia dari Bandung? Karena Bandung menghargai karya seni, tak seperti Jakarta yang hanya menjadikannya industri. Anak alay pun berani berekspresi, lihat saja itu Shinta dan Jojo yang kini dijadikan produk industri. Video syur pertama yang menghebohkan pun asalnya ya dari Bandung, baru kemudian daerah lain sibuk membuat video tandingannya, maklum mereka tidak kreatif jadi hanya bisa meniru.

Soal gaya hidup? Tante, biasa kami panggil Ibunda Syarif, memilih memanggil pelatih yoga ke rumah untuk olahraga yoga. Kalau di Jakarta, para ibu berbondong ke fitnes center dengan tak lupa memakai pakaian senam model terbaru. Peduli amat beneran ikutan olahraga atau hanya sekedar cuci mata. Peduli amat beneran ikutan olahraga atau hanya sekedar cuci mata.

Alih-alih menyewa tempat di mal, rumah pun disulap menjadi tempat nongkrong. Suasananya lebih menyenangkan dan tidak bising dengan musik yang bersahut-sahutan. Semoga Walikota Bandung terketuk hatinya untuk berhenti membangun gedung-gedung tinggi. Tak perlu seperti Jakarta. Cukup seperti itu saja, Bandung orisinil bukan Bandung KW super.

Wahdega,

jika memang kehidupan seperti itu yang sanggup ditawarkan Bandung padamu,

saya juga rela...

Ariel

“Vonis telah diputuskan. Nazriel Irham dihukum seumur hidup.” Demikianlah kata hakim, kata media, kata polisi, dan kata para pengguna twitter. Jagat dunia maya maupun nyata heboh semua. Katanya, “Kok bisa, sampai seumur hidup gitu hukumannya?” Namun memang demikian kenyataannya. Setahun setelah Ariel Peterpan terungkap video pornonya bersama Luna Maya dan Cut Tari, vonis hakim akhirnya memutuskan ia dihukum seumur hidup. Konferensi pers tidak pernah digubris olehnya, pengacaranya sering bilang, “Memang mekanisme hukum seperti itu, semoga ia bisa mendapat grasi nantinya jika berkelakuan baik.”

Ariel, sedang muram ia. Kelihatannya. Namun siapa yang tahu apa yang dibalik benaknya? Sesungguhnya ia lumayan merasa getir, namun jua lega. Dengan vonis ini, sesungguhnya nyawanya selamat, dari penjara sesungguhnya di luar sana. Penjara yang mungkin membunuhnya. Di penjara yang akan diami nanti, cuma gembok dan terali saja yang ia khawatirkan. Untuk bebas melenggang sesekali, ia bisa suap sipir penjaga beberapa ratus ribu rupiah saja.

Iya, ada seorang mafia gila, begitu pengakuan Ariel secara pribadi dalam hatinya. Mafia itu, adalah pemilik Cut Tari sesungguhnya. Sungguh bodoh suami Cut Tari, ia mau tetap bersama wanita yang mau bercinta denganku, juga menjadi simpanan bagi psikopat kaya. Mafia gila itu, mengancam berulang-ulang, akan membunuhku pelan-pelan. Dia tersinggung, Cut Tari aku cumbui barang sekali dua kali. Demikian mengapa aku begitu betah berada di penjara, yang begitu nyaman ketimbang teror di sana yang siap menghabisiku kapan saja. Aku membayar mahal untuk penjara, bukan untuk kebebasan. Di penjara, aku dilindungi polisi tanpa usah bayar sebanyak jika aku dilindungi polisi kala bebas melenggang.

Demikian Ariel menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Keluar di hari tertentu, satu kali setiap minggunya untuk bertemu kekasih yang tinggal satu-satunya, yaitu Luna Maya. Ia keluar dikawal, menggunakan wig dan kacamata agar tak dikenal. Sesekali ia gunakan jua untuk bercengkrama bersama keluarga. Dan kemudian sebelum matahari terbit ia pasti telah berada di balik terali tempat ia terbebas dari ancaman para mafia yang gatal lagi brutal. Di balik terali penjara, tersimpan tubuh Ariel yang terbelenggu. Di balik terali tubuh Ariel yang terbelenggu, terdapat jiwa yang bebas.

Temu kangen (akhirnya)

“Sayang, handukku yang putih ini ya?”

“Iya, iya.”

Kreeettt, pintu kaca kamar mandi terbuka. Seorang pria berdada bidang keluar. Sambil menggosok rambut basahnya, tatapan terhenti pada wanita di ranjang.

”Ow, baru ya?”

”Yup! Special for today,” jawab si wanita bermata besar sambil mengerling manja.

“Aaauuummm…”

Sang pria mengaum sambil menirukan macan kala siap menerkam.

“You too, baby?”

“Aha, for our special day,” ujar wanita lainnya yang sedari tadi duduk manis di jendela, menatap ke bawah sana; dikaguminya taman dengan bunga-bunga terawat indah yang membingkai air mancur.

“Hahahahahhahaaa… My girls!”

Tawa membahana, dua wanita, satu pria.

Kala itu sudah pagi, sekitar jam dua. Tirai putih bermotif ranting kering menari kedinginan oleh hembusan angin dan kaca-kaca pun mulai buram berembun. Di ranjang berukuran raja terbaringlah tiga insan yang sedang berbahagia setelah melepas rindu. Rindu serindu-rindunya setelah dua tahun berpisah. Dua tahun yang terasa sungguh menyiksa bagi ketiganya. Masa-masa yang kini dengan mudahnya mereka lupa.

”Hhhhmm...”

Sang pria terlihat terjaga, matanya membuka ditengah empat mata lainnya yang sudah menutup damai. Ditatapnya televisi yang menayangkan salah satu konser band asing favoritnya, Guns ’n Roses. That’s a rock star! Ujarnya dalam hati. Beringas dan ganas. Well that’s me. Pemandangan panggung besar dengan penonton jutaan membawanya kepada kenangan kala dirinya nyaris setiap hari berdiri dari satu panggung ke panggung lain. Betapa dia merindukannya. Segera, batinnya. Tiba-tiba saja perjalanan kenangan lompat ke hari saat dia mendapatkan kembali kebebasannya, “Tenang, semua sudah beres,” ujar ahli hukum yang membelanya selama dua tahun belakangan. Para ahli yang bayarannya sangat menguras tabungannya, juga kekasihnya. “Kok bisa, Bang?” tanyanya penasaran. “Si habib akhirnya mau terima amplop kita, massanya gak akan diturunkan lagi janjinya.” Alhamdulillah.. “Kok akhirnya mereka mau juga, Bang?” tanyanya pensaran. “Itu dia, setelah kita naikkan empat kali lipat baru mereka gubris. Memang sialan tuh pada!” Terserah lah bagaimana caranya, akhirnya aku bisa menghirup udara kebebasan lagi.

“Si om-mu bagaimana akhirnya, babe?” Perjalanan kenangannya terbang ke adegan beberapa jam lalu, di ranjang tempat dia berbaring sekarang.

“Iya, gimana tuh akhirnya? Kita beneran sudah aman?”

“Iya, kalian tenang aja. Suamiku sudah membungkamnya.”

”Kok bisa?”

”Iya, kok bisa?”

”Si mas menawarkannya proyek besar di Papua. Setelah teror-teror yang tak habis-habinyas kami terima, akhirnya dia mau menunjukkan batang hidungnya.”

”Kalian sudah ketemu lagi?”

”Iya, kami bertiga.”

”Lalu?”

”Ya dia tanya penawaran apa yang bisa kami kasih. Si mas paparkan semua, dia tertarik, perjanjian langsung dibuat saat itu juga.”

”Saat itu juga?”

”Iya.”

”And here I am. Thanks to my dear husband.”

“To your dear husband!” Si pria mengangkat gelas berkakinya.

“Ya, to your beloved husband!” Wanita bermata besar turut mengangkat gelasnya.

“To the best husband in the world!”

Dan tersenyum penuh makna, ketiganya.

“Does he, your husband, know that you are here, today?” Wanita yang masih berstatus single itu mengemukakan rasa penasarannya.

“That I’m in your house?”

“Yup!”

“Should he?” jawabnya nakal.

“Hahahahahaaa….”

Tawa bahagia ketiganya membahana, diselimuti kecupan manja si pria pada kedua wanitanya. Wanita-wanita yang telah membuktikan padanya apa arti setia.

Kamis, 21 Juli 2011

Merapi

Maridjan, aku sudah kenyang. Kembali kau kenyangkan seperti yang setiap hari kau sajenkan. Magmaku diam jinak di dasar sana. Wedhus gembel tak bikin gatal sehingga tak usah aku batuk segala. Lahar belum kebelet untuk naik. Aku kenyang, tubuhku baik. Jika kemarin-kemarin aku sempat bikin ulah, karena aku tengah bad mood. Aku kesal sama Tuhan, karena manusia kerjaannya merusak, kok didiamkan terus? Tuhan mendengar aduanku, dan Beliau bilang: kalau mau marah, ya marahlah sendiri, kau sudah kuberi kemampuan untuk memberi peringatan. Jadilah kuguncang bumi, kuberi hujan abu, dan kukeluarkan dahak yang bersemayam lama dalam tenggorokan.

Namun Maridjan, kekasihku, yang membuat aku tak mau sering marah-marah. Sajenmu selalu mengenyangkan, selalu membuatku adem dan ingin tidur selama-lamanya. Aku tak mau engkau tertelan kemarahanku sekalipun, aku ingin kau mengungsi kala tanda itu datang, untuk memberi wejangan bagi manusia yang bodoh dan serakah. Aku tak ingin kau mati, karena kau satu-satunya manusia baik yang kukenali. Kau tahu kapan aku bikin ulah, kapan aku sedang tenang, tapi kau selalu menyebut bahwa engkau tak tahu apa-apa pada manusia yang ingin mendaki lenganku. Kau selalu mengembalikan segala pengetahuan pada Gusti Allah yang sama-sama kita sembah.

Wahai Maridjan, sekarang aku berubah pikiran. Bisakah kau menebak yang aku pikirkan? Aku kasian sama kamu, Djan. Ndak capek opo? Tiap hari ngasih makan aku sampe puluhan tahun? Apakah kamu gak tertarik ngasih makan cewek-cewek muda yang mungkin mau kamu madu? Kamu udah jadi bintang iklan, Djan, uangmu banyak, ngapain nungguin aku terus?

Ah, Djan, Djan.. Kamu tau aku cuma menggodamu. Aku tahu derajat kesetiaanmu. Maka itu Maridjan, aku mau berterima kasih pada segala apa yang sudah kau berikan padaku. Kemarilah, kawin denganku, jangan lagi terikat dengan apa yang tampak. Mari kita bersama-sama jadi pasangan yang dengan setia menyembah gusti Allah semata. Terima kasih Maridjan, untuk sekali ini, terimalah: bentuk terima kasihku. Ijinkan aku membebaskanmu dari tugas memberiku makan. Selama-lamanya, Djan.

Tiba giliran kami, Merapi.

Baru kemarin titah sampai dari tetua; Bangun! Jangan terlena kalian bermalas-malasan. Sudah saatnya wajah bumi diperbaiki. Berpuluh tahun sudah kami beristirahat, meski sewindu terakhir saudara-saudara kami telah mulai bekerja kembali, memperbaiki wajah bumi, meminjam istilah si empunya. Renggang dirapatkan, rapat direnggangkan, daratan dilautkan, laut didaratkan, cekung diratakan, rata dicekungkan, subur ditanduskan, tandus disuburkan. Dan kini giliran kami, Merapi.

Ini malam hari, kusuka. Kupikir tak perlu lagi terik menyilaukan bara yang kami punya. Memperbaiki wajah tak mesti menarik perhatian dunia, kurasa. Biasa saja. Ibunda alam semesta selalu mengingatkan untuk tak mengejutkan mereka, manusia; kirimkan tanda-tanda pada mereka, jangan pernah lupa! Dan disinilah kami, bergerak bersama, terengah guna mengirim sedikit tanda pada mereka, sesama penghuni alam semesta, manusia. Salah satu adik kecil kami mulai bersendawa, guna mengirim tanda selanjutnya. Sepertinya mereka sibuk sekali, tak ada yang mengungsi, lapor si kecil. Coba sekali lagi, kali ini gerakkan jemarimu. Sejujurnya tanda adik kecil kami cukup mengguncang, entah mengapa mereka tak bereaksi banyak. Mungkin ini yang ibunda sebut tanda tak sampai.

Malam tiba, mentari tenggelam di pelupuk mata. Saatnya bekerja, kami seada-adanya di tepi Jogjakarta. Si kecil, si besar, si tepi, si inti, si kaki hingga si perut lahar. Bergoncang kami, ke kiri dan ke kanan. Mengaduk lambung berisi lahar yang sudah terlalu lama tergodok di perut bumi. Dimuntahkan, belum semua, cukuplah kami rasa asam-asam yang ada di permukaan saja. Berguncang kami, bersama malam.

Maafkan kami wahai sesama penghuni bumi, tak ada niat untuk menyakiti. Inilah kontribusi kami, Merapi, dalam memperbaiki wajah bumi. Layaknya kalian yang selalu mengeraskan tanah, meratakan pepohonan, menghirup sungai dan lautan hingga memanaskan permukaan. Ini, cara kami. Meluberkan lahar di atas karpet hijau kalian, mengabu-abukan jerami tempat kalian berlindung di malam hari. Tak beda dari yang sudah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kami.

Dari dulu hingga kini kami tetap Merapi, gunung tinggi yang bertugas memperbaiki wajah bumi kala titah sudah menyambangi. Dari dulu hingga kini kalian tetap manusia, penghuni alam semesta yang memiliki tugas yang sama juga. Dan kini, terimalah salam dari kami, Merapi.

Di Balik Merapi

“Saya mau semua penduduk yang tinggal di sekitar Merapi segera di evakuasi. Sekarang juga!”, terdengar suara RI-1 yang sedang melakukan lawatan ke luar negeri.

”Siap Pak, sudah dilakukan. Tapi ada beberapa orang yang masih bersikeras tinggal di rumah mereka karena Mbah Maridjan belum bersedia mengungsi”, jelas Menteri Dalam Negeri.

”Dipaksa dong! Saya tidak ambil pusing kalau segelintir orang memutuskan menjadi martir, tidak mungkin tidak ada korban dari sebuah bencana bukan? Tapi saya tidak mau citra saya tercoreng lagi karena musibah ini. Mengerti?! Saya masih menjadi sorotan karena pertanyaan judul lagu yang saya ciptakan. Memang salah saya ada soal seperti itu?!”

”Pokoknya saya tidak mau tahu. Seluruh penduduk harus mengungsi. Bagaimana caranya, kamu atur lah!”, ujar RI-1 mengakhiri percakapan telepon yang sudah dipastikan bebas dari penyadap.

***

”Aduh, ada apa lagi? Kamu tidak tahu saya sedang dalam rapat penting?”, keluh RI-1 menjawab telepon yang menurut ajudannya perkara penting menyangkut tanah air.

”Begini Pak, Mbah Maridjan tidak mau mengungsi. Ia memutuskan tetap tinggal di rumahnya, menyebabkan beberapa pengikutnya juga ikut tinggal menemani beliau. Mereka berjumlah 13 orang yang memilih tetap tinggal”, terang Mendagri sesingkat mungkin.

”Ini yang kamu bilang penting? Itu hanya 13 orang saja. Rakyat kita ada berapa? 200 juta! Heran saya, udah tua kok ya gak mau denger omongan orang. Ada lagi yang lebih penting untuk dibicarakan?”, tanya RI-1 tegas.

”Para wartawan ingin tahu kapan kiranya Bapak kembali ke Jakarta?”, jawab Mendagri takut-takut.

”Kehadiran saya di sini penting. Saya akan kembali begitu acara di sini selesai. Ya sekitar 4 sampai 5 hari lagi, itu juga kalau tidak ada agenda pertemuan tambahan”, ujarnya ketus.

***

Tergopoh-gopoh Sang Abdi Dalem menghampiri Sri Sultan untuk menyampaikan pesan yang ia terima dari Jakarta.

”Maaf Kanjeng, tadi ada telpon dari Jakarta. Bapak Menteri Dalam Negeri meminta bantuan Kanjeng untuk membujuk Mas Penewu ikut mengungsi”, Sang Abdi Dalem berbicara dengan suara sangat pelan seakan tengah berbisik dan mata menatap ke tanah.

“Iya, matur nuwun”, jawab Sri Sultan dan langsung memasuki ruangan kerjanya. Menutup pintu, memberikan waktu untuk menyendiri, merenungi kejadian yang tengah mengancam rakyatnya.

Mas Penewu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan, sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Ingin sekali menjemput dan memintanya mengungsi ke rumahnya di Yogyakarta. Tapi ia tahu, tak mungkin ia lakukan itu.

Pesan ayahnya di akhir-akhir hidupnya yang selalu terngiang di kepalanya jika aktivitas Merapi mulai di luar kendali: Pastikan juru kunci tetap berada di sana. Rakyat kita harus selalu merasa ada kekuatan di luar nalar pikiran mereka. Agar ada yang mereka takuti, sehingga mereka lebih mudah diatur, lebih halus dalam bertutur. Ritual harus tetap dijalankan seperti selama ini, seolah kita memohon kekuatan gaib, menjaga agar Merapi tidak bergolak. Jika rakyat merasa kekuasaan kita ditopang oleh gaib, mereka akan patuh. Keadaan akan selalu terkendali.

Lalu bagaimana jika juru kunci tiada?

Temukan lagi pengganti, yang lahir dan tumbuh di desa Kinahrejo dan meyakini mitos-mitos yang selama ini beredar adalah benar adanya, yang tidak lantas pergi ketika bahaya menyambangi, yang setia sampai mati.

***

Nietzsche

"Manusia ingin berkomunikasi dengan sesama, namun terpenjara bahasa" (Nietzsche)

Jerman, 20 Desember 2010

Desember kali ini lebih dingin bila dibandingkan dengan tahun lalu. Dinginnya sampai menusuk ke tulang. Jalanan berwarna putih semua tertutup salju. Jalan raya tidak disarankan pemerintah untuk digunakan karena licin sekali, bisa membuat roda mobil selip, berbahaya. Itu sebabnya stasiun kini dipenuhi oleh orang-orang yang ingin merayakan natal di luar kota.

Para penumpang pergi berpasangan, entah dengan kekasihnya atau dengan anggota keluarganya tapi tidak dengan perempuan yang duduk sendiri di bangku dekat iklan minuman beralkohol itu. Ia sendirian tapi tidak terlihat kesepian. Wajahnya memerah, bisa disebabkan dingin bisa disebabkan pesan singkat yang baru saja ia baca di telepon genggamnya. Ia mengencangkan syal yang terlilit anggun dilehernya. Ia terlihat manis dengan penutup telinganya yang bergambar kelinci. Bermata sipit, pasti berasal dari benua Asia, sepertinya China.

Tunggu sebentar, sepertinya ada pengagum lain yang diam-diam mengamati tingkahnya. Ku coba membaca pikirannya. Oh, dia tertarik dengan perempuan itu. Ditelitinya dengan seksama lalu semakin ia terkesima dengan penemuannya, kecantikan oriental. Ia berjalan menghampirinya, duduk di bangku tepat di depannya. Sesekali ia mencuri pandang. Berharap menciptakan momentum untuk menyapanya.

Perempuan itu sama sekali tidak mengacuhkan keberadaannya. Ku coba menyusupi alam pikirannya. ”Filipo! Aku sudah tiba di tempat Ka Atu. Kangen kamu”, kata itu yang pertama terlintas di benaknya.

Sudah memiliki kekasih rupanya. Tak usah tahu sang pengagum dengan kenyataan itu. Aku ingin mengamati kembali dari jauh, agar lebih jelas melihatnya.

Sang pengagum ragu-ragu untuk menyapanya, dari lahir hingga sebesar ini hanya bahasa Jerman yang ia kuasai, bahasa Inggris pun tidak lancar kalau tidak mau dibilang tidak bisa. Ia beranggapan Mandarin adalah bahasa ibu perempuan itu. Bagaimana mungkin ia menyapanya. Sekedar menanyakan namanya saja, ia tak tahu cara mengungkapkannya.

Tegur tidak tegur tidak. Bimbang.

Teringat akan perkataan ibunda, “Cupid, hanya mengamati tidak berpartisipasi!”. Maka di sini, ku terdiam menunggu.

Tornado Terbalik

Waduh! Bagaimana ini! Ya, seperti ceritanya Dega, ini persis kami berlima. Saya, Dega, Anast, Iqbal, dan Anti. Menaiki tornado seolah-olah berani, padahal menjerit-jerit daritadi. Dan ini dia, posisi kami: dalam keadaan terbalik, mesinnya berhenti. Saya tak berhenti baca-baca doa, sambil terngiang-ngiang dengan panik: film Final Destination 3. Yakni adegan roller coaster di awal, yang membuat seluruh yang naik meninggal dunia. Waduh!

Nonono. Kami masih muda semua, dan belum menikah. Saya belum, tapi mau dan insya allah akan. Terbalik dan dalam keadaan basah, tiada yang lebih buruk dari ini. Saya menengok kiri kanan, macam-macam reaksinya. Ada yang nangis (Anast), ada yang panik seperti Iqbal, Anty dan Dega memilih baca-baca doa. Sedangkan dari jajaran yang lain, terdengar suara macam-macam, ada yang nangis dan panik juga. Duh, perutku mulai mual. Dari bawah terdengar suara bapak-bapak, ibu-ibu, ada yang menyuruh tenang, tapi ada juga yang berteriak membuat tambah panik.

Lalu mulai terdengar bunyi kraaaak.. kraaaak.. Apa itu? Masya Allah! Itu bunyi baja penyangga ternoda, sepertinya ia tak kuat menahan beban. Duh, saya tak bisa berpikir lagi, hanya perut mual dan pikiran kacau. Lima detik kemudian, kutahu tornado sedang lepas dari penyangganya, dan siap terjun bebas ke tanah. Saya sadar akan jatuh, tapi ingatan menghilang entah kemana dalam setengah detik. Suara senyap, semua awak memucat. Swiiiing! Tornado terjun bebas!

Astagfirullahaladzim! Saya bangun dari tidur. Di hadapanku laptop, sedang membuka gmail. Peluh keringat membasahi baju dan badan. Itu cuma mimpi! Terima kasih ya Allah, tadi cuma mimpi. Dalam keheningan saya coba cari hikmahnya, lalu semenit kemudian, saya tuangkan rasa tadi dalam imel untuk klab nulis sata tercinta: dewikupugalau.

To : All

Kita ini seperti menaiki wahana tornado. Berputar-putar kan, berganti giliran menulis, dan menikmati sensasi-sensasinya. Tapi sekarang kepala kita sedang di bawah, dan mesinnya terhenti. Tak ada jalan lain, kita mesti sama-sama memutar kembali, agar tak jatuh menghujam bumi.

SATE LEMAN’S SELAP GAJIH

Bayangkan jika ada satu momen dalam hidupmu terbagi tiga bagian. Dan kesemuanya indah, tapi beda cerita. Cerita yang sebetulnya sederhana, dan ruang lingkupnya hanya ada dalam mulutmu saja. Bayangkan sebuah gumpalan daging. Pertama ditarik ia dengan jepitan gigimu. Si gumpalan kemudian menari kesana kemari, berpasrah diri kepada siapa ia akan digulirkan. Lidahmu, langit-langitmu, gusimu, atau gigimu? Yang pasti ia tahu, bahwa tak secepat itu ia akan masuk ke kerongkonganmu. Sebelum ia masuk ke wilayah kuasamu, ia tadinya bergelimang saus kacang dan kecap. Yang mana dalam pergumulan saus itu, potongan cabe rawit dan bawang ikut meramaikan. Ditambah suhu panas yang mana si daging dapatkan dari api yang memanggangnya dalam sajian nampan metal, suasana jadi tambah meriah.

Lalu kamu telan daging itu, lantas kamu memejam mata. Dalam gelapmu kau tak lihat apa-apa kecuali kerlip bintang. Suara jadi sunyi, napasmu tertarik teratur. Bab pertama ceritamu selesai sudah.

Masuklah cerita kedua, dan dimulai sejak gigimu menjepit daging kedua, dan menariknya dari bilah kayu kecil yang kau genggam. Warnanya lebih putih, dan lebih lunak. Ketika gigimu kembali menjepit (yang kau tak sabar menjepitnya segera), sang daging pecah. Pecah merekah. Ia mengeluarkan air yang menggetarkan nadimu. Membuatmu ingin segera mati untuk tahu sesungguhnya apa rahasia alam semesta ini. Tak lupa gelimang saus kacang dan kecap (sekarang ditambah serpihan emping), menjadi tambahan nikmat duniawi. Bagian ini lembut dan mengacaukan imajinasimu. Ia tidak kenyal seperti sebelumnya, yang cenderung cocok sebagai pembuka untuk membiasakan lidahmu. Yang ini liar, nakal, dan berlemak. Bayangkan seorang pria gemuk lucu berlompat riang di mulutmu. Bab kedua selesai, setelah si pria jadi serpihan yang memabukkan.

Cerita ketiga dimulai, ketika jepitan gigimu kembali berkelana mengambil si daging ketiga. Saat itu juga kau merasa sedih, karena mendadak akan hanya tinggal kayu yang tersisa di tanganmu. Yang ketiga sama dengan yang pertama, terutama rasanya. Tapi sensasinya berbeda. Setelah ada pria nakal tadi yang bergelimang liar, sekarang hadir kembali si baik yang menutup suasana. Seperti kiai di akhir cerita horor. Ia mendamaikan dan mengingatkan kembali liurmu agar tak menetes deras berlebihan. Ia datang, tetap dengan saus kecap dan kacang, dengan serpihan cabe dan bawang, untuk berkata, “Semua akan berakhir happy ending.”

Dan setelah momen senyapmu seiring daging yang menggelontor di tenggorokan. Kau buka mata, kakimu kembali menjejak dunia.

Makanan Terenak Sedunia

Jangan kau minta aku menganalogikan dengan yang lain, belum, belum bisa. Kalau iklan bilang, tak ada tandingannya! Kering, garing, basah, berkuah. Manis, pedas, renyah, spicy! Oh, so Indonesiana!

Ingat punya ingat, hingga kini aku tak ingat kapan kali pertama mencobanya. Hmm... waktu SD sepertinya, atau mungkin sebelumnya? Mungkin saja. Yang jelas masih kuingat, jajanan favoritku ini dijual oleh pedagang pria (kalaupun ada yang wanita, belum pernah kujumpa) dengan menjinjing apa itu namanya ya? Gerobak kah? Anggap saja namanya gerobak tak beroda. Gerobak yang terbuat dari kayu ini terdiri dari dua bagian, yang dijinjing di kanan dan di kiri bapak penjual. Biasanya, yang di kiri terdapat kotak kayu dengan pintu geser. Kalau digeser ke atas, kita bisa lihat tahu-tahu kotak berwarna cokelat berhimpitan, bak anak pramuka di bak terbuka. Di depan kotak, ada space kecil berfungsi sebagai talenan dan tatakan. Gerobak bagian kanan ada botol-botol berisi cairan magic. Campuran gula merah dan cuka, sepertinya. Juga tumpukan piring-piring kecil, hitam, dingin karena terbuat dari batu, cantik sekali. Cabe rawit hijau, bawang merah, putih dan tusuk gigi.

Kau sudah tahu aku membicarakan apa? Yup! Tahu gejrot! Oh, menyebutnya saja membuatku sakaw. Entah kapan terakhir kali aku memakannya. Harus main ke rumah Dian lagi sepertinya.Hehe, Dian itu temanku, di rumahnya penjual tahu gejrot rutin lewat. Kalau di tempatku, sudah jadi barang langka. Mungkin di SD-SD masih ada ya? Kurang tahu juga. Kalau sudah di rumah Dian, telinga dan mataku siaga siang-siang, waktunya tahu gejrot datang. Sebetulnya, mata sih yang siap siaga, karena penjual tahu gejrot tak punya bel atau jingle seperti penjual es krim. Paling yah teriak saja, ”Tahu gejrot!” malah tak jarang tanpa suara, lewat saja.

Eh, kau pernah makan makanan yang berasal dari Cirebon ini belum? Don’t die before you try it! Hahaha.. Sini, ku kasih tahu rahasia! Kalau kau jajan ini, bilang, ”Yang pedes ya, Bang!” Ini salah satu tangga menuju surga. Si Bapak akan mengambil cabe rawit, sejumput bawang merah dan putih, sedikit garam, lalu diulek di atas piring batu. Tahu kecil-kecil berwarna cokelat tadi itu ternyata sudah digoreng sebelumnya, tapi bukan waktu kita pesan, tapi di rumah si bapak penjual. Tahu tadi akan dipotong kecil-kecil, arbitraire, lalu ditaruh di atas piring batu bersama bumbu ulekan. Kemudian si bapak akan menuangkan kuah gula merah di atasnya, sambil diaduk-aduk biar merata. Cabe rawit dan bawang akan terguling ke atas, hingga pemandangan menjadi cantik, hijau, merah, putih dan cokelat.

Tahu kering sudah bermandi kuah sekarang. Kini yang kau butuhkan cuma satu, tusuk gigi. Bukan untuk mendongkrak yang nyelip-nyelip di gigi, tapi ya itu, tusuk tahunya, lalu haaammm... lahaplah! Enak kan? Eits, eits! This is the best part, tempelkan bibir piring ke bibirmu, hirup kuah manis pedasnya, hhhhmmm…. Bagaimana? Magic kan? Sensasi dingin dari piring batu itu loh, bikin tambah semriwing saja. Dinginnya membawa kita ke sumber mata air Aqua! Hahaha…

Ah, menyiksa ini. Jadi sakaw lagi. Slllrruuppppp!!!!

Makanan Terenak Sedunianya Nasto

Keharuman yang berasal dari semangkok sajian di depanku, nyata-nyata membuat perutku semakin bergolak. Sampai terdengar ke seluruh penjuru ruangan 6x6m itu sepertinya. Ku tatap dengan cermat perwujudan kreasi indah tersebut. Dapat terlihat walaupun samar, warnanya yang putih. Segera terbayang ketika si mamang menyajikannya. Ia menuangkan beberapa centong ke dalam mangkok putih yang di bagian luarnya ada gambar ayam jago, mungkin itu mangkok hadiah beli kecap manis. Lalu ia mulai menaburkan daun seledri yang sudah dipotong tipis-tipis, kemudian bawang goreng ditaburkan setelahnya. Jika tidak suka bawang goreng ataupun alergi seledri, bisa request ke si mamang agar tidak usah dikasih. Habis itu, ditaburkan lagi cakwe goreng yang (kembali) telah terpotong tipis-tipis dan lanjut sehabis itu suwiran ayam. Tak lengkap sajiannya tanpa kerupuk goreng berwarna oranye.

Dengan mata berkaca-kaca sambil mengagumi karya seni di hadapanku dan terdorong rasa lapar yang sangat, ku ambil sendok dan membulatkan tekad untuk meluluhlantakan konfigurasi beraneka warna. Kusorongkan perlahan-lahan dan kubawa ke depan hidungku sebentar untuk meresapi aromanya. Kuhirup.. Hmmm.. Sedaaappp. Ku masukan ujung sendok ke mulutku dan dalam sekejap rasa panas, asin dan pedas bergelayut di lidahku. Tak perlu susah payah mengunyah. Ku pejamkan mataku ketika makanan tersebut menuju ke tenggorokan. Slruuuppp… Enak. Senyumku merekah seketika, seperti melihat hamparan bunga berwarna kuning di bawah langit yang biru dengan sinar mentari yang tak begitu terik dan angin berhembus sepoi-sepoi. Berlebihan? Seperti sinetron? Hahaha. Bukan, bukan sinetron melainkan adegan di drama-drama Korea. Hahahahaha

Sedikit demi sedikit ku tandaskan makanan di depanku. Rahangku tak perlu sakit karena tak perlu mengunyah, tidak seperti ketika kita memakan daging ataupun sayur kangkung yang harus dikunyah berkali-kali agar lunak sehingga kemudian bisa tertelan.

Bubur Ayam, mungkin hanya kau yang berkuasa memaksaku menyantapmu walau perutku sudah kenyang, walau ada pilihan lain selain dirimu; lontong sayur, nasi uduk, nasi bebek, mie pangsit, dan masih banyak lagi lainnya. Meski kedudukanmu sedikit tergantikan dengan oatmeal yang menjadi menu sarapanku belakangan ini, tapi hatiku tetap untukmu. Ku sudi menyantap oatmeal hanya karena ia lembek dan tak perlu dikunyah... sama sepertimu. Aku padamu....

Pesawat Ababil B-39 Jatuh!

Dari Turki dilaporkan, bahwa pesawat Ababil B-39 yang mengangkut sekitar 150 penumpang dari Malaysia menuju Italia, jatuh di sebuah desa di kawasan Istanbul. Kondisi naas tersebut menyebabkan seluruh korban meninggal dunia. Namun pihak penerbangan, yakni maskapai Merak, baru akan mengumumkan nama-nama korban resmi besok, setelah proses evakuasi penduduk dinyatakan selesai.

Pesawat Ababil B-39 jatuh di kawasan sawah dimana di sekitarnya terdapat pula rumah-rumah penduduk. Belum terindentifikasi korban jiwa dari pihak penduduk. Namun dicurigai jatuhnya pesawat ini disebabkan oleh kerusakan sistem navigasi. Masih diselidiki adanya dugaan navigasi tersebut rusak akibat ponsel penumpang yang menyala ketika pesawat berada di udara.

Datuk Maringgih, wakil dari maskapai penerbangan Merak, menyatakan belasungkawa atas kejadian tersebut, dan siap menanggung segala kerugian yang ditimbulkan. Adapun pihak keluarga korban akan mendapat tanggungan sebesar lima ribu dollar AS dari setiap korban jiwa.

Kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan tersebut diperkirakan mencapai lebih dari jutaan dollar. Ini pertama kalinya perusahaan Merak mendapati pesawatnya jatuh. Selama ini maskapai penerbangan tersebut dikenal aman dan menjadi salah satu perusahaan yang paling dipercaya di Malaysia.

Pesawat Ababil B-39 sendiri merupakan salah satu keluaran terbaru, dan baru melakukan penerbangan sekitar kurang dari sepuluh kali dalam tiga bulan terakhir. Pesawat tersebut termasuk salah satu yang tercanggih di kawasan Asia tenggara. Fasilitas kabinnya termasuk kelas satu dan setara maskapai JAL (Jepang) ataupun Lufthansa (Jerman). Ababil diambil dari nama burung yang ada dalam Al-Quran. Yakni burung yang berperan besar dalam mengusir pasukan gajah kiriman Abrahah yang hendak menyerang Ka’bah.

Crash

JK: Suatu Kehilangan Besar Bagi Kolombia



Bangkai pesawat Kolombia yang jatuh (9/4) di Simeulue, Sumatera Barat.

BUKIT TINGGI, KAMIS – “Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan seperti bom. Keras betul suaranya”, demikian penuturan Noor (28) salah satu saksi mata kecelakaan pesawat dari maskapai penerbangan Kolombia. Kecelakaan terjadi sekitar pukul 15.20WIB. Pesawat kehilangan kendali dan langsung menukik menuju tajam menuju ke jalan raya setelah sebelumnya sempat menabrak mobil Ford berwarna hitam. Delapan puluh dua orang tewas dalam insiden tersebut dari total sembilan puluh penumpang termasuk awak pesawat. Delapan korban yang selamat namun masih dalam kondisi kritis saat ini berada di rumah sakit Raudahtul Jannah untuk mendapatkan perawatan intensif.

Sedianya pesawat naas tersebut menuju bandara Polonia dengan membawa rombongan anak sekolah menengah Kolombia yang akan mengikuti Olympiade Fisika di Resort Danau Toba selama 11 – 16 April 2020. “Kami selaku panitia turut berbelasungkawa atas kecelakaan tersebut. Sebagai bentuk belasungkawa, kami akan melakukan mengheningkan cipta di acara pembukaan Olympiade hari Sabtu ini” ujar Moh. Ridwan selaku ketua panitia.

Sementara Presiden RI, Bapak Jusuf Kalla (JK) yang dimintai komentarnya sesaat setelah usai konferensi PBB di Jenewa mengungkapkan kesedihannya. “Kecelakaan tersebut benar-benar tragis. Potensi besar telah hilang bersama kecelakaan tersebut. Suatu kehilangan besar bagi Kolombia”, ujar JK dengan mata berkaca.

Hingga berita ini dilansir masih dicari penyebab kandasnya pesawat tersebut. Masih banyak spekulasi seputar penyebab kecelakaan mulai dari human error hingga kelebihan quota bagasi. Kepastian penyebab baru bisa didapat setelah kotak hitam ditemukan yang keberadaannya masih dicari hingga kini. (DM/AA)